Saput Poleng (iendro.blogspot.com) |
DUMAI- Dewasa ini kehidupan manusia dihadapkan pada
permasalahan menyangkut hak asasi manusia, etnis, dan agama.. Kondisi ini
menyebabkan panilaian terhadap manusia cenderung manganggap sesama manusia
berbeda hanya karena perbedaan itu semua. Dalam hal ini kearifan umat Hindu
menyodorkan solusi mencari jalan keluar memecahkan masalah tersebut.
Agar hipokrit (munafik
sosial) kehidupan beragama tidak berlanjut, dituntut kesadaran semua pihak
untuk dapat saling bertoleransi satu sama lain. Pendidikan merupakan faktor
penting untuk menumbuhkan kesadaran itu. Mendidik dengan mengandalkan kata-kata
saja tentu kurang menarik, karena itu diperlukan media pendidikan untuk
menyampaikan pesan-pesan. Pesan dapat berupa nilai, yaitu suatu acuan yang
digunakan untuk berpikir dan bertindak. Salah satu penerapannya ialah dengan
memanfaatkan kearifan local dari falsafah Hindu yang ada di Bali, yaitu saput
poleng sebagai medianya. Saput poleng adalah selembar kain bercorak kotak-kotak
dengan warna putih dan hitam seperti papan catur.
Menurut tradisi ada tiga jenis saput poleng, antara
lain meliputi saput poleng saput Rwa Bhineda, saput poleng Sudhamala, dan saput
poleng Tridatu. Saput poleng Rwa Bhineda berwarna putih dan hitam. Warna gelap
(hitam) dan terang (putih) merupakan suatu cerminan dari dharma dan adharma.
Saput poleng Sudhamala berwarna putih, hitam, dan abu. Abu sebagai peralihan
dari warna hitam dan putih yang mengantarai keduanya. Artinya menyelaraskan
simfoni dharma dan adharma. Saput poleng Tridatu berwarna putih, hitam, dan
merah. Merah merupakan simbol rajas keenergikan, hitam adalah tamas (kemalasan)
dan putih simbol satwam (kebijaksanaan, kebaikan).
Saput poleng sebagai simbol masyarakat Hindu di Bali
digunakan oleh para pecalang (perangkat keamanan), patung penjaga pintu
gerbang, dililitkan pada kul-kul atau kentongan, dikenakan oleh balian atau
pengobat tradisional, dihiaskan pada tokoh-tokoh ithiasa (Merdah, Tualen,
Hanoman, dan Bima), dikenakan oleh dalang wayang kulit ketika melaksanakan
pangruwatan atau penyucian, dililitkan pada tempat suci yang diyakini berfungsi
sebagai penjaga. Pada intinya saput poleng digunakan sebagai simbol penjagaan.
Seorang Wanita yang mengenakan Saput Poleng (sejarahharirayahindu.blogspot.com) |
Implementasi falsafah ini dapat memberikan kita
sebuah cerminan yang terimplikasi terhadap kehidupan beragama. Warna putih yang
secara umum merupakan suatu simbolik dari satwam yang secara umum merupakan
suatu simbolik dari kekuatan dharma yang sudah sepatutnya memberikan cerminan
kepada kita bahwa dalam hidup beragama kita harus memegang teguh prinsif dharma
yang senantiasa memberikan kedamaian. Hal ini tercermin dari sikap toleransi
untuk menghindari kemunafikan sosial (hipokrit sosial) yang ujung-ujungnya
mengakibatkan perpecahan diantara kita semua.
Dalam Rg. Veda X.191. 3-4 menyatakan bahwa
pada hakekatnya semua manusia adalah
bersaudara. Vasudaiva Kutumbakam, semua mahluk adalah bersaudara.
Persaudaraan umat manusia ini disebabkan oleh satu asal dan kembalinya bagi
setiap mahluk dan alam semesta, sama-sama menikmati kehidupan di karibaan bumi
pertiwi tercinta, oleh karena itu Tuhan Yang Mahaesa, Sang Hyang Widhi
mengamanatkan kepada kita untuk hidup dalam suasana damai penuh kebahagiaan
dalam persaudaraan yang sejati.
