Naga Banda (suzannita.wordpress.com) |
Pada beberapa waktu yang lalu, masyarakat Ubud dan
sekitarnya kembali disuguhi sebuah pentas ritual akbar pelebon di Puri Ubud. Seperti biasanya, pelebon bangsawan Ubud ini
selalu berlangsung megah, mewah dan meriah. Kemegahan dan kemewahan ditunjukkan
dengan penggunaan bade (menara pengusung jenazah) yang menjulang serta boneka
raksasa berbentuk naga yang disebut naga banda. Prosesi yang biasa menarik
perhatian orang tak hanya arakan pengusung bade, tetapi juga prosesi memanah
naga banda yang dilakukan pendeta. Mengapa pelebon
bangsawan Bali menggunakan naga banda?
Naga banda dalam pelebon
merupakan tradisi yang lahir pada zaman Gelgel, sekitar abad ke-15. Sejarah
lahirnya tradisi penggunaan naga banda
ini pun tergolong unik. Seperti kerap disebut dalam sumber-sumber babad, penggunaan Naga Banda itu bermula dari kisah Raja Gelgel sekitar abad ke-15,
Dhalem Waturenggong yang menguji Dang Hyang Astapaka.
Dang Hyang Astapaka merupakan putra Dang Hyang
Angsoka, kemenakan Dang Hyang Nirartha (Dang Hyang Dwijendra). Pendeta ini
sangat dikenal di Jawa dan disebut-sebut bisa mengetahui apa yang akan terjadi
di kemudian hari atau bisa melihat sesuatu yang tidak tampak oleh orang awam.
Orang Bali menyebut kemampuan itu sebagai dura
darsana atau betel tingal.
Dhalem Waturenggong mendengar kabar tersebut. Sang
Raja pun mengundang Dang Hyang Astapaka untuk datang ke Bali. Kebetulan saat
itu Dhalem Waturenggong tengah melangsungkan upacara maligya (upacara penyucian roh).
Dang Hyang Astapaka mau datang ke Bali. Selain
memenuhi undangan Dhalem Waturenggong juga untuk menjenguk pamannya, Dang Hyang
Dwijendra yang sudah lama di Bali.
Dhalem Waturenggong penasaran dengan cerita soal
kemampuan Dang Hyang Astapaka mengetahui apa yang akan terjadi. Dhalem
Waturenggong pun menguji kesaktian Dang Hyang Astapaka. Sang Raja memerintahkan
pembantunya untuk membuat sumur yang diberi penutup. Sebelum Dang Hyang
Astapaka tiba, Raja memerintahkan agar ke dalam sumur itu dilemparkan seekor
angsa dan sumur itu ditutup. Bila angsa itu bersuara, maka akibat gema pantulan
dinding lubang, suaranya terdengar dahsyat dan jauh sekali berbeda dengan suara
aslinya. Terlebih lagi bila didengar dari jarak agak jauh.
Tatkala Dang Hyang Astapaka tiba dan duduk di
hadapan Raja, terdengar suara gemuruh dari dalam sumur tersebut. Dhalem
Waturenggong pun bertanya kepada Dang Hyang Astapaka, apa gerangan suara
gemuruh yang keluar dari sumur tersebut.
Naga Banda (www.flickr.com) |
Dang Hyang Astapaka menjawab, “Itu suara naga,
Baginda.” Mendengar jawaban Dang Hyang Astapaka, raja dan semua yang hadir di
tempat itu pun tertawa karena yakin bahwa angsalah yang dimasukkan ke dalam
sumur. Sebaliknya Dang Hyang Astapaka bersikukuh bahwa itu adalah suara naga.
Untuk meyakinkan Dang Hyang Astapaka, Dhalem
Waturenggong memerintahkan untuk membuka penutup sumur. Baru dibuka, ternyata
yang keluar adalah seekor naga. Naga tersebut kemudian menghampiri Dang Hyang
Astapaka dan melingkat di atas pangkuannya.
Dhalem Waturenggong dan semua yang hadir sontak
terperanjat dan ketakutan. Raja pun menanyakan apa makna semua itu. Dang Hyang
astapaka lalu menjelaskan bahwa naga itu adalah naga banda yang akan menjadi
kendaraan Raja menuju alam baka.
Saat Dhalem Waturenggong wafat, dibuatkanlah naga
banda yang mengiringi jenazah sang Raja menuju alam sunya. Sejak saat itulah,
upacara pelebon Raja Gelgel dan keturunannya menggunakan naga banda. Selain
Raja, Pedanda Budha juga “berhak” menggunakan Naga Banda. Keluarga bangsawan yang
mendapat anugerah dari Raja Gelgel pun diberi “hak” menggunakan Naga Banda.
Post Comment
Post a Comment