Pura Kancing Gumi |
DUMAI - Pura Kancing Gumi sejatinya menjadi salah satu pura
yang memegang arti penting dalam bentang kosmologi-spiritual Bali. Seperti
namanya, pura ini merupakan kunci yang menentukan kestabilan Pulau Bali bahkan
dunia. Karenanya, di kalangan warga Desa Adat Batu Lantang, pura ini diyakini
sebagai penekek jagat (penguat atau penjaga stabilitas dunia).
Memang, ihwal kelahiran Pura Kancing Gumi dikaitkan
dengan mitos masa-masa awal terjadinya Pulau Bali yang tidak stabil. Sebagaimana
ditulis dalam sumber-sumber susastra tradisional seperti lontar atau pun
purana, awalnya keadaan Pulau Bali dan Lombok sangatlah labil juga sepi tanpa
penghuni. Ibarat perahu tanpa pengemudi, keadaan pulau ini oleng tidak menentu
arahnya.
Keadaan ini membuat Batara Hyang Pasupati kasihan
dan ingin menstabilkannya. Kala itu di Bali baru terdapat empat gunung yakni
Gunung Lempuyang di timur, Gunung Andakasa di selatan, Gunung Batukaru di barat
dan Gunung Beratan di utara. Akhirnya, untuk menstabilkan Pulau Bali, Hyang
Pasupati memotong puncak Gunung Semeru di Jawa Timur dan menancapkannya di
Pulau Bali dan Lombok. Keadaan Pulau Bali dan Lombok pun stabil.
Selanjutnya, dalam Dewa Purana disebutkan, setelah
keadaan Pulau Bali stabil, Bhatara Hyang Pasupati menyebarkan amertha berupa
lingga-lingga. Sebagai pacek (pancang) gumi Bali ditancapkan sebuah lingga di
sebuah pebukitan yang belakangan dikenal dengan nama Batu Lantang. Lingga
itulah kemudian dikenal sebagai Hyang Gunung Alas atau Hyang Kancing Gumi.
Sumber-sumber sejarah menyebutkan, sebelum dikenal istilah pura di Bali lebih
dikenal istilah hyang.
"Di Bali memang disebarkan banyak lingga. Akan
tetapi, lingga di Pura Kancing Gumi ini memiliki peranan khusus sebagai panekek
jagat," ujar Pemangku Pura Kancing Gumi, Jero Mangku Putu Cinta seperti
dilansir Balisaja.com, Kamis (4/9).
Meski begitu, hingga kini masih sulit dilacak kapan
sejatinya Pura Kancing Gumi ini didirikan. Hanya saja, berdasarkan penelitian
yang dilakukan Balai Arkeologi Denpasar dan Suaka Peninggalan Sejarah dan
Purbakala Bali-NTB-NTT-Timtim yang dilaksanakan tahun 1991 menyimpulkan lingga
yang berada di areal pura merupakan sebuah menhir. Menhir merupakan bentuk
megalitik dari zaman prasejarah yang umumnya difungsikan sebagai tempat
pemujaan.
Pura Kancing Gumi |
Struktur Pura Kancing Gumi sangatlah sederhana.
Areal pura tidak lebih dari empat are dengan dibatasi tembok penyengker
(pembatas). Awalnya, pembatasnya hanyalah ancak saji (pagar dari bambu).
Pelinggih atau bangunan suci utama berupa lingga yang berupa patahan batu
berjumlah sembilan. Ada juga gedong sari, catu meres, catu mujung, bale
pengaruman serta padma yang baru didirikan saat pelaksanaan karya agung. Yang
agak unik, Pura Kancing Gumi berada dalam satu areal dengan Pura Puseh, Pura
Desa dan Pura Penataran Agung.
Pengempon utama Pura Kancing Gumi yakni sekitar 42
kepala keluarga (KK) dari Desa Adat Batu Lantang. Namun, karena status pura ini
kahyangan jagat, saban kali pujawali, banyak umat dari pelosok Bali
berduyun-duyun tangkil ke pura ini.
Secara fungsional, bagi warga Desa Adat Batu
Lantang, Pura Kancing Gumi juga menjadi tempat untuk memohon keselamatan bagi
yang sakit. Begitu juga binatang piaraan atau pun tetanaman di sawah dan ladang
yang diserang hama. Pun, bila terjadi musim keramau yang berkepanjangan, ke
pura inilah warga setempat memohon hujan. Sebaliknya juga memohon menolak hujan
jika sedang dilaksanakan upacara besar.
Post Comment
Post a Comment