Warna hitam merupakan simbolik dari tamas
(kemalasan) yang merupakan kekuatan adharma yang senantiasa ada jika dharma ada
dan ini merupakan suatu hukum ilahi yang senantiasa berjalan terus. Kekuatan
adharma tidak sepatutnya disalah-kaprahkan, namun seharusnya kita mengontol
diri kita agar tidak membuat suatu tindakan yang dapat memprovokasi orang lain.
Disamping itu pula, warna abu pada saput poleng
memberikan suatu implemtnasi terhadap suatu penyelarasan antara kekuatan dharma
dan adharma. Jadi sikap seperti ini merupakan suatu cerminan sikap toleransi
kehidupan beragama yang memberikan keselarasan dari sisi baik dan buruk. Warna
merah merupakan simbol keenergikan (rajas) yang semestinya kita cerminkan
terhadap semangat untuk membina kerukunan umat beragama. Bukannya semangat yang
kita miliki dipergunakan untuk mengompori semua perbedaan yang akhirnya akan
membakar dan membawa kita ke abu keharmonisan. Setiap permasalahan yang muncul
bila semakin dikompor-kompori, maka akan semakin parah. Untuk itulah,
keenergikan tersebut jangan sampai disalahgunakan dalam suatu hal yang tidak
baik.
Seperti yang termuat Atharvaveda, XII.1. 45
dinyatakan : “Beberapa pengucapan bahasa
yang berbeda-beda dan pemeluk agama yang berbeda-beda pula dan sesuai dengan
keinginan. Mereka tinggal bersama di bumi pertiwi yang penuh keseimbangan tanpa
banyak bergerak, seperti sapi yang selalu memberikan susunya kepada manusia.
Demikian juga ibu pertiwi selalu memberi kebahagiaan melimpah pada semua umat
manusia”. Terungkap juga dalam Weda Sruti : “Seseorang yang menganggap seluruh umat manusia memiliki atma yang sama
dan dapat malihat semua manusia sebagai saudaranya, orang tersebut tidak
terikat dalam ikatan dan bebas dari kesedihan” (Yayurweda, 40.7). Kedua
mantra tersebut dengan sangat gamblang menyatakan bahwa manusia hidup di
lingkungan majemuk dapat tinggal dalam keharmonisan. Juga, memberikan kearifan
pada umat dalam menyikapi persepsi manusia berbeda karena warna kulit, ras,
etnis, dan agama adalah sebuah keluarga besar. Artinya tidak hanya satu agama
yang diagungkan, dijayakan, tetapi semua agama dipandang sebagai kebenaran.
Semua berhak hidup di bumi pertiwi ini. Kemajemukan tersebut seperti pelangi
berwarna-warni ciptaan Tuhan.
Saput Poleng pada Arca (www.religiousforums.com ) |
Sangat indah dan menyejukkan sehingga mampu
menumbuhkan kedamaian hati umat manusia. Kemajemukan tidak untuk dipertetangkan
karena kemajemukan adalah keharmonisan dan keindahan, bukan kekacuan atau
kesemrawutan. Spritualitas kearifan ini dalam diri manusia adalah sama. Di
samping itu semua umat manusia berkeinginan hidup berdampingan secara damai di
muka bumi pertiwi yang kita cinta ini. Jika spritualitas ini dapat dijalankan
sebagai landasan berpikir dan pola tindakan, maka manusia akan melupakan
perbedaan yang ada dan sekaligus tidak mempertentangkan perbedaan tersebut. Hal
ini sangat relevan dan arif dalam kehidupan bangsa Indonesia yang sangat kental
warna kemajemukan yang diwarnai oleh beragamnya kehidupan masyarakat.
Nilai-nilai filosofis yang demikian tinggi dalam
saput poleng dapat dijadikan cermin dalam mempertahankan kerukunan kehidupan
beragama. Hal tersebut perlu diterapkan agar kita semua terhindar dari hipokrit
sosial yang dapat memecah belah kita semua. Keinginan (rajas) yang tak terbatas
agar diimbangi sifat mengerem (tamas) serta dikontrol dengan kebijaksanaan
(satwam). Keseimbangan rajas dan tamas yang didominasi satwam secara perlahan
akan meningkatkan harkat kemanusiaan (Manawa) dan sifat keraksasaan (danawa)
menuju sifat kedewataan (madawa). Dan semoga kita semua diberikan kedamaian.
Post Comment
Post a Comment