Ilustrasi Upacara Caru(Tawur)
Caru adalah kurban suci yaitu upacara yadnya yang
bertujuan untuk keseimbangan para bhuta sebagai kekuatan bhuwana alitmaupun
bhuwana agung sebagaimana disebutkan dalam kanda pat butha sehingga dengan
adanya keseimbangan tersebut berguna bagi kehidupan ini.
Caru yang dalam sejarahnya disebutkan diawali dari
terjadinya kekacauan alam semesta yang mengganggu ketentraman hidup sebagai
akibat dari godaan-godaan bhuta kala, sehingga Hyang Widhi Wasa menurunkan
Hyang Tri Murti untuk membantu manusia agar bisa menetralisir dan selamat dari
godaan-godaan para bhuta kala itu sehingga mulailah timbul banten “Caru”
sebagaimana disebutkan dalam mitologi caru ini.
Dan dijelaskan pula bahwa, Caru (Mecaru; Pecaruan;
Tawur)sebagai upacara yadnya yang bertujuan untuk keharmonisan bhuwana agung
(alam semesta) dan bhuwana alit agar menjadi baik, indah, lestari sebagai
bagian dari upacara Butha Yadnya.
Dengan demikian, upacara mecaru adalah aplikasi dari
filosofi Tri Hita Karana, seperti yang disebutkan dalam LontarPakem Gama Tirta,
agar terjadi keharmonisan. Upacara pecaruan ada yang dilakukan dalam bentuk
kecil sehari-hari, disebut Nitya Karma, sedangkan upacara pecaruan disaat
tertentu (biasanya lebih besar) disebut Naimitika Karma.
Jenis-jenis Caru dan Tawur
- Lontar Dewa Tattwa membedakan jenis-jenis Caru dan Tawur sebagai berikut:
- Yang diadakan bila ada kejadian tertentu misalnya: bencana, bencana alam, hama penyakit, gerhana matahari, huru-hara, perang, dll.
- Yang diadakan: sehari-hari, hari tertentu, sasih (bulan) tertentu, dan warsa (tahun) tertentu.
- Yang diadakan disuatu tempat: pekarangan, rumah, pura, sanggah, Banjar, Desa Adat, seluruh pulau (Bali), seluruh dunia, danau, laut, hutan, gunung, dll.
- Mengikuti upacara pokok Panca Yadnya.
Dalam Lontar Dewa Tattwa dibedakan pula antara Caru
dan Tawur.
Yang termasuk Caru :
- Eka Sata,
- Segehan Panca / Manca Warna,
- Panca Sata,
- Panca Sanak,
- Panca nak-madurga,
- Ngeresigana (Resi Gana).
Yang termasuk Tawur:
- Manca Kelud,
- Balik Sumpah,
- Tawur Gentuh,
- Panca wali krama,
- Eka Bhuwana,
- Tri Bhuwana,
- Eka Dasa Rudra.
Semua beburon / hewan sebelum diupacarai dimandikan
terlebih dahulu kemudian dikenakan kain menurut warna pengider disertai
kalungan uang kepeng manut urip.
Alat-alat yang ikut diupacarai: blakas, golok,
taledan, lumpyan, pane, lesung, tungku, talenan, payuk, ilih, siut, sendok,
katikan sate, cubek. Juga disertai lakar base genep.
Penggunaan hewan dalam Caru dan Tawur (Lontar
Sudamala dan Lontar Kala Tattwa)
- Ayam Panca warna, masing-masing untuk: putih – Bhuta Janggitan, biying – Bhuta Langkir, siungan – Bhuta Lembu Kania, hitam – Bhuta Taruna, brunbun – Bhuta Tiga Sakti
- Ayam biying kuning, untuk Bhuta Jingga
- Ayam ijo, untuk Bregala-Bregali, Bebai
- Ayam Ijo, untuk Bhuta Ijo
- Ayam klawu, untuk Bhuta Ireng
- Ayam wangkas, untuk Bhuta Lambukan
- Angsa putih, untuk Korsika
- Asu bang bungkem, untuk Bhuta Hulu Kuda
- Banteng, untuk Bhuta Ijo
- Bawi palen,untuk Mahakala
- Bebek belang kalung, untuk Panca Mahabhuta
- Bebek bulu sikep, untuk Bhuta Lambukan
- Godel, untuk: Gargha, Kapragan, Mrajapati.
