Madya Mandala di Pura Gunung Salak |
DUMAI- Ditinjau
dari segi tata bangun ruang Pura Gunung Salak dibangun berdasarkan konsep Tri
Mandala yang mana Pura Gunung Salak dirancang sebagai tempat ibadah di ruang
terbuka yang terdiri dari beberapa lingkungan yang dikelilingi tembok.
Masing-masing lingkungan ini dihubungkan dengan gerbang atau gapura yang penuh
berukiran indah. Lingkungan yang dikelilingi tembok ini memuat beberapa
bangunan seperti pelinggih yaitu tempat suci bersemayam hyang, meru yaitu
menara dengan atap bersusun, serta bale (pendopo atau paviliun). Struktur tempat
suci pura Gunung Salak mengikuti konsep Trimandala, yang memiliki tingkatan
pada derajat kesuciannya, yakni:
1.
Nista mandala
(Jaba pisan): zona terluar yang merupakan pintu masuk pura dari lingkungan
luar. Pada zona ini biasanya berupa lapangan atau taman yang dapat digunakan
untuk kegiatan pementasan tari atau tempat persiapan dalam melakukan berbagai
upacara keagamaan.
2.
Madya mandala
(Jaba tengah): zona tengah tempat aktivitas umat dan fasilitas pendukung. Pada
zona ini biasanya terdapat Bale Kulkul, Bale Gong (Bale gamelan), Wantilan
(Bale pertemuan), Bale Pesandekan, dan Perantenan.
3.
Utama mandala
(Jero): yang merupakan zona paling suci di dalam pura. Di dalam zona tersuci
ini terdapat Padmasana, Pelinggih Meru, Bale Piyasan, Bale Pepelik, Bale
Panggungan, Bale Pawedan, Bale Murda, dan Gedong Penyimpenan.
Sejarah
Pembangunan
Berawal dari munculnya perasaan tenang dan hening
ketika berada di tengah alam bebas Gunung Salak, muncul keinginan kelompok umat
Hindu untuk membangun sebuah pelinggih sederhana, sebagai focus konsentrasi
pikiran. Keinginan tersebut mendapat sambutan dari berbagai pihak, sehingga
kemudian berkembang kearah pembangunan sebuah Pura besar.
Utama Mandala di Pura Gunung Salak |
Pada Tahun 1995, dimulai dengan membangun sebuah
candi disatu titik yang diyakini sebagai petilasan Prabu Siliwangi, Raja
Termasyur dan sangat dipuja. Pembangunan candi tersebut adalah sebagai simbul
penghormatan kepada leluhur tanah sunda. Pemerintahan beliau dengan sesanti :
“Tata Tentram Kerja Raharja”, telah membawa jaman keemasan bagi Padjadjaran,
kerajaan Hindu terakhir di tanah Parahyangan. Kehidupan masyarakat dijalankan
berdasarkan kepada penghormatan ajaran leluhur “Sanghyang Dharma dan Sanghyang
Siksa”. Masa jaya ini berlangsung selama masa pemerintahan beliau tahun 1482 -1521,
dan dilanjutkan putranya Raja Surawisesa, tahun 1521-1535. Semua ini tertera
pada prasasti batu bertulis di jalan batu tulis Bogor, yang dibuat Tahun Saka
1455 atau 1533 SM.
Selama proses pembangunan, untuk sementara pura
disebut dengan “Penataran Agung Gunung Salak”. Hingga tahun 2005, atas
partisifasi umat baik perorangan maupun institusi/lembaga, panitia berhasil
menyelesaikan seluruh pelinggih di utamaning utama dan utama mandala berupa
Padmasana, Candi, Anglurah Agung, dua buah Bale Pepelik, Bale Pesamuan Agung,
Pengayengan Dalem Peed, Bale Paselang, Pawedan/Bale Gajah, Bale Reringgitan,
Bale Panjang dan Panggunan. Demikian juga pelinggih Betari Melanting/Pasar
Agung dipandang perlu dibangun sementara, untuk “nedungan Ida “ selama pelaksanaan upacara ngenteg linggih. Di Madya
dan Kanista Mandala didirikan berbagai bangunan semi permanen untuk mengdukung
yadnya maupun operasional pura selanjutnya.
Paruman
Sulinggih
Hari minggu, 11 Juni 2005 disebelah kiri belakang
padmasana, dilaksanakan paruman oleh beberapa sulinggih. Beliau adalah para
sulinggih yang tinggal menetap di Bali, Bandung, Bogor, Lampung, Tangerang dan
Jakarta termasuk dharma adhyaksa PHDI Pusat. Paruman Sulinggih ini menghasilkan
empat butir bhisama.
