Ilustrasi Hari Raya Kuningan (motoblast.wordpress.com) |
Menurut Babad
Bali, hari raya Kuningan
merupakan perayaan turunnya Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa, para
dewa dan dewa pitara ke dunia untuk melimpahkan karuniaNya berupa kebutuhan
pokok, sehingga pada hari itu dibuat, nasi kuning sebagai lambang kemakmuran
dan dihaturkan yadnya sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita
sebagai manusia (umat) menerima anugrah dari Hyang Widhi berupa :
- Bahan-bahan sandang, dan
- Pangan
yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada
umatNya atas dasar cinta-kasihnya. Di dalam tebog atau selanggi yang berisi
nasi kuning tersebut dipancangkan sebuah wayang-wayangan (malaekat) yang
melimpahkan anugrah kemakmuran kepada kita semua.
Hari raya kuningan jatuh pada hari sabtu (Saniscara)
Keliwon Wuku Kuningan (hari raya atau Tumpek Kuningan) atau 10 hari setelah
hari raya Galungan. Dalam merayakan Kuningan, Ida Bagus Gede Agastia yang
ditulis pada artikel "Sampian Tamiang" dalam Kuningan di halaman
Hindu-Indonesia.com mengatakan, bentuk ekspresi budaya masyarakat didominasi
warna kuning.
Perayaan Kuningan mengambil waktu pagi hari, ketika
matahari mulai terbit. Memang, pancaran kesucian atau situasi keheningan
didapat pada waktu tersebut. Pada saat itu dipasang hiasan ter atau panah
(senjata). Panah itu sesungguhnya simbol ketajaman pikiran (manah) atau tingkat
kualitas pikiran.
Kata kunci dalam Kuningan adalah
- Suddha jnana, atau
- Kesucian pikiran
Orang yang memiliki tingkat suddha jnana akan
menemukan siddha (keberhasilan) yang disebut siddhi. Dengan demikian umat tak
akan memiliki berantha jnana atau pikiran kotor alias diselimuti kebingungan. Hal
itu didapat ketika masyarakat memenangkan musuh yang ada dalam tubuh yang
disebut dasa indria yang pada intinya Hari Raya Kuningan ini memuja Tuhan dalam
keheningan. Dalam keheningan itu diharapkan muncul div atau sinar suci Tuhan.
Selain panah, dalam Kuningan dipasang endongan yang
merupakan simbol perbekalan (logistik) dalam perang. Sementara dalam konteks
keberagamaan, endongan itu bermakna bekal dalam mengarungi kehidupan
seterusnya. Bekal itu tiada lain adalah karma atau hasil dari perbuatan, apakah
ia berupa ?,
- Subha karma (perbuatan baik), atau
- Asubha karma (perbuatan buruk). Jadi, hanya karma diri sendirilah sebagai bekal utama untuk menuntun menuju perjalanan selanjutnya.
Adapun beberapa jenis sampian yang digunakan pada
Hari Raya Kuningan :
- Endongan sebagai simbol persembahan kepada Hyang Widhi.
- Tamiang sebagai simbol penolak malabahaya.
- Kolem/Pidpid sebagai simbol linggih hyang Widhi, para Dewa dan leluhur kita.
Dan sehari sebelum hari raya kuningan seperti
dijelaskan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia adalah Hari Penampahan Kuningan
yang jatuh pada hari Jumat Wage Kuningan. Dalam lontar Sundarigama tidak
disebutkan upacara yang mesti dilangsungkan. Hanya dianjurkan melakukan
kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan Sapuhakena malaning jnyana
(lenyapkanlah kekotoran pikiran).
Keesokan harinya, Sabtu Kliwon disebut Kuningan.
Dalam lontar Sundarigama disebutkan, upacara menghaturkan sesaji pada hari ini
hendaknya dilaksanakan pada pagi hari dan hindari menghaturkan upacara lewat
tengah hari. Mengapa? Karena pada tengah hari para Dewata dan Dewa Pitara
"diceritakan" kembali ke Swarga Loka (Dewa mur mwah maring Swarga).
Sehari setelah Hari Raya Kuningan (Manis Kuningan),
bahkan menjelang Hari Raya Kuningan yang dikutip dari artikel penyon jegu, di
desa lain sudah menyelenggarakan suatu tradisi malelawang (mala=letuh,
lawang=pintu masuk pekarangan) dengan perwujudan barong bangkung yang di
dominasi anak-anak disamping untuk meramaikan suasana hari raya.
Tradisi - Tradisi Adat pada saat perayaan Hari Raya
Kuningan :
- Tradisi Ngrebeg di Desa Munggu
Post Comment
Post a Comment