KARANGASEM, DUMAI – Suasana
penuh toleransi dan persatuan dalam perbedaan (Unity in Diversity) tampak jelas terasa di Desa
Adat Seraya, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem. Kesatuan leluhur telah
mengeratkan kerukunan antar sesama penduduknya yang berbeda keyakinan.
Umat Hindu dan Muslim di Bukit Tabuan,
Karangasem, Bali, melakukan ritual Hari Raya Galungan dan Shafaran di tempat
yang sama (bali.tribunnews.com)
Daerah dihuni
oleh sebagian umat Hindu dan Islam yang telah membaur sejak abad ke-16 Masehi. Kondisi
tersebut tercermin dari ritual yang dilakukan secara bersama dan bergiliran
dalam satu lokasi yang dianggap memiliki nilai kesakralan oleh seluruh warga di
sana, baik yang Hindu maupun Islam.
Ritual
yang dilakukan tersebut yakni umat Hindu merayakan Hari Raya Galungan, sedangkan
umat Islam di Bukit Tabuan juga melakukan tradisi Shafaran yang dilakukan setiap tahun sekali, atau tepatnya pada
akhir bulan Shafar (menurut kalender Islam), yang jatuh pada pertengahan
Desember ini.
”Kita
semua sudah seperti saudara. Kita ada di sini sejak dipindahkan dari Yeh Kali
oleh Anak Agung Ngurah Karangasem (Raja Karangasem). Mungkin
sekitar abad 16,” ungkap tokoh Desa Dinas Bukit Tabuan, Burhanuddin, seperti
dilansir Tribunnews.com, Rabu (17/12) kemarin.
Sebelum
melakukan ritual, dua warga yang memiliki keyakinan berbeda terlihat membaur
menjadi satu di lokasi yang sama. Tempat tersebut bernama Prasasti Pesantren
Buar–Buaran, dan kini berubah nama menjadi Pura
Bhor Lokha atau Pura Buar–Buaran.
Sekitar
ratusan umat yang berbeda keyakinan terlihat duduk secara bersama di Pura Bhor
Lokha, untuk melakukan ritual menurut kepercayaannya. Sebelum upacara
persembahyangan (Galungan) digelar oleh umat Hindu, sebagian umat Islam diberi
kesempatan untuk melakukan ritual terlebih dahulu. Lantunan ayat Al-quran
terdengar dari sekitar Pura Bhor Lokha, dan beberapa umat Islam juga terlihat
menebarkan kembang di Prasasti tersebut. Usai ritual tersebut, acara
dilanjutkan oleh umat Hindu Desa Bukit Tabuan. Mereka melakukan persembahyangan
secara bersama untuk memperingati Hari Raya Galungan, dan dilanjutkan nunas tirta yang dilakukan oleh para pemangku.
Ritual
antara umat Hindu dan Islam di Pura Bhor Lokha ditutup dengan penyerahan
sesajen antara dua tokoh. ”Ini adalah momen yang paling bahagia. Ini baru
pertama kami menggelar upacara secara bersama di tempat ini (Pura Bhor Lokha),”
ujar tokoh Desa Bukit Tabuan, Hasan Basri.
Menurut
Bandesa Adat Seraya, I Nyoman Matal, ikatan persaudaraan umat Hindu dan Islam
di Desa Dinas Bukit Tabuan telah terjalin sejak dulu. Tali persaudaraan itu
diikat oleh sebuah prasasti yang merupakan warisan dari leluhur bersama mereka.
Hasan Basri menambahkan, mereka umat Hindu dan Islam di Bukit Tabuan kadang
menyampaikan rasa syukurnya di Prasasti.
”Tahun
ini tradisi Shafaran bertepatan dengan Hari Raya Galungan. Jadi penyampaian
rasa syukur dilakukan secara bersama dalam waktu bergiliran,” ujar Matal.
Hasan
Basri menambahkan, prasasti yang berada di Pura Bhor Lokha sudah ada sejak para
leluhur di sana mengenal solat telu waktu (tiga waktu). Di tempat ini pula para
leluhur di Bukit Tabuan melakukan ibadah secara bersama.
”Leluhur
dulu mengadakan ritual disini dengan membawa sesajen. Biasanya sebelum musim
panen, mereka datang kesini (Prasasti) untuk bersyukur. Kerukunan ini sudah
terjadi sebelum kita ada,” tambah Hasan Basri.
Post Comment
Post a Comment