Banten Tamiang (www.balisaja.com) |
DUMAI- Pada beberapa hari yang lalu, umat Hindu
merayakan hari suci Galungan dan kini umat Hindu akan menyambut hari raya suci
Kuningan pada Sabtu (31/5) mendatang. Sarana upakara pada hari suci Kuningan
ditandai dengan ciri khas sejumlah sarana, seperti tamiang, endongan, ter atau
pun sampian gantung. Sarana itu dipahami sebagai simbol-simbol yang identik
dengan alat-alat perang. Apa makna di balik simbol alat-alat perang itu?
Sarana paling khas dan paling simbolik dalam
perayaan Kuningan tentu saja tamiang. Kata tamiang mengingatkan pada tameng,
sebentuk alat perisai yang lazim digunakan dalam perang. Saat Kuningan, tamiang
dipasang di pojok-pojok rumah dan di palingih-palinggih (bangunan suci).
Selain tamiang, ada juga sarana lain, yakni
endongan. Menurut Kamus Bali-Indonesia (Dinas Pendidikan Dasa Provinsi Bali,
1991) kata endongan diartikan sebagai ‘tempat bekal dari tapis kelapa’. Tamiang
kerap dimaknai sebagai simbol perlindungan diri. Tamiang, jika melihat
bentuknya yang bulat, juga sering dipahami sebagai lambang Dewata Nawa Sanga
yang menjadi penguasa sembilan arah mata angin. Tamiang juga melambangkan
perputaran roda alam atau cakraning panggilingan yang merujuk pada pemahaman
tentang kehidupan yang diibaratkan sebagai perputaran roda.
Endongan biasanya dimaknai sebagai alat atau wadah
untuk menempatkan perbekalan. Sarana lainnya, yakni ter dan sampian gantung.
Ter adalah simbol panah (senjata) karena bentuknya memang menyerupai panah.
Sementara sampian gantung sebagai simbol penolak bala.
Sarana upacara yang identik dengan alat-alat perang
ini memang sarat makna. Namun, pertanyaan yang kerap mengemuka, mengapa hari
raya Kuningan diwarnai dengan sarana upacara yang identik dengan alat-alat
perang?
Bukan hanya hari Kuningan yang diwarnai dengan
sarana yang merujuk pada perlengkapan perang. Hari Galungan yang dirayakan
sepuluh hari sebelumnya juga sarat dengan simbol-simbol peperangan. Pemaknaan
Galungan sebagai hari kemenangan atau hari kemenangan perang menegaskan hal
itu. Pemasangan penjor juga merujuk pada simbol dipancangkannya panji-panji
kemenangan.
Hari raya memang dimaksudkan untuk senantiasa
mengingatkan manusia tentang hakikat jati dirinya sebagai manusia sekaligus
memahami hakikat kehadirannya dalam hidup dan kehidupan. Hidup pada hakikatnya
memang sebuah peperangan. Sepanjang hidupnya, manusia tiada henti berhadapan
sebuah peperangan panjang. Sejarah umat manusia pun, jika diselami, lebih dalam
sejatinya adalah sejarah perang.
Bagi manusia Bali, perang dalam kehidupan berwujud
perang fisik di bhuwana agung (alam makrokosmos) maupun perang batin di bhuwana
alit (alam mikrokosmos). Justru, perang batin yang berkecamuk dalam hati
itulah perang terbesar, terhebat dan terdahsyat. Inilah perang yang tidak
pernah berhenti dan bahkan lebih sering menghadirkan kekalahan bagi manusia.
Dalam konteks perang batin, manusia mesti
membentengi diri dengan tamiang (tameng) yang tiada lain berupa pengendalian
diri (indria). Kemampuan mengendalikan diri adalah cerminan kesadaran akan
hakikat dan jati diri sang Diri (uning ‘tahu’ atau eling ‘sadar’). Mungkin itu
sebabnya yang mendasari lahirnya nama hari raya Kuningan (kauningan). Pada hari
Kuningan yang dipuja tiada lain Dewa Indra, manifestasi Ida Sang Hyang Widhi
Wasa sebagai penguasa pengendalian dasa indria (sepuluh musuh dalam diri
manusia). Saat hari Kuningan, manusia disadarkan untuk uning, eling dengan
selalu mengendalikan indrianya.
Namun, untuk senantiasa memenangkan “peperangan”
dalam hidup, manusia harus memiliki bekal yang cukup. Bekal itu disimbolkan
dengan endongan. Isi endongan tiada lain semesta hidup. Bekal itu dilengkapi
juga dengan ter (panah) sebagai senjata. Senjata utama manusia dalam hidup
tiada lain ketajaman pikiran atau kualitas pikiran. Ketajaman pikiran ditopang
oleh jnana (ilmu pengetahuan).
Post Comment
Post a Comment