Ilustrasi (pondokwriting.wordpress.com) |
Lubdaka adalah seorang kepala keluarga hidup di
suatu desa menghidupi keluarganya dengan berburu binatang di hutan. Hasil
buruannya sebagian ditukar dengan barang-barang kebutuhan keluarga, sebagian
lagi dimakan untuk menghidupi keluarganya. Dia sangat rajin bekerja, dia juga
cukup ahli sehingga tidak heran bila dia selalu pulang membawa banyak hasil
buruan.
Hari itu Lubdaka berburu sebagaimana biasanya, dia
terus memasuki hutan, aneh pikirnya kenapa hari ini tak satupun binatang buruan
yang muncul, dia semua peralatan berburu digotongnya tanpa kenal lelah, dia
tidak menyerah terus memasuki hutan. Kalo sampe aku pulang gak membawa hasil
buruan nanti apa yang akan dimakan oleh keluargaku..?, semangatnya semakin
tinggi, langkahnya semakin cepat, matanya terus awas mencari-cari binatang
buruan, namun hingga menjelang malam belum juga menemukan apa yang ia harapkan,
hari telah terlalu gelap untuk melanjutkan kembali perburuannya, dan sudah
cukup larut jika hendak kembali ke pernaungan.
Ia memutuskan untuk tinggal di hutan, namun mencari
tempat yang aman terlindungi dari ancaman bahaya, beberapa hewan buas terkenal berkeliaran
di dalam gelapnya malam guna menemukan mangsa yang lelap dan lemah. Sebagai
seorang pemburu tentu dia tahu betul dengan situasi ini. Tak perlu lama baginya
guna menemukan tempat yang sesuai, sebuah pohon yang cukup tua dan tampak kokoh
di pinggir sebuah telaga mata air yang tenang segera menjadi pilihannya.
Dengan cekatan dari sisa tenaga yang masih ada, ia
memanjat batang pohon itu, melihat sekeliling sekejap, ia pun melihat sebuah
dahan yang rasanya cukup kuat menahan beratnya, sebuah dahan yang menjorok ke
arah tengah mata air, di mana tak satu pun hewan buas kiranya akan bisa
menerkamnya dari bawah, sebuah dahan yang cukup rimbun, sehingga ia dapat
bersembunyi dengan baik. Singkat kata, ia pun merebahkan dirinya,
tersembunyikan dengan rapi di antara rerimbunan yang gulita.
pondokwriting.wordpress.com |
Ia merasa cukup aman dan yakin akan perlindungan
yang diberikan oleh tempat yang telah dipilihnya. Sesaat kemudian keraguan
muncul dalam dirinya. Kalo sampe dia tertidur dan jatuh tentu binatang buas
seperti macan, singa, dll akan dengan senang hati memangsanya.
Ia resah dan gundah, badannya pun tak bisa tenang,
setidaknya ia harapkan badannya bisa lebih diam dari pikirannya, itulah yang
terbaik bagi orang yang dalam persembunyian. Namun nyatanya, badan ini bergerak
tak menentu, sedikit geseran, terkadang hentakan kecil, atau sedesah napas
panjang. Tak sengaja ia mematahkan beberapa helai daun dari bantalannya yang
rapuh, entah kenapa Lubdaka tiba-tiba memandangi daun-daun yang terjatuh ke
mata air itu. Riak-riak mungil tercipta ketika helaian daun itu menyentuh
ketenangan yang terdiam sebelumnya. Ia memperhatikan riak-riak itu, namun ia
tak dapat memikirkan apapun. Beberapa saat kemudian, riak-riak menghilang dan
hanya menyisakan bayang gelombang yang semakin tersamarkan ketika masuk ke
dalam kegelapan. Ia memetik sehelai daun lagi dan menjatuhkannya, kembali ia
menatap, dan entah kenapa ia begitu ingin menatap. Ia memperhatikan dirinya,
bahwa ia mungkin bisa tetap terjaga sepanjang malam, jika ia setiap kali
menjatuhkan sehelai daun, dan mungkin ia bisa menyingkirkan ketakutannya,
setidaknya karena ia akan tetap terjaga, itulah yang terpenting saat ini.
Lubdaka– si pemburu, kini menjadi pemetik daun, guna
menyelamatkan hidupnya. Ia memperhatikan setiap kali riak gelombang terbentuk
di permukaan air akan selalu riak balik, mereka saling berbenturan, kemudian
menghilang kembali. Hal yang sama berulang, ketika setiap kali daun dijatuhkan
ke atas permukaan air, sebelumnya ia melihat itu sepintas lalu setiap kali ia
berburu, baru kali ia mengamati dengan begitu dekat dan penuh perhatian, bahwa
gerak ini, gerak alam ini, begitu alaminya. Sebelumnya, ia mengenang kembali,
ketika ia berburu, yang selalu ia lihat adalah si mangsa, dan mungkin si mara
bahaya, namun tak sekalipun ia sempat memperhatikan hal-hal sederhana yang ia
lalui ketika ia berburu. Lubdaka hanya ingat, bahwa di rumahnya, ada keluarga
yang bergantung pada buruannya, dan ia hanya bisa berburu, itulah kehidupannya,
itulah keberadaannya.
