Pura Agung Gunung Tambora (baliaga.wordpress.com) |
DUMAI - Pura Agung Gunung Tambora yang terletak di Sumbawa,
Nusa Tenggara Barat ini sangat terkait dengan Perjalanan Danghyang Nirarta dari
kerajaan Daha menuju Tambora sekitar tahun 1478-1560. Hal itu menurut
Dr.Soegioanto Sastrodiwiryo dalam bukunya berjudul: Danghyang Nirarta: Sebuah
Dharmayatra (1478-1560) dari Daha ke Tambora, jauh sebelum Gunung Tambora
meletus (1815) pada bulan Phalguna 1532 Masehi.
Danghyang Nirarta yang telah berusia 80 tahun
setelah melaksanakan Dharmayatra di Pulau Lombok, memutuskan berlayar menuju
Pulau Sumbawa menggunakan perahu, disertai nelayan Lombok yang pernah dibantu
saat mereka terdampar di Mojok Batu (di pantai/pura Ponjok Batu-sekarang) di
Singaraja. Selanjutnya, beliau melewati Teluk Taliwang hingga berlabuh di Teluk
Sumbawa.
Kedatangan Danghyang Nirartha disambut Kepala Desa
dan tokoh masyarakat setempat yang kebetulan saat itu kehidupan masyarakat di
sana sedang kesusahan, akibat gagal panen akibat diserang hama penyakit. Atas
permohonan kepala desa itu, akhirnya Danghyang Nirartha terpanggil membantu
masyarakat petani dimaksud.
Beliau lantas memerintahkan masyarakat setempat
untuk mengisi sawah dan ladangnya dengan padupaan yang berisi api dan kemenyan.
Dengan memohon kepada Tuhan dan Dewa yang berstana di Gunung Tambora, keesokan
harinya tiba-tiba hama penyakit berupa ulat dan belalang itu lenyap tanpa
bekas. Karenanya, sejak itu masyarakat memanggil beliau dengan sebutan Tuan
Semeru.
Mencermati sejarah Dharmayatra beliau, ada dua
motivasi Danghyang Niratha melaksanakan Dharmayatra ke Pulau Sumbawa yakni,
karena rasa kekaguman dan kerinduan yang mendalam untuk melihat Gunung Tambora
ke dalam rasa keagamaannya membayangkan bagaimana Siwa (Tuhan) menjejakkan
kakinya saat membangun tiga dunia. Beliau merasa bahwa jejak Siwa yang paling
timur adalah Gunung Tambora. Beliau berharap agama Hindu masih bisa
dipertahankan keajegannya di daerah ini.
Di samping itu,
adanya hasrat yang besar untuk
bertemu dengan kerabat leluhurnya yang
merupakan seorang Brahmana Siwa yang sebelumnya diutus dan ditugaskan Raja
Majapahit (tahun 1344 Masehi) untuk menaklukkan raja-raja di Sumbawa.
Setelah armada Majapahit di bawah pimpinan Mahasenopati Nala berhasil menaklukkan
raja-raja yang ada di pulau Sumbawa. Danghyang Nirartha berharap dapat bertemu
dengan putra-putri beliau, atau setidaknya bisa bertemu dengan cucu
seangkatannya.
Setelah mendapat informasi dari penduduk Sumbawa,
bahwa kerabatnya telah lama meninggal, Beliau pun melanjutkan perjalanan ke
Gunung Tambora, masuk ke Teluk Saleh melewati celah antara pulau Sumbawa dan
pulau Moyo dan akhirnya sampai di pelabuhan di lereng selatan Gunung Tambora.
Saat itu, Gunung Tambora yang puncaknya tampak perkasa
sesekali mulai mengeluarkan asap dan lidah api. Di pelabuhan itu, beliau
kemudian disambut penghulu kaya dan rajin. Penghulu itu ternyata telah lama
mendengar kehebatan beliau, karenanya begitu bertemu dengan beliau, penghulu
itu memelas agar bersedia membantu menyembuhkan anaknya yang telah lama
menderita suatu penyakit dan sangat sulit disembuhkan serta berbagai upaya dan
usaha telah dilakukan tetapi satu pun tidak berhasil.
