Pura Samuantiga (www.wisatadewata.com ) |
DUMAI- Pura Samuantiga merupakan tempat pemujaan
yang dikondisikan menjadi salah satu media pemujaan sebagai bentuk manifestasi
umat Hindu kepada kekuatan alam dan nenek moyang. Pura ini terletak di Desa
Bedulu, Blahbatu, Kabupaten Gianyar Bali.
Lingkungan disekitar pura masih tampak alami, di
depan pura berdiri bangunan mandala wisata yang diperuntukkan sebagai sarana
penunjang aktifitas budaya seperti pameran dan pertunjukkan kesenian Bali,
sehingga dapat mendukung keserasian dan kemegahan Pura Samuantiga. Disekitar
pura tumbuh pohon-pohon besar yaitu; Beringin, Pole dan pohon lainnya yang
rindang bagaikan payung yang menaungi pura. Dalam kegiatannya Pura Samuantiga
mempunyai banyak upacara ritual keagamaan, yang dalam pelaksanaan rangkaian
ritual tersebut dilengkapi dengan pertunjukkan beberapa tarian, diantaranya:
Nampyong, Nganten, Siat Sampian, Sanghyang Jaran Menginjak Bara,
Mapalengkungan, Siat Pajeng, Pendet dan Bale Pegat yangmana kesemuanya itu
dimaksudkan untuk membersihkan diri.
Pura Samuantiga terdiri atas tujuh halaman atau
mandala dengan perbedaan ketinggian tempat yang menurut keyakinan umat Hindu,
makin tinggi suatu tempat maka tingkat kesuciaannya makin tinggi pula. Adapun
ketujuh halaman tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Mandala Jaba
2.
Mandala
Penataran Agung
3.
Mandala Duur
Delod
4.
Mandala Beten
Kangin
5.
Mandala Batan
Manggis
6.
Mandala
Samenggen
7.
Mandala Jeroan
Dimana pada masing masing mandala terdapat bangunan
tempat pemujaan atau pelinggih. Menurut sejarah, Pura Samuantiga dibuat pada
abad ke-X, yang mana pada saat itu setiap kerajaan harus memiliki tiga pura
utama sehingga dibangunlah Pura Tirta Empul di Tampaksiring,Pura Penataran atau
Pura Samuantiga yang terletak di pusat kerajaan serta Pura Segara.Sedangkan
kata Samuantiga itu sendiri berasal dari gabungan kata “Samuhan” atau “Samuh”
yang berarti “pertemuan atau rapat”, dan tiga mampunyai arti “dihadiri oleh
tiga pihak” jadi secara keseluruhan Samuantiga adalah pertemuan yang dihadiri
oleh tiga pihak atau tiga kelompok.
Dalam lontar Dewa Purana Bangsul, disebutkan pada masa itu terdapat kahyangan
atau tempat suci yang bernama Kahyangan Samuantiga sebagai tempat Dewa Dewata,
Batara Batari dan bagi para Resi yang semuanya mengikuti musyawarah hingga
akhirnya tersebutlah Pura Samuantiga. Pada masa kerajaan Udayana Warmadewa dan
Gunapryadarmapatni (989-1011 M), sering terjadi pertikaian sekte keagamaan di
masyarakat Bali kuno.
Saat itu sekte Siwa Sedanta adalah sekte yang sangat
dominan dimana sekte ini beranggapan bahwa dewa yang mereka sembah adalah dewa
utama sedangkan yang lain lebih rendah dari dewa mereka sehingga hal ini
menimbulkan sebuah konflik dalam kehidupan sosial keagamaan. Untuk mengatasi
hal ini, Mpu Kuturan membuat suatu konsep Trimurti guna menyatukan semua sekte
dimana dalam konsep tersebut terdapat tiga dewa utama yaitu: Dewa Brahma, Dewa
Wisnu dan Dewa Siwa. Konsep inipun berlanjut dengan diterapkannya pola
pendirian Desa Pakraman ( desa dengan pendirian tiga pura) yaitu; Pura Desa,
Pura Puseh dan Pura Dalem, sedang bagi setiap keluarga diterapkan pembangunan
Sangah Kemulan Rong. Konsep Trimurti masih terpakai sampai saat ini.
Dengan dijadikannya Pura Samuantiga sebagai Situs
Cagar Budaya, membuat pura ini ramai dikunjungi oleh wisatawan baik lokal
maupun luar negeri. Oleh karena itu untuk kenyamanan pengunjung maka dibuatlah
beberapa fasilitas di objek wisata ini, yaitu: adanya warung-warung makanan dan
minuman, serta area parkir yang cukup luas. Adapun mata pencaharian masyarakat
sekitar pura ini sebagian besar adalah petani dan pedagang yang berjualan
disekitar lokasi Pura Samuantiga.
Waktu tempuh yang diperlukan ke pura ini lebih
kurang 35 menit dan kira-kira 22 km perjalanan dari Kota Denpasar bila
menggunakan kendaraan bermotor. Bila anda datang ke Bali, Pura Samuantiga ini
bisa dijadikan salah satu tempat yang harus anda kunjungi.
Post Comment
Post a Comment