Sesuwuk yang digunakan umat Hindu di Kota Denpasar hari Dina Kala Paksa (www.balisaja.com) |
Kalender tradisional Bali menandai hari ini sebagai
Sukra Wage wuku Wayang sekaligus Purnama Kawulu (bulan ke delapan). Sukra Wage
wuku Kelawu kerap dimaknai sebagai hari yang leteh (kotor). Lazim disebut
sebagai dina kala paksa. Konon, saat itu dipantangkan untuk menyucikan diri
termasuk berkeramas. Menariknya, pada saat itu pula bertepatan dengan bulan
terang Purnama Kawulu.
Ketua Yayasan Dharma Acarya yang juga penulis
buku-buku agama Hindu, IB Putu Sudarsana menyebut hari Jumat Wage merupakan
titik puncak dari kekotoran dunia (rahina cemer). “Saat itu tidak umat Hindu
tidak diperkenankan mencuci rambut atau keramas. Bagi para wiku (pendeta) juga
tidak diperkenankan memuja,” jelas Sudarsana.
Sudarsana kemudian memberi penjelasan mengapa hari
kala paksa dianggap sebagai hari paling kotor. Menggunakan pendekatan Tattwa
Samkya, Sudarsana menguraikan wuku Wayang memiliki urip 4, hari Jumat (Sukra)
memiliki urip 6, dan wara Wage memiliki urip 4. Jika ketiga urip itu
dijumlahkan, didapat angka 14. Angka 14 terdiri dari angka 1 dan 4, yang jika
dijumlahnya menjadi 5.
Angka 5 tersebut, dalam pemahaman Sudarsana
merupakan simbol dari kekuatan panca maha bhuta (lima unsur pembentuk tubuh).
Karenanya, hari kala paksa merupakan hari yang dikuasai kekuatan panca maha
bhuta sehingga menjadi puncak hari kotor. Saat itu kekuatan Kala dinyatakan
sedang memuncak.
Untuk menetralisir kekotoran pada hari kala paksa,
lontar Sundarigama mengamanatkan untuk mengoleskan kapur sirih pada ulu hati.
Olesan kapur sirih itu berbentuk tampak dara (tanda silang).
Selain itu, menurut Sudarsana, umat juga disarankan
memasang sesuwuk (semacam penanda). Sesuwuk tersebut terbuat dari daun pandan
berduri, dipotong-potong yang panjangnya 5 cm. Selanjutnya diolesi kapur sirih
berbentuk tampak dara (silang). Sesuwuk dibuat sebanyak bangunan suci dan rumah
yang dimiliki.
Daun pandan tersebut dialasi dengan sebuah sidi
(ayakan) serta diisi juga sebuah takir berisi kapur sirih dan benang tri datu
(tiga warna: merah, hitam, putih) sepanjang dua jengkal, lengkap dengan canang
sari. Di dalam sidi diisi sebuah takir lagi lengkap dengan tri ketuka (mesui,
kesuna, jangu) yang telah digerus.
Semua sesuwuk itu, menurut Sudarsana, sarat dengan
makna. Daun pandan berduri disebutnya sebagai simbol kekuatan Kala, serta
dioles dengan kapur sirih sebagai simbol kekuatan dharma. Tanda tampak dara
merupakan simbol kekuatan swastika untuk mengembalikan adharma menuju dharma.
Daun pandan yang dikumpulkan menjadi satu kemudian
diikat dengan benang tri datu serta dialasi sidi merupakan simbol permohonan ke
hadapan Hyang Widhi agar dianugerahkan kesidhian, sabda, bayu idep sehingga
bisa memiliki kekuatan religiomagis dalam mengembalikan kekuatan kala tersebut
ke sumbersenya semua menjadi Kala Hita, untuk bisa memberikan kesejahteraan
alam semesta.
Keesokan harinya, sesuwuk itu dibuang ke lebuh.
Lebuh merupakan simbol nistaning mandhala serta menjadi menjadi simbol sapta
patala, sorganya Kala. Ini berarti mengembalikan Kala ke asalnya.
Selamat Hari Dina Kala Paksa bukan Valentine bagi umat Hindu. Salam Hindu Damai (Dumai)
Sumber Klik Disini
Post Comment
+ komentar + 1 komentar
Baru tau saya... gitu ya..
Tenks Info nya...
Post a Comment