- Kambing coklat/kuning, untuk Maitri, Kamala-Kamali, Kala Sweta, Banaspati
- Kambing coklat, untuk Bhuta Jingga
- Kambing selem, untuk Kurusya, Banaspati Raja
- Kambing sewarna, untuk tapakan Bhatara Di Sanggah Tawang
- Kebo yusmerana, untuk Bhuta Ireng
- Kidang, untuk Kalika-Kaliki, Yaksa-Yaksi, Dengen, Anggapati
- Manjangan, untuk Bhuta Ijo
- Penyu (punggalan), sampelan kebo, sampelan kambing, untuk pelengkap catur niri
- (Tanda bintang artinya ada Bhuta yang sama memerlukan beberapa binatang kurban untuk di-“somya”)
Olahan hewan (beburon) menurut Lontar Dharma Caruban
sebagai tuntunan ngebat.
- Kinelet melayang-layang: kepala, kaki, ekor, dan kulit utuh.
- Winangun urip: letak hewan tertelungkup dan ada unsur-unsur tulang rusuk, tulang punggung, tulang kaki dan tulang ekor.
- Urab/Reramesan barak dan putih: berisi daging, lidah, hati, lemak, kulit, darah (kalau reramesan barak) Getih matah: darah segar yang ditampung di sebuah kau ketika menyembelih hewan, diiisi lontar nama hewannya.
- Sate (jejatah) lembat, asem, dan calon disebut Trinayaka sebagai persembahan tubuh hewan termasuk denganaksara suci Ang – Ung – Mang.
- Gayah: punggalan bawi, winangun urip, mejatah katikan senjata Dewata Nawa Sanga, ditambah mejatah katikan-katikan: bagia, orti, surya, candra, tunjung, cempaka, pidpid, sapudaki, konta, japit dumi, oret-oret, satuh, don,jerimpen, ancak, penyeneng, sandat, endongan, satuh, bingin.
Bahan-bahan Upakara dalam Pecaruan (Lontar Sudamala)
Bahan-bahan upakara dalam pecaruan terdiri dari tiga
jenis:
- Mataya; bahan dari tumbuh-tumbuhan: daun, bunga, buah, pohon, biji-bijian, umbi-umbian, arak berem, tuak.
- Mantiga; hewan yang lahir dua kali (melalui telur): ayam, bebek, angsa, burung.
- Maharya; hewan yang lahir satu kali (tidak melalui telur) dan berkaki empat: babi, sapi, kerbau, kambing, anjing.
Penempatan warna bulu hewan caru mengacu pada
kedudukan Panca Korsika dan Bhuta, disesuaikan dengan warna bulu hewan itu. Hal
ini juga disebutkan dalam ephos Mahabharata, ketika Dewi Kunti hendak
mengorbankan Sahadewa untuk “nyupat” Panca Korsika.
Makna simbol warna dalam Upacara Pecaruan (Lontar Dewa
Tattwa)
Warna-warna: bulu hewan, kober, tumpeng, kelungah,
dangsil, sanganan, nasi, beras, bunga, benang, dll mengikuti warna pengider:
- Sweta (putih),
- Dumbra (merah muda),
- Rakta (merah),
- Rajata (oranye),
- Pita (kuning),
- Syama (hijau),
- Kresna (hitam),
- Biru (abu-abu),
- dan sarwa suwarna (campuran)
Warna-warna itu selain sebagai identitas para dewa
yang menjaga keseimbangan, juga sebagai simbol berbagai sifat yang ada dalam
diri manusia:
- Putih: suci;
- Merah-muda: kesucian yang ternoda oleh kemarahan;
- Merah : marah;
- Oranye: marah karena nafsu tak terpenuhi;
- Kuning: nafsu;
- Hijau: serakah;
- Hitam: iri-hati;
- Abu-abu: iri-hati yang terselubung.
Dari 9 warna yang ada, hanya 1 (warna putih) sebagai
simbol sifat baik yang bisa dikalahkan oleh warna lain simbul keburukan. Oleh karena itu warna putih dibanyakkan dengan
tepung beras yang dirajah pada banten Rsi Gana.
