DUMAI - Menjelang
hari suci Galungan, sering kita baca, dengar dan lihat orang membahas tentang
makna hari suci itu, baik itu melalui media cetak, radio maupun televisi. Tapi
dari pembahasan yang dikemukakan, semua akan bermuara pada arti dan pemaknaan
hari suci tersebut.
(Facebook/Puskor Hindunesia)
Pada
kesempatan ini, seperti dikutif dari Fans Page Puskor Hindunesia akan membahas dari perspektif yang berbeda.
Kita akan melihat dari rangkaian 7 proses inti yang kita lalui dari keseluruhan
10 proses yang ada. Kenapa kita ambil hanya 7, karena angka 7 dalam Hindu
memilki makna tingkatan suci baik kebawah (Sapta
Butha) ataupun tingkatan suci ke atas (Sapta
Patala
- Sapta Dewa) yang merepresentasikan kekuatan Dewa (Dharma) dan kekuatan Butha (Adharma).
Ketujuh
proses itu diilustrasikan seperti kita mendaki gunung tinggi, yang
tahap-tahapannya kita harus lewati sebelum kita menuju puncak. Keberhasilan
kita dalam pendakian itu adalah pertanda kita telah paham dengan setiap proses
dan belajar banyak hal dari satu langkah yang kita lewati.
Satu
hal yang sangat penting, bahwa penamaan yang dibarengi dengan aktifitas dasar
yang kita temukan di Bali, sangat kaya dengan makna dan filosofi religi. Yang
terkadang kita hanya melihat dari sisi aktifitas saja, padahal jauh daripada
itu mengandung makna kupasan spiritual yang sangat dalam. Dengan demikian
"beragama" orang Hindu di Bali, selama ini sudah sangat bagus pada
tahapan implementatif, tapi perlu penguatan pemahaman yang lebih dalam.
Baiklah
kita mulai dari proses pertama, yakni:
(1)
Sugihan Jawa,
proses pembersihan dan penyucian jagat raya atau alam semesta (Makrokosmos),
bermakna menyucikan lingkup terluas sebagai bagian dari kehidupan kita. Dalam
Piramida yang digambarkan merupakan rangkaian dasar dan fondasi terluas untuk
menopang proses-proses berikutnya. Bila kita hubungkan dengan ilustrasi
pendakian itu, kita bisa samakan dengan proses persiapan perbekalan, peralatan
dan pemetaan sebelum kita mendaki.
(2)
Sugihan Bali,
proses pembersihan dan penyucian diri sendiri (manusia), yang kita kenal dengan
istilah alam kecil kita (Mikrokosmos - bhuwana alit). Kenapa mesti manusia yang
harus disucikan? Sebagai makhluk utama yang diciptakan Brahman, maka manusia
memiliki kunci dalam mengendalikan keseimbangan jagat ini. Sebagai alam kecil,
maka pribadi-pribadi manusia adalah cerminan dari jagat raya itu sendiri. Untuk
menjaga alam besar ini harmoni dan seimbang, maka kita harus menjaga harmoni
dan keseimbangan alam kecil kita. Proses kedua ini bisa kita andaikan pada
proses pendakian awal, dimana kita masih temukan medan yang belum begitu berat,
tanpa tanjakan dan sedikit rintangan yang berarti, karena diri kita sendiri
yang sangat paham akan siapa kita.
(3)
Penyekeban
(isolasi, meditasi, untuk menjaga stamina tubuh kita - angga sarira), dalam
mempersiapkan diri melewati proses berikutnya. Dalam pendakian ke puncak
gunung, proses ini bisa kita samakan dengan istirahat kita di "Camp"
yang pertama, sambil mencari dan mengumpulkan energi untuk melanjutkan
pendakian. Waktu istirahat ini akan sangat penting agar kita bisa mengurangi
kejenuhan dan bisa berpikir lebih tenang.
