Akultutrasi Bali dengan China (web.budaya-tionghoa.net) |
Budaya dari Negeri Tirai Bambu ini mendapat tempat
yang tidak kalah istimewanya karena tidak semata hadir sebagai produk
akulturasi budaya dalam fungsi horizontal atau nikmatan seni sesama manusia
semata. Namun, juga bisa turut tampil secara wajar dalam fungsi vertikal pada
dimensi spiritual manusia Bali.
Tradisi kesenian serta tinggalan-tinggalan
arkeologis Bali amat jelas memberi gambaran mengenai hal ini. Dalam wilayah
seni khususnya tari, beberapa contoh yang bisa disebutkan, tari Baris Cina yang
masih terpelihara kuat di Renon, Semawang dan daerah-daerah lainnya, tari
Barong Landung yang menurut para peneliti merupakan tinggalan tertua karena
diperkuat dengan prasasti Balingkang pada awal tahun Masehi tentang pernikahan
Raja Jayapangus dan putri Cina Fang Seng Hui serta tari Barong sendiri yang
dimiliki sebagian besar desa-desa adat di Bali. Bahkan, menurut mantan Rektor
ISI Denpasar, I Wayan Rai, gong barungan yang kini diwarisi di Bali cikal
bakalnya ternyata dari Cina yakni berupa gong Beri.
Di wilayah seni sastra, orang Bali sudah mengenal
betul cerita Sampik Ing Tai. Cerita yang sangat jelas berasal dari Cina ini
terutama sangat terkenal di daerah Buleleng. Kisah cinta I Sampik dan Ing Tai
ini sudah diekploitasi ke dalam berbagai bentuk kesenian Bali mulai dari pupuh
(tembang puisi tradisional Bali), cerita drama tari arja atau drama gong hingga
tema lagu pop Bali yang sekarang sedang semarak.
Tak ketinggalan seni arsitektur Bali juga mengadopsi
unsur-unsur Cina dengan munculnya patra (model ukiran) Cina. Model ukiran ini
bahkan cukup favorit di kalangan para undagi (arsitek tradisional) Bali selain
patra Belanda. Tinggalan material yang paling dikenal tentu pis bolong atau
uang kepeng. Pada masa kerajaan dulu, inilah mata uang kartal orang Bali.
Bahkan, sejarah mencatat saat itu Bali mengimpor uang kepeng langsung dari
Cina. Ketika pis bolong tak lagi diakui sebagai uang kartal oleh pemerintah
Republik Indonesia dan ditetapkan uang kartal baru, peran uang kepeng dalam
kehidupan masyarakat Bali justru belum bergeser. Yang terjadi, malah pergeseran
ke arah fungsi spiritual sebagai sarana upacara termasuk untuk pretima (patung
dewa yang dibuat dari uang kepeng).
Secara nyata, memang tak sedikit orang Cina yang
tinggal di Bali dan itu terjadi sejak berabad-abad lalu. Jejak ini masih bisa
dilacak melalui perkampungan-perkampungan Cina di sejumlah daerah di Bali
seperti Kintamani, Pupuan, Payangan, Sukawati serta di sejumlah tempat di
Denpasar. Bahkan di Denpasar sendiri pernah berdiri sekolah khusus Cina yang akhirnya diubah menjadi sekolah umum
karena dilarang pemerintah. Orang Bali pun menunjukkan sikap toleran yang unik
kepada orang-orang Cina ini. Di sejumlah tempat, orang-orang Bali masih
menyebut perayaan Imlek sebagai Galungan Cina seperti halnya Idul Fitri yang
disebut sebagai Galungan Selam (Islam).
Penguatan ke arah fungsi spiritual bahkan dialami
hampir seluruh unsur-unsur budaya Cina yang masuk ke Bali. Barong atau pun
Barong Landung jelas-jelas di-sungsung oleh orang Bali di pura-pura yang
dikenal dengan sebutan pelawatan atau petapakan. Tiap hari baik tertentu,
pelawatan atau petapakan itu diberikan upacara khusus dan umat Hindu Bali
melakukan sembahyang bersama. Biasanya, saat upacara itu, sekalian juga
pelawatan dan petapakan itu dipagelarkan dalam suatu pementasan khusus yang
dikenal dengan sebutan mesolah. Karenanya, umat penyungsung pelawatan itu mau
tidak mau mesti terus memelihara tradisi untuk belajar menarikan pelawatan
tersebut.
Penghormatan Bali kepada Cina juga ditunjukkan jelas
dengan membuatkan pelinggih khusus Cina. Budayawan Drs. I Wayan Geria
menyebutkan, pelinggih Ratu Syahbandar yang terdapat di Pura Ulun Danu Batur
dan Besakih merupakan bentuk penghormatan secara spiritual orang Bali kepada
orang Cina yang dianggap berjasa daam perkembangan Bali tempo dulu.
Dalam pandangan Geria, apa yang terjadi ini
merupakan wujud komunikasi budaya yang melahirkan suatu produk budaya yang
baru. Semua ini bisa terjadi karena interaksi yang cukup intensif antara orang
Bali dengan orang-orang Cina pada zaman dulu terutama yang diakibatkan oleh
terlibatnya Bali dalam perdagangan Nusantara di mana orang-orang Cina merupakan
salah satu pelaku yang sangat menonjol.
Menariknya, produk budaya baru yang lahir di Bali
itu tidak lagi tampak sebagai atau berasal dari Cina. Orang Bali sendiri bahkan
merasakan hal itu sebagai budayanya sendiri, bukan budaya dari Cina. Menurut
Geria, itu lebih karena sifat orang Bali yang kreatif dan terbuka. Bali melihat
Cina sebagai inspirasi peradaban. Inspirasi itu diolah sedemikian rupa
disesuaikan dengan unsur dan tradisi Bali sehingga lahirlah sebuah produk
budaya yang benar-benar berbeda. Cina seolah-olah luruh dalam balutan tradisi
Bali.
Hal ini sebagai kekuatan local genius Bali yang
sejatinya juga dimiliki kebudayan di daerah lain. Konsep local genius
menekankan kepada penerimaan budaya luar secara selektif. Yang diambil
sebanyak-banyaknya unsur positifnya, sedangkan unsur negatifnya ditekan.
Namun kini, ketika dunia termasuk Bali berada dalam
pusaran peradaban global, kearifan lokal Bali seolah-olah kehilangan kekuatannya.
Penerimaan mentah-mentah kebudayaan luar sudah menjadi kesadaran yang terus
menghantui orang Bali kini. Dalam pandangan Geria, kondisi saat ini memang
tidak memungkinkan terjadinya akulturasi. Menurut Geria, konsep kesederajatan
telah makin menguat dalam tiap-tiap kebudayaan.
‘’Selain tentu, Bali kini sudah tidak seperti dulu
lagi. Bali kini sudah sangat padat, begitu sesak yang berimplikasi pada
terpinggirkannya orang Bali. Hubungan akulturatif seperti dulu tidak tercipta
lagi,’’ kata antropolog dari Fakultas Sastra Universitas Udayana ini.
Sumber Klik Disini
Post Comment
+ komentar + 1 komentar
agen judi terpercaya dengan peluang kemenangan lebih besar, segera daftar dan dapatkan royal jackpot
dan uang jutaan rupiah dengan minimal deposit 10.000, semua hanya ada di D3W4PK segera daftar ya :* :* :*
Post a Comment