Arca Ganesha di Madya Mandala Pura Gunung Salak |
Pertama, pura yang telah dibangun disepakati dengan
nama “Parahyangan Agung Jagat Karta”. Ini diambil dari philosofi penciptaan
alam semesta, dimana ketika Ida Sanghyang Widhi Wasa menciptakan alam semesta
serta menurunkan ajaran Sanghyang Catur Weda, bergelar Sanghyang Jagat Kartta,
(lontar Widhi Sastra Catur Yugo-Griya Aan Klungkung), Jawa Barat semasa
pemerintahan raja-raja Siliwangi khususnya (tabe pakulun) Prabhu Sri Baduga
Maharaja; agama Veda (Hindu) adalah agama kerajaan artinya raja dan rakyat Jawa
Barat memeluk agama Hindu, Jawa Barat adalah tempat pertama masuknmya ajaran
Veda/agama Hindu di Pulau Jawa.
Dari Jawa Barat kemudian menyebar ke Jawa Tengah,
dan Jawa Timur, selanjutnya terus ke Bali. Untuk Jawa Timur juga ada penyebaran
Ajaran Veda/Agama Hindu langsung dari India yang terjadi pada kurun waktu
berikutnya. Dikaitkan dengan hal tersebutlah maka pura yang berlokasi di lereng
Gunung Salak, dimana didalamnya juga terdapat candi sebagai stana Dewa Hyang
Prabhu Siliwangi Shri Baduga Maharaja ini diberi nama “Parahyangan Agung Jagat
Kartta”. Wilayah tempat berdirinya pura ini juga dikenal sebagai desa dan
sekaligus kecamatan Tamansari di lereng Gunung Salak. Kemudian kata “Tamansari
gunung Salak “menjadi kesatuan utuh tak terpisahkan, melekat dengan nama pura,
sehingga secara lengkap disebut sebagai “PARAHYANGAN
AGUNG JAGAT KARTTA TAMANSARI GUNUNG SALAK”.
Parahyangan berarti tempat Sanghyang Widhi;
Agung berarti besar, mulia;
Jagat berarti bumi;
Kartta berarti lahir, muncul.
Taman sari adalah nama Kecamatan dilereng Gunung Salak, dimana
pura ini berada.
Keseluruhan nama tersebut mengandung makna : “pura
ini adalah tempat yang indah dan mulia sebagai stana Tuhan Yang Maha Agung,
yang berlokasi di Kecamatan Taman sari Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat.
Ngenteg Linggih
dan Piodalan/Pujawali Pura
Madya Mandala di Pura Gunung Salak |
Ditetapkan pujawali pura dilaksanakan pada Purnama
sasih ketiga dengan pertimbangan bahwa piodalan pura-pura di wilayah sekitar
BANSEJABODETABEK (Bandung, Serang, Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi)
umumnya berlangsung pada Purnama Sasih Kapat dan Kelima. Dengan pilihan waktu
tersebut, diharapkan umat sekitar dapat meluangkan waktu lebih banyak untuk
berpartisipasi di pura. Dengan memperhatikan kesiapan pembangunan phisik,
disepakati untuk melaksanakan upacara Ngenteg Linggih pada hari Radite Pon
Julungwangi tanggal 18 September 2005. Melihat besarnya bangunan phisik pura
maka tingkatan upacara yang digunakan adalah “utamaning utama” yanitu tingkat tertinggi dalam struktur upacara
yadnya agama Hindu. Melihat kenyataan bahwa umat yang bersembahyang dan ngayah
datang dari berbagai penjuru tanah air maka pura ini diberlakukan sebagai Pura
Kahyangan Jagat.
Setelah kurang lebih 10 tahun melaksanakan
pembangunan secara bertahap akhirnya Pura Gunung Salak diresmikan berfungsinya
dengan upacara Ngenteg Linggih, dimulai dari Purnama Karo, Sukra Pon Kulantir,
19 Agustus 2005 dan berakhir pada Whraspati Wage, Sungsang, 29 September 2005,
sedangkan puncak upacaranya, yakni Ngenteg Linggih pada Purnamaning Ketiga,
Radite pon julungwangi bertepatan dengan hari Minggu tanggal 18 September 2005.
Seluruh rangkaian upacara dipuput oleh para Sulinggih, baik yang didatangkan
(dituwur) dari Bali maupun yang sudah lama menetap di Jakarta, Bogor,
Tanggerang, Bandung. Setidaknya tercatat 21 Sulinggih yang terlibat dalam
rangkaian upacara ini dibantu puluhan pinandita dari Bansejabodetabek yang
tergabung dalam Sanggraha Pinandita Nusantara.bertindak selaku manggala upacara
Ngenteg Linggih adalah Ida Pedanda Gde Putra Tembau dair Griya Aan, Klungkung,
Bali, yang juga berkenan bertanggung jawab sebagai Manggala Pura.
Post Comment
+ komentar + 1 komentar
behind it all they actually did oprasi plastic, because it was easy to distinguish the
bandar togel online terpercaya di indonesia
Post a Comment