Witri Suwanto mengayuh becak untuk menghadiri wisuda di UTP |
SOLO, DUMAI- Untuk menutup biaya hidup di Solo dan
membayar biaya kuliah, Widri jual es Sari kacang Ijo di kampusnya. Meski
begitu, ia tak malu dan malah memotivasinya belajar lebih giat. Hasilnya,
laki-laki asal Sragen itu lulus dengan predikat cumlaude.
Setelah berbasa-basi, obrolan berlanjut ke acara
wisuda yang digelar pada Senin (28/10/2013). “Alhamdulillah, saya lulus dengan
predikat cumlaude,” katanya seperti dilansir Tribunnews.com, (04/11).
Warga kampung Jagan, Gentan Banaran, Plupuh, Sragen
itu lulus dari bangku kuliah setelah menyelesaikan seluruh mata kuliah di
Jurusan Pendidikan Keolahragaan, spesifikasi Tenis, selama tiga tahun sembilan
bulan. “Targetnya bisa lulus 3,5 tahun meleset,” ujar remaja yang memeroleh
nilai A pada 18 mata kuliah tersebut.
Widri sebenarnya sudah lulus SMA pada 2006, tapi
baru bisa kuliah 2009. Selama tiga tahun, ia harus bekerja untuk menyiapkan
biaya masuk kuliah. Saat sudah resmi menjadi mahasiswa UTP, ia membiayai
seluruh kebutuhan pendidikannya dari cucuran keringat berjualan es sari kacang
hijau.
Widri menceritakan, ia mulai merintis usaha
berjualan es Sari kacang hijau sejak lulus SMA. Saat itu, ia melihat peluang
berdagang di depan kampus UTP. Setelah beberapa lama berjualan es, ia mendapat
tawaran bekerja sebagai marbot (penjaga masjid) di Masjid Kantor Pajak
Yogyakarta.
Setelah tiga tahun mengabdi bekerja di Yogyakarta
dan bisa menabung. Widri pun memutuskan hijrah ke Solo untuk mewujudkan
mimpinya berkuliah dan mendaftar di UTP Surakarta. "Gaji Rp 900 ribu dari
Kantor Perpajakan dan saat jual es, saya pakai biaya awal kuliah selama satu
semester," ungkap bungsu dari tiga bersaudara itu.
Setelah masuk kuliah, Widri praktis tak lagi
mempunyai pendapatan untuk membiayai kuliahnya. Uang di tangan yang tersisa Rp
800 ribu, kemudian digunakan untuk modal berjualan es sari kacang hijau di
depan kampus tempatnya belajar.
"Setelah satu semester, saya ngga ada biaya
lagi. Orangtua juga cuma tani dan ngga sanggup membiayai. Akhirnya saya jualan
sari kacang ijo dan jual pakaian untuk mencukupi kebutuhan saya sendiri,"
akunya.
Bila mahasiswa lain berangkat ke kampus sekitar
pukul 07.00, Widri pun sudah tiba di depan kampus sekitar pukul 06.00. Bukan
untuk membaca buku kuliah atau mengerjakan tugas, tapi untuk membuka lapak es
sari kacang hijau di sekitar pintu gerbang kampus.
Saat ada jam kuliah, Widri menutup sementara
lapaknya dan menitipkannya pada Satpam kampus dan berjualan lagi setelah keluar
kelas. Selain teman di kampusnya, pelanggan setianya adalah para dosen di UTP.
Bahkan banyak di dosen pelanggannya yang memberikan uang lebih saat membeli es
sari kacang hijaunya.
Selama berjualan es di kampus, Widri kadangkala
harus menanggung rugi karena cuaca tidak bersahabat. Bila menghadapi situasi
seperti itu, laki-laki itu pun memilih membagikan es kacang hijau pada teman-teman
kuliahnya secara gratis.
Biasanya, lanjut Widri, sehari setelah
membagi-bagikan es kacang hijaunya, dagangannya malah makin lancar dan laris.
“Kalau rata-rata, sehari bisa mendapat keuntungan sekitar Rp 100 ribu. Cukup
untuk biaya kuliah dan biaya hidup di Solo,” katanya.
Meski harus berjualan es di depan kampusnya dan para
konsumennya adalah teman kuliahnya, Widri mengaku tidak pernah merasa rendah
diri. Bahkan, ia makin termotivasi untuk belajar lebih baik. Hasilnya, ia
berhasil menyelesaikan studinya hanya dalam tiga tahun sembilan bulan dengan
predikat cumlaude.
Sebagai bentuk suka citanya menyelesaikan kuliah,
setelah resmi diwisuda Senin (28/10/2013) lalu, Widri memenuhi nazarnya
menggenjot becak dari Solo menuju Sragen dalam waktu empat jam.
Kini, putra ketiga dari pasangan Paino Notowiyono
dan Mulyati tersebut ingin merantau ke Australia untuk belajar beternak sapi.
Untuk mendukung cita-citanya, Widri kini harus bolak balik Solo-Kediri untuk
kursus bahasa Inggris.
"Aku punya jiwa wirausaha yang tinggi dan
menurutku beternak sapi itu prospeknya bagus," tandas peraih IPK 3,55.
Post Comment
Post a Comment