KINTAMANI, DUMAI -
Kurangnya sarana dan prasarana pendidikan serta transportasi di Desa Subaya,
Kintamani, Bali memaksa anak-anak di desa tersebut harus berjuang lebih keras agar
bisa bersekolah.
Siswa di Subaya, Kintamani berjalan kaki ke sekolah (Balipost.com) |
Untuk mencapai sekolah terdekat, dalam kesehariannya anak-anak di Subaya harus melewati medan yang terjal dan sulit dijangkau. Tidak sedikit dari mereka juga harus naik turun jurang termasuk melalui jalan setapak.
Seperti yang selama ini dijalani Ni Ketut Ngarsi (11) siswa kelas enam SD ini. Sehari-hari, Ngarsi bersama teman-temannya harus menempuh jarak berkilo-kilo meter dari rumahnya menuju sekolahnya. Selain jauh, dalam perjalanannya itu dirinya juga harus melalui jalan setapak yang bagian kanan dan kirinya diapit jurang.
Tak hanya berjuang untuk bisa mencapai sekolah, sepulang dari sekolah dirinya dan anak-anak lainnya di Subaya juga harus banting tulang membantu orang tuanya. Faktor ekonomi menjadi salah satu alasan mendasar yang memaksa anak-anak ini belum bisa merasakan kemerdekaan sebagaimana anak-anak seusianya yang lain.
Meski mengambil pekerjaan yang cukup berat, namun mereka mengaku telah terbiasa melakukan pekerjaan itu, seperti menyabit rumput dan mencari kayu bakar. Narsi mengaku belum bisa memastikan apakah selepas dirinya menamatkan pendidikan di jenjang SD bisa melanjutkan SMP. Sejauh ini Narsi menyerahkan keputusan itu kepada orang tuanya.
Sementara itu, Kepala Desa Subaya Nyoman Diantara menuturkan bahwa jarak sekolah yang jauh membuat angka putus sekolah di desa ini sangat tinggi. Bahkan wajib belajar sembilan tahun yang selama ini diprogramkan pemerintah tidak dapat berjalan maksimal, seperti dilansir Balipost.com, Rabu
(/8/10).
Post Comment
Post a Comment