Ilustrasi |
DUMAI - Kemerdekaan Indonesia merupakan kebebasan dan pembebasan.
Maka dari itu, sesuatu yang diselenggarakan dengan cara yang saksama, sesuatu
yang tepat, yang jitu serta sebuah
keputusan yang nalar. Bahwa, kemerdekaan bagi kita adalah Indonesia. Sebuah
tanah lahir, juga tanah air. Sebuah bangsa yang saksama. Sebuah bangsa yang
tidak saja “bener” (benar), tapi juga “pener” (tepat pada tempatnya).
Agustus 2014 ini, kemerdekaan Indonesia genap
berumur 69 tahun. Bendera Merah Putih dikibarkan, sebagai saksi ikatan atas
kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan atas komunitas yang terbayangkan. Komunitas
yang oleh penghulu republik dibayangkan memiliki hasrat hidup bersama. Bahwa,
puak-puak nusantara memiliki rasa senasib sepenanggungan.
“Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan
kemerdekaan Indonesia. Hal2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l.,
diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempoh jang
sesingkat-singkatnja.”
Prokamasi 17 Agustus 1945. Teks singkat pernyataan
kemerdekaan ini dibacakan Sukarno dihadapan tak banyak orang. Teks atas nama
Bangsa Indonesia tersebut diteken oleh Sukarno dan Hatta. Identitas itu
ditegakkan dengan bersahaja. Sukarno membaca teks itu dalam bahasa Indonesia.
Bahasa persatuan kaum pergerakan kebangsaan kala itu. Bahasa yang menjadi
identitas atas ikatan puak-puak nusantara sejak Sumpah Pemuda 28 Okotober 1928.
Konon, suara Sukarno yang sekarang kerap kita dengar
adalah rekaman ulang. Saat teks proklamasi dibacakan, tak ada rekaman suara
atas peristiwa itu. Gambar atas peristiwa itu direkam oleh Mendoer
bersaudara. Frans Soemarto Mendoer dan
Alex Alexius Impurung Mendoer.
Hari itu, pada Jumat pagi, pemuda Abdul Latif
Hendraningrat didampingi pemuda pelopor Soehoed Sastro Koesoemo menaikan Sang
Saka Merah Putih ke angkasa raya. Bendera “Gula Kelapa” berkibar kembali di
tanah nusantara. Panji-panji ini pernah berkibar-kibar sebagai identitas
puak-puak nusantara saat Kemaharajaan Majapahit menguasai tanah tua ini.
Kemerdekaan adalah hak. Kemerdekaan ialah milik
tiap-tiap kita. Ia adalah sesuatu yang melekat pada tiap-tiap anak manusia. Ia
tak boleh dirampas oleh siapa dan atas nama apa pun.
“Tetapi kita tidak mengharapkan satu khayalan,
seolah-olah jalan kita pendek dan rata. Tanah gelap, sukar dan penuh dengan
racun adalah jalan menuju kemerdekaan. Dari kiri dan kanan kita telah mendengar
bisikan kawan-kawan yang ragu-ragu. Apakah kita akan meneruskan itu?”
Petikan kalimat di atas ditulis Tan Malaka, pada
risalah “Naar de Republiek Indonesia” (1925). Gagasan patriot republik yang
berjuluk “Bapak Republik Indonesia” ini ditulisnya dalam pelarian di tanah
Tiongkok.
Menjadi Indonesia sudah barang tentu bukan sesuatu
yang mudah. Namun, bagi Sukarno, Hatta, Tan Malaka, juga Latief, Soehoed dan
Mendoer bersaudara, juga para pendiri
republik lainnya, Indonesia adalah sesuatu yang layak diperjuangkan.
Kesungguh-sungguhan atas itulah yang hari ini pantas kita rayakan. Bahwa atas
kesungguh-sungguhan itulah kita hari ini adalah: Indonesia.
Demikianlah, pada tiap-tiap perayaan 17 Agustus,
Merah Putih adalah kesaksian. Bahwa, pada tiap-tiap kemerdekaan yang dirayakan
sesungguhnya kita terikat. Semoga perayaan kemerdekaan republik 17 Agustus kali
ini adalah perayaan yang saksama. Perayaan yang jitu bagi semesta Indonesia.
Semoga kita tak menjadi sangsi. Merdeka!
Post Comment
Post a Comment