Selanjutnya Danghyang Nirartha mencoba mengobati
dengan segala kemampuannya. Akhirnya anak penghulu itu pun berhasil dibantu.
Sebagai ungkapan terima kasih penghulu itu merelakan anaknya diajak ke Bali.
Selama berada daerah ini, Danghyang Nirartha kerap melakukan payogan. Salah
satunya adalah di sekitar lokasi Pura Agung Gunung Tambora dimaksud. Seperti
halnya di tempat lain, di manapun beliau pernah beryoga, tempat itu selalu
menjadi tersohor karena biasanya tempat dimaksud mampu memancarkan aura
spiritual yang sangat tinggi. Tak heran jika sebagian besar jejak perjalanan
beliau, kini dibangun sebuah tempat yang megah serta banyak umat yang datang
memohon anugrah sekaligus tuntunan spiritual beliau, tak terkecuali di Pura
Agung Gunung Tambora yang mampu memancarkan aura kesejukan, kedamaian, dan
ketenangan serta spiritual yang sangat kuat dan tinggi.
Tanjung Menangis
Setelah dirasa cukup menunaikan tugas sucinya, serta
puas berada di daerah ini, lanjut Jro Mangku Gede Tambora yang mantan
pengerajin perak dan emas ini, beliau
memutuskan kembali ke Bali. Namun, masyarakat di sana merasa sangat kehilangan
dan sedih ketika beliau mengutarakan niatnya itu, bahkan sejumlah warga
bersikeras agar beliau tetap berada di sana, tetapi itu tidak mungkin
dilakukan. Akhirnya, dengan berat hati, masyarakat itu melepas kepulangan
beliau dengan rasa haru dan sedih.
Sebagai rasa hormat dan bhaktinya kepada beliau,
masyarakat lalu mengantar beliau beramai-ramai sekaligus berpisah di sebuah
tanjung yang kemudian tanjung itu diberi nama Tanjung Menangis. Dinamakan
seperti itu karena kepergian beliau diiringi dengan isak tangis.
Selanjutnya beliau kembali melalui pantai utara
Lombok, dan pada April Icaka 1455 tiba di pelabuhan Kusamba serta langsung
menuju ibukota Gelgel. Sampai di Bali, anak penghulu yang dibawa itu diberi
nama Denden Sari. Setelah dewasa Denden Sari kemudian dinikahkan dengan cucunya
Danghyang Nirartha bernama Ida Ketut Buruan Manuaba. Merekalah kemudian
menurunkan Klen Manuaba sampai saat ini.
Lebih jauh Jro Mangku yang dikenal kaya pengalaman
ini menjelaskan, Pura Gunung Tabora yang terletak di kaki Gunung Tambora
tepatnya 146 Km dari Kota Dompu ini, merupakan Pura Kahyangan Jagat yang ada di
NTB. Pura ini sangat dikeramatkan umat
Hindu di Kabupaten Bima, Dompu, dan Sumbawa serta penduduk lain di sekitar
pura.
Setiap Pujawali yang jatuh pada Purnamaning Sasih
Kasa, umat Hindu di tiga kabupaten dimaksud berduyun-duyun tangkil ngaturang
sembah bakti memohon anugrah sekaligus tuntunan spiritual beliau, serta
permohonan lainnya. Banyak permohonan pamedek yang dilakukan dengan penuh ketulusan
dikabulkan oleh beliau, sehingga tak heran jika seiring berjalannya waku,
terutama pada waktu dan hari-hari tertentu pura ini ramai dikunjungi umat Hindu
bahkan umat non-Hindu dengan tujuan tertentu.
“Pura ini dibangun atas petunjuk Ida Peranda Gede
Putra dari Griya Cempaka, Singaraja yang sedang melaksanakan tirtayatra ngetut
pemargin Danghyang Nirarta ke Pulau Sumbawa. Lokasi pura ditentukan melalui
petunjuk yang diterima Ida Peranda melalui konsultasi niskala dengan beliau
yang berstana di pura ini, akhirnya di sinilah tempat yang paling tepat,” ujar
Jro Mangku Gede Tambora menegaskan seraya menambahkan, bahwa lokasi di mana
pura ini didirikan, diyakini sebagai tempat payogan Danghyang Nirartha saat
melaksanakan dharmayatra di daerah ini.
Post Comment
Post a Comment