Banten-banten yang dijunjung ibu-ibu (potretbali.blogspot.com) |
DUMAI- Seantero jagat Bali memancarkan rona
religius, membuat setiap orang termasuk wisatawan mancanegara dalam menikmati
liburan di Pulau Dewata merasa aman, nyaman, tentram dan kedamaian.
Kehalusan jiwa dan watak Kartini-kartini Bali bisa
tersenyum berkat kelembutan maupun kepiawaian dalam membuat banten dan sesaji
(rangkaian janur), sarana ritual yang digelar umat Hindu tiada hentinya. Wanita
Bali memang dikenal gigih dan sanggup kerja apa saja yang produktif dalam
meningkatkan pendapatan keluarga. Setiap saat mereka sangat sibuk menyiapkan
sarana ritual rangkaian beberapa hari suci yang bekalangan ini jatuh secara
beruntun, disamping aktivitas dan profesi yang digelutinya.
Memasuki 2014 yang berawal dari hari suci Siwa Ratri
hari perenungan dosa yang dirayakan pada 29-30 Januari 2014, menyusul hari
Saraswati, hari lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi pada hari Sabtu (8/3)
dan hari suci Pagerwesi yang bermakna untuk meningkatkan keteguhan iman pada
Rabu (12/3) tutur dosen Fakultas Pertanian Universitas Udayana Dr Ni Luh
Kartini.
Sosok wanita kelahiran Buleleng, Bali utara itu
menilai kegigihan wanita Bali tampak dengan tanpa pandang bulu dalam melakukan
pekerjaan, jenis pekerjaan apapun sangup dilakoninya. Wanita Bali, selain
bekerja keras membantu suami menambah pendapatan keluarga, mereka juga aktif
dan berperan dalam menyukseskan kegiatan ritual. “Kartini-kartini” Bali sanggup
memberikan pemahaman yang baik tentang kodrat sebagai wanita, yakni menjadi ibu
yang penuh kasih sayang dalam kehidupan sehari-hari yang terasa semakin berat.
Wanita Bali menyingsingkan lengan baju bekerja
keras. Bisa jadi seorang perempuan Bali pada siang hari menjadi pedagang,
menekuni usaha industri kecil dan kerajinan rumah tangga, namun pada malam
harinya tampil sebagai seniman pentas di atas panggung. Mereka tampil menari
dengan lincah dan menyanyi di atas pentas diiringi gamelan, instrumen musik
tradisional Bali yang mampu menarik perhatian penonton, termasuk wisatawan
mancanegara maupun nusantara.
Dibalik “bola mata” penari yang disorot sinar lampu
itu, ternyata sosok wanita Bali juga sanggup melakoni pekerjaan kasar, yakni
bergelut dalam urusan pangan atau buruh bangunan bekerja di bawah terik
matahari, tanpa mengenyampingkan peranannya sebagai ibu rumah tangga dan
mengurus keluarga.
Tak Pernah Diam
Wanita Bali tidak pernah diam, berperan secara aktif
dalam berbagai aspek pembangunan serta berusaha meningkatkan kemampuan,
keterampilan dan produktivitas kerja, tanpa mengabaikan keluarga, seperti yang
dituturkan Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana Institut Hindu
Dharma Negeri (IHDN) Denpasar Dr Ketut Sumadi.
Dengan keluguan wanita Bali mengarungi kehidupan,
ternyata sanggup beradaptasi dengan perempuan modern seperti yang diungkapkan
W. Gerard Holker, seorang wisatawan yang sudah puluhan kali berkunjung ke Bali
itu mengaku sangat terpesona oleh perempuan Pulau Dewata.
Turis yang juga seorang seniman lukis itu,
menggambarkan sosok wanita Bali mengenakan pakaian adat serat bunga emas yang
gemerlapan sambil membawa sesajen dalam bokor. Demikian pula perintis seni
lukis Pita Maha di Ubud, Rudolf Bonnet sering kali menuangkan karya seninya di
atas kanvas, yang inspirasinya dari sosok perempuan Bali yang polos dengan
rambut panjang dikepang dan bunga kamboja terselip dipangkal ekor kepang
rambutnya.
Mario Antonio Belanco (alm), pelukis kelahiran
Spanyol yang belasan puluhan tahun menetap di perkampungan seniman Ubud, tidak
luput menggambarkan perempuan Bali dari segi estetisnya, keluguan, kepolosan
dan kodratnya.
Kerja Ritual
Dalam hal ini, peran dan ketegaran “Kartini Bali”
bisa menjadi cermin betapa sesungguhnya kaum feminim memiliki kemampuan prima
dalam menyukseskan berbagai aspek kehidupan dan pembangunan.
Tidak mengherankan ibu rumah tangga yang merangkap
bekerja di kantor instansi pemerintah atau swasta pada siang hari, terpaksa
membuat “banten” pada malam hari seperti yang dituturkan Dra Ni Wayan Nuryati,
seorang PNS di lingkungan Pemprov Bali. Hampir seluruh “Kartini-Kartini Bali” mengerahkan
segala upaya dan kemampuannya dalam membuat “banten” dan sarana upakara lainnya
sehingga rangkaian hari suci dapat terlaksana dengan baik dan sukses.
Kesibukan aktivitas ritual itu bisa menjadi bukti,
wanita Bali masih tetap eksis di tengah kehidupan sehari-hari sekaligus semakin
mengukuhkan sosok wanita Bali sebagai figur yang tahan banting. Wanita Bali
tidak bekerja sendirian untuk itu, mereka dibantu oleh suami dan anggota
keluarga masing-masing, meskipun yang lebih menonjol adalah peranan dan
aktivitas kaum ibu.
Tanpa kerja sama dan saling membantu dalam keluarga
itu, mustahil dapat menyiapkan dan menyukseskan rangkaian pelaksanaan hari suci
itu. Wanita Bali memang sejak kecil terlatih membuat “banten” dan orang tua
selalu melibatkan anak perempuan dalam membuat sesaji keperluan ritual. “Metode
mendidik anak belajar sambil bekerja sangat efektif dan menunjukan hasil
gemilang, sehingga wanita Bali tidak pernah berkeluh kesah dalam menunaikan
tugas serta kewajibannya.
Post Comment
Post a Comment