(4)
Proses berikutnya lebih mengerucut lagi ke dalam diri raga manusia, khususnya
ke pikiran (manah) yang akan memantapkan diri kita untuk berkomitmen
memenangkan Dharma dalam diri kita. Proses ini disebut Penyajaan (proses
memastikan, proses "nyajaan",
asal kata dari "saja" (benar, pasti, yakin)). Bahkan dalam konsep
manajemenpun kita kenal dengan proses "actuating"
(aktualisasi). Pada tahap ini kita sudah tidak ragu lagi bahwa pendakian tetap
akan kita lanjutkan untuk mencapai puncak kemenangan Dharma.
(5)
Pengejukan,
arti dari pengejukan adalah menangkap dan membelenggu segala perintang yang
kita simbolkan sebagai sarwa Butha dalam rangkaian Galungan ini, untuk kemudian
kita kalahkan (tampung, tampah) di hari berikutnya. Butha ini tiada lain adalah
simbol dari sifat-sifat buruk dalam diri kita yang menjadikan diri kita
"gelap" (awidya), seperti Butha Amangkurat (Keinginan Menguasai),
Butha Dungulan (Ego), Butha Galungan (Keangkuhan dan Kedengkian), seperti tertulis
dalam lontar Sri Jaya Kasunu. Kembali ke proses pendakian gunung, ini adalah
proses menaklukan rasa pesimis, rasa lelah, keinginan untuk turun dan rasa
sakit yang menyiksa dimana-mana, yang membuat kita ingin mengakhiri proses
pendakian itu.
(6)
Penampahan ("nampah", memotong atau membunuh,
bisa juga diartikan menyomiakan - menetralisir) kekuatan-kekuatan Butha,
terutama Butha Amangkurat (keinginan untuk menjadi penguasa), yang menjadi
butha paling dominan dari semua sifat buruk yang ada pada diri kita. Proses ini
bisa juga kita artikan "nampa" (menampung) pada suatu titik, kekuatan
butha itu untuk selanjutnya kita netralisir menjadi kekuatan Dewa. Dari gambar
piramida pendakian itu, tahapan ini sudah semakin mengerucut pada penguasaan
diri, karena dalam benak kita, sudah terbayang bahwa puncak sudah sangat dekat
dan kita mengumpulkan kelemahan-kelemahan yang ada pada tahap sebelumnya untuk
kita netralisir dengan pencapaian tujuan yang sudah dekat.
(7)
Galungan,
kemenangan, puncak kepuasan rohani. Ini lah puncak kotemplasi diri yang
dinantikan, dimana semua kekuatan butha sudah tersomiakan menjadi kekuatan
Dewa, kekuatan Dharma, kekuatan keceriaan dan kebahagiaan. Kita merayakannya
dengan kelimpahan kemuliaan hidup, dan rasa syukur yang tinggi akan keagungan
Sang Maha Pencipta. Kita mulai dengan melakukan SEMBAHYANG (Menyembah Hyang,
Hyang itu Atman, Atman itu Diri kita) di pemerajan, sanggah, padukuhan, sanggar
pamujan, dan tempat-tempat yang kita jadikan tempat untuk memuliakan roh-roh
suci para leluhur.
Pertemuan
antara spirit kita (yang sudah kita sucikan dan kita perkuat unsur dewa-nya
dalam proses tersebut), dengan spirit-spirit suci para leluhur, orang-orang
Suci, para Dewa dan akhirnya Sang Hyang Tunggal, maka sempurnalah garis itu
sebagai garis KEMENANGAN DHARMA yang
sesungguhnya.
Demikianlah
secara singkat, pemaknaan 7 proses yang kita lalui dalam menuju perayaan
kemenangan dharma di HARI
SUCI GALUNGAN. Selamat hari suci Galungan, semoga semangat DHARMA tetap dan terus membara dalam diri kita sehingga sifat-sifat
butha yang selalu ingin menguasai kita akan terus luluh dan ter-somia-kan
setiap saat.
Post Comment
Post a Comment