JAKARTA, DUMAI –
Walau sudah berlalu, kunjungan LPPOM MUI ke Universitas Udayana (Unud) Bali
pada Oktober meninggalkan pengalaman menarik. Pembicara beragama Islam,
Kristen, dan Hindu duduk semeja dan membahas topik 'Tinjauan tentang Halal'.
Ilustrasi (wahdah.or.id)
Lembaga
Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia (LPPOM
MUI) Provinsi Bali sengaja mengajak pembicara dari agama lain agar sosialisasi
halal di kampus yang civitas akademikanya mayoritas beragama Hindu ini berjalan
lancar.
Seminar
tersebut berlangsung pada 10 Oktober lalu sebagai bagian dari program 'Halal
Masuk Kampus'. Di depan sekitar 60 orang dosen dan mahasiswa Fakultas
Kedokteran Hewan (FKH) Unud, tiga dosen dari latar belakang agama berbeda
berbicara. Mereka adalah Prof. Dr. drh. Iwan H. Utama, MS. (Kristen), Dr. drh.
I Ketut Suatha, MSi. (Hindu), dan drh. Mas Djoko Rudyanto, MS. (Islam).
Iwan
menyampaikan bahwa ajaran Kristen mengenal 'makanan bersih dan kotor'. Makan
itu penting dan berguna, namun tidak semua makanan bermanfaat. Makananpun bisa
jadi pembunuh tersembunyi (silent killer)
jika tak bijaksana mengonsumsinya. Aspek konsumsi ini diatur dalam Alkitab
Perjanjian Lama, di antaranya Imamat Ps. 3 (3-10, 17), Ps. 10 (19, 20), Ps. 11
(2-47), Ps. 17 (3-15), Ulangan Ps. 14 (3-21), Ps. 15 (19-23), dan Keluaran Ps.
29 (13, 22).
Makanan
yang tergolong bersih di antaranya hewan berkuku belah dan memamah biak (sapi,
kambing, domba, rusa, kijang), bersirip dan bersisik di dalam air, merayap,
serta bersayap, dan melompat (belalang). Sementara itu, makanan yang masuk
kategori kotor di antaranya hewan yang tidak berkuku belah dan memamah biak
(unta, kelinci, marmot, pelanduk), berkuku belah dan tidak memamah biak (babi,
babi hutan), serta tidak berkuku belah dan tidak memamah biak (kuda).
Persembahan
kepada berhala, darah, bangkai, hewan yang mati dicekik, hewan pencabulan,
serta anak sapi, domba, atau kambing jantan tertua juga tergolong makanan
kotor. Namun, makanan ini tidak memberi efek secara langsung. Iwan
menyayangkan, pergantian konsep dari hukum (Perjanjian Lama) ke anugerah
(Perjanjian Baru) menimbulkan ketidaktahuan, ketidakmautahuan, serta sikap
gambling terhadap makanan yang ada tanpa memperhatikan unsur kesehatan.
Sedangkan
menurut Ketut, Hindu tak mengenal istilah 'halal',
melainkan 'tatwa triguna'. Sementara
itu, makanan terlarang dalam Bahasa Sansekerta disebut amedhyam. Bagaimanapun juga,
cara berpikir (manah), berkata (wak), sikap (solah pawerti), dan perilaku
(kaya) diyakini sangat dipengaruhi makanan. Makananpun dapat memengaruhi
jasmani (raga sarira) dan rohani (sukma sarira). Soal makanan diatur dalam
kitab Bhagavad Gita Bab 17 Sloka 7-10.
Makanan
dikelompokkan menjadi tiga. Kelompok pertama adalah satwikaguna, yakni makanan yang jika dikonsumsi dapat meningkatkan
kualitas hidup, memanjangkan umur, menambah tenaga, menghadirkan rasa nyaman,
mempertinggi kecerdasan, serta menyehatkan. Contohnya adalah makanan yang
memiliki banyak sari, berlemak, bergizi, dan menyenangkan hati.
Berlawanan
dengan kelompok pertama, ada makanan rajasikaguna
yang jika dikonsumsi dapat menimbulkan emosi, sakit, atau duka cita. Misalnya,
makanan yang terlalu pahit, asam, pedas, kering, panas atau menyebabkan badan
terasa panas, atau banyak bumbu.
Ada
pula kelompok tamasikaguna yang
menyebabkan malas, tak peduli, pasif, keras kepala, dan bodoh. Contohnya adalah
makanan yang dimasak lebih dari tiga jam sebelum dimakan, makanan hambar,
makanan yang menginap dan sering dipanaskan, makanan basi dan busuk, makanan
sisa orang lain, serta bahan haram yang disukai orang-orang yang bersifat
gelap.
Dilain
sisi, Djokopun menyampaikan halal menurut Islam. Materi yang disampaikan di
antaranya tentang konsep halal dan tayib, standar penyembelihan halal menurut
fatwa MUI Nomor 12 tahun 2009, serta logo dan sertifikat halal seperti dikutip Detik.com, Jum'at (12/12).
Post Comment
Post a Comment