Dengan demikian sifat-sifat buruk asubha karma
manusia diusahakan di-”somiya” melalui pecaruan sehingga Asuri Sampad (sifat
keraksasaan) dapat berubah menjadi Daiwi Sampad (sifat kedewataan)
Urip Wewaran pada caru dan tawur
(Lontar Warigha Bhagawan Gargha)
Penggunaan urip wewaran / neptu pada caru yang
dasarnya panca wara, karena sesuai dengan mitologi panca korsika, yakni: :
- Umanis urip 5 di timur,
- Paing urip 9 di selatan,
- Pon urip 7 di barat,
- Wage urip 4 di utara,
- dan Kliwon urip 8 di tengah.
Jumlah urip panca wara = 33 juga sesuai dengan
jumlah Dewa menurut Satha Pata Brahmana dimana para Dewa diyakini berperan
menjaga keselamatan bhuwana agung.
Penggunaan urip pada tawur pada dasarnya membentuk
padma bhuwana (lingkup bhuwana agung menurut pengider-ider) maka digunakan asta
wara, dimana urip panca wara diatas ditambah dengan:
- Guru urip 8 di tenggara,
- Rudra urip 3 di barat daya,
- Kala urip 1 di barat laut
- dan Sri urip 6 di timur laut.
Jumlahnya = 18 dimana secara matematis total digit:
1 + 8 = 9 (jumlah pengider-ider dewata nawa sanggha)
Urip Wewaran tersebut digunakan dalam banten caru /
tawur untuk antara lain jumlah :
tumpeng, reramesan, sate, tangkih, jinah, dll. Demikian dijelaskan dalam
Dokumen Forum Diskusi Jaringan Hindu Nusantara.
Penggunaan binatang kurban pada caru, sebagaimana
disebutkan dalam salah satu komentar forum diskusi Bhakti Manawa Wedanta,
penggunaan binatang ini sangat menentukan nama dan tingkatan banten caru
tersebut. Misalnya caru Eka Sata menggunakan ayam brumbun atau lima warna. Caru
Panca Sata menggunakan lima ekor ayam.
Pemakaian binatang dan tumbuh-tumbuhan sebagai
sarana upacara Yadnya telah disebutkan dalam Manawa Dharmasastra V.40.
Tumbuh-tumbuhan dan binatang yang digunakan sebagai sarana upacara Yadnya itu
akan meningkat kualitasnya dalam penjelmaan berikutnya.
Manusia yang memberikan kesempatan kepada
tumbuh-tumbuhan dan hewan tersebut juga akan mendapatkan pahala yang utama.
Karena setiap perbuatan yang membuat orang lain termasuk sarwa prani meningkat
kualitasnya menjadi perbuatan yang sangat mulia. Perbuatan itu akan membawa
orang melangkah semakin dekat dengan Tuhan.
Karena itu penggunaan binatang sebagai sarana pokok
upacara banten caru bertujuan untuk meningkatkan sifat-sifat kebinatangan atau
keraksasaan menuju sifat-sifat kemanusiaan terus meningkat menuju kesifat-sifat
kedewaan.
Dalam memaknai caru, menurut “lontar Carcaning Caru”
jenis-jenis caru yang disebutkan Caru ayam berumbun ( dengan satu ekor ayam ),
Caru panca sata ( caru yang menggunakan lima ekor ayam yang di sesuaikan dengan
arah atau kiblat mata angin ), Caru panca kelud dengan caru yang menggunakan
lima ekor ayam di tambah dengan seekor itik atau yang lain sesuai dengan
kebutuhan upacara yang di lakukan, dan Caru Rsi Gana.
Banten caru berfungsi sebagai pengharmonis atau
penetral buwana agung (alam semesta), di mana caru ini bisa dikaitkan dengan
proses pemlaspas maupun pangenteg linggihan pada tingkatan menengah (madya).
Usia caru ini 10-20 tahun, tergantung tempat upacara. Penyelenggaraan caru juga
dapat dilaksanakan manakala ada kondisi kadurmanggalan dibutuhkan proses
pengharmonisan dengan caru sehingga lingkungan alam kembali stabil. Demikianlah caru ini disebutkan dan dilaksanakan
untuk keharmonisan alam semesta ini.
Post Comment
Post a Comment