Ucapan Selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan |
DUMAI- Perayaan hari raya Galungan bagi Umat Hindu
yang jatuh pada 21 Mei 2014 ini yang dilanjutkan dengan hari raya Kuningan pada
31 Mei 2014, merupakan perayaan spiritual sosial kemanusiaan umat Hindu
Indonesia yang memiliki arti sebagai perayaan kemenangan Dharma (kebenaran)
melawan Adharma ( ketidakbenaran).
Kata “Galungan”
berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang. Galungan juga sama artinya
dengan dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang
kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu
disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya
di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut
Umanis, yang artinya sama: manis.
Pelaksanaan Perayaan Galungan sendiri di Indonesia
lebih di dasarkan pada kisah ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri
Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah
sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun.
Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri
Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa
heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek.
Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan
samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan
diri pada Dewa.
Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak
jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri
Jayakasunu mendapatkan pawisik atau “bisikan religius” dari Dewi Durgha, sakti
dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa
leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan. Karena
itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan
Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku.
Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada
hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan). Disebutkan pula, inti pokok
perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara
yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia
dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius
itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.
Secara filosofis makna Galungan adalah suatu upacara
sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan
hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara
kebenaran (dharma) dalam diri manusia. Selain itu juga memberi kemampuan untuk
membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan
kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda
adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan.
Perayaan Hari Raya Galungan dan Kuningan (www.fotografer.net ) |
Galungan dan Kuningan hendaknyalah dilaksanakan
dengan hati dan perasaan yang damai dan tentram. Kemenangan Dharma atas Adharma
bermakna dalam konteks, kita hendaknya mampu instrospeksi diri siapa
sesungguhnya jati diri kita, siapa kita dan untuk apa kita dilahirkan,
bagaimana kita berperan dalam masyarakat untuk menciptakan kedamaian dan
kesejahteraan serta berperan aktif dalam dinamika sosial di tengah – tengah
masyarakat dan lingkungan kita. Hal ini hendaknya melalui proses pendakian
spiritual menuju kesadaran diri yang sejati, seperti halnya hari Raya Galungan
dan Kuningan, manusia bertahan dan tetap teguh dengan kesucian hati walau
digoda oleh Sang Kala Tiga Wisesa, musuh dalam dirinya, di dalam upaya
menegakkan dharma didalam dirinya maupun diluar dirinya. Sifat-sifat adharma
(bhuta) didalam dirinya dan diluar dirinya disomya agar menjadi dharma (Dewa),
sehingga dunia ini menjadi seimbang (jagadhita).
Dharma dan adharma, itu dua kenyataan yang berbeda
(rwa bhineda) yang selalu ada didunia, ada dalam diri kita umat manusia, tapi
hendaknyalah itu diseimbangkan sehingga evolusi didunia bisa berjalan.
Kemenangan dharma atas adharma yang telah dirayakan setiap Galungan dan
Kuningan hendaknyalah diserap dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Dharma tidaklah hanya diwacanakan tapi dilaksanakan, dalam kitab Sarasamuccaya
(Sloka 43) disebutkan keutamaan dharma bagi orang yang melaksanakannya yaitu :
“Kuneng sang
hyang dharma, mahas midering sahana, ndatan umaku sira, tan hanenakunira, tan
sapa juga si lawanikang naha-nahan, tatan pahi lawan anak ning stri lanji,
ikang tankinawruhan bapanya, rupaning tan hana umaku yanak, tan hana inakunya
bapa, ri wetnyan durlaba ikang wenang mulahakena dharma kalinganika”.
Artinya:
Adapun dharma itu, menyelusup dan mengelilingi
seluruh yang ada, tidak ada yang mengakui, pun tidak ada yang diakuinya, serta
tidak ada yang menegur atau terikat dengan sesuatu apapun, tidak ada bedanya
dengan anak seorang perempuan tuna susila, yang tidak dikenal siapa bapaknya,
rupa-rupanya tidak ada yang mengakui anak akan dia, pun tidak ada yang diakui
bapa olehnya, perumpamaan ini diambil sebab sesungguhnya sangat sukar untuk
dapat mengetahui dan melaksanakan dharma itu.
Pilpres 2014
Disamping sebagai introfeksi diri dan mencapai
kedamaian sekala niskala ( rohani jasmani), perayaan Galungan dan Kuningan
tahun 2014 ini, juga moment yang sangat penting, mengingat Galungan dan
Kuningan kali ini berdekatan dengan Pemilihan Presiden, bersinggungan dengan
Dinamika pemilihan Legislatif serta yang tidak kalah penting, perayaan Galungan
dan Kuningan tahun ini juga bersamaan dengan peringatan Reformasi Mei 1998.
Banyak hal sebenarnya yang dapat kita maknai dalam
merayakan Galungan dan Kuningan tahun ini, tidak hanya berhenti pada perayaan
ritual spiritual saja, tetapi hendaknya dirayakan juga dengan meningkatkan
kepedulian kita kepada bangsa, Negara dan agama. Mengingat inti Galungan adalah
menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang.
Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri.
Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma.
Maka umat Hindu khususnya, dan bangsa Indonesia umumnya dituntut untuk ikut aktif dalam pesta demokrasi kita tahun ini dalam
memilih presiden dan wakil presiden dengan pikiran yang jernih, tanpa adanya
paksaan, iming – iming materi ( money politic), ancaman, sentiment suku, agama
dan golongan, dan wujud – wujud adharma lainnya. Semua harus menentukan pilihan
berdasarkan hati nurani, berlandaskan semangat dharma untuk Indonesia jauh
lebih baik karena dipimpin oleh pemimpin yang berlandaskan dharma dan dipilih
dengan semangat dharma. Hal ini merupakan kewajiban kita sebagai makluk hidup
dan sebagai masyarakat yang beragama untuk menjalankan swadharma kita untuk
bangsa, Negara dan agama.
Awignam Astu, dengan adanya kesadaran dharma dalam
menentukan pilihan dalam pilpres tahun ini, bangsa Indonesia bisa lebih
sejahtera lahir batin, lebih maju, kuat dan mandiri, serta NKRI, Bhinneka
Tunggal Ika dan Pancasila abadi selamanya menjadi pondasi dan pandangan hidup
dalam berbangsa dan bernegara.
Post Comment
Post a Comment