Ia terlalu sibuk dalam rutinitas itu, ya sesaat ia
menyadari bahwa hidup ini seakan berlalu begitu saja, ia bahkan tak sempat
berkenalan dengan sang kehidupan, karena ia selalu sbuk lari dari si kematian,
ia berpikir apakah si kematian akan datang ketika si kelaparan menyambanginya,
ataukah si kematian akan berkunjung ketika si mara bahaya menyalaminya ketika
ia lalai. Semua yang ia lakukan hanyalah sebuah upaya bertahan hidup. Ia tak
tahu apapun selain itu, mungkin ia mengenal mengenal kode etik sebagai seorang
pemburu, dan aturan moralitas atau agama, namun semua itu hanya sebatas
pengetahuan, di dalamnya ia melihat, bahwa dirinya ternyata begitu kosong dan
dangkal. Keberadaannya selama ini, adalah identitasnya sebagai seorang pemburu,
ia tak mengenal yang lainnya.
Sesekali ia memetik helai demi helai, dan menatap
dengan penuh, kenapa ia tak menyadari hal ini sebelumnya, ia bertanya pada
dirinya, ia melihat kesibukan dan rutinitasnya telah terlalu menyita
perhatiannya. Dalam kehinangan malam, dan sesekali riak air, ia bisa mendengar
sayup-sayup suara malam yang terhantarkan bagai salam oleh sang angin, ia pun
terhenyak, sekali lagi, ia tak pernah mendengarkan suara malam seperti saat
ini, biasanya ia telah terlelap setelah membenahi daging buruannya dan santap
malam sebagaimana biasanya.
Terdengar lolongan srigala yang kelaparan tak jauh
dari tempatnya berada, secara tiba-tiba ia mengurungkan niatnya memetik daun.
Jantungnya mulai berdegup kencang, Lubdaka tahu, pikirannya berkata bahwa jika
ia membuat sedikit saja suara, si pemilik lolongan itu bisa saja
menghampirinya, dan bisa jadi ia akan mengajak serta keluarga serta
kawan-kawannya untuk menunggu mangsa lesat di bawah pohon, walau hingga surya
muncul kembali di ufuk Timur. Ia berusaha memelankan napasnya, dan menjernihkan
pikirannya. Walau ia dapat memelankan napasnya, namun pikirannya telah melompat
ke beberapa skenario kemungkinan kematiannya dan bagaimana sebaiknya lolos dari
semua kemungkinan itu. Beberapa saat kemudian, ketenangan malam mulai dapat
kembali padanya. Ia mendengarkan beberapa suara serangga malam, yang tadi tak
terdengar, ah… ia ingat, ia terlalu ketakutan sehingga sekali lagi tak
memperhatikan. Sebuah helaan napas yang panjang, ia masih hidup, dan memikirkan
kembali bagaimana ia berencana untuk lolos dari kematian yang terjadi, ia pun
tersenyum sendiri, ia cukup aman di sini. Namun Lubdaka melihat mulai melihat
sesuatu dalam dirinya, yang dulu ia pandang sambil lalu, sesuatu yang yang ia
sebut ketakutan. Lubdaka menyadari bahwa ia memiliki rasa takut ini di dalam dirinya,
sesuatu yang bersembunyi di dalam dirinya, ia mulai melihat bahwa ia takut
terjatuh dari pohon, ia takut dimangsa hewan buas, bahkan ia takut jika tempat
persembunyiannya disadari oleh hewan-hewan yang buas, ia takut tak berjumpa
lagi dengan keluarganya. Setidaknya ia tahu saat ini, ia berada di atas sini,
karena takut akan tempat yang di bawah sana, tempat di bawah sana mungkin akan
memberikan padanya apa yang disebut kematian. Dan ketakutan ini begitu
mengganggunya.
pondokwriting.wordpress.com |
Ia kembali memetik sehelai daun dan menjatuhkannya
ke mata air, namun secara tak sadar oleh kegugupannya, ia memetik sehelai daun
lagi dengan segera, secepat itu juga ia sadar bahwa tangannya telah memetik
sehelai daun terlalu cepat. Ia memandangi helaian daun itu, di sinilah ia melihat
sesuatu yang sama dengan apa yang ia takutkan, ia melihat dengan jelas sesuatu
pada daun itu, sesuatu yang disebut kematian. Daun yang ia pisahkan dari
pohonnya kini mengalami kematian, namun daun itu bukan hewan atau manusia, ia
tak bisa bersuara untuk menyampaikan apa yang ia rasakan, ia tak dapat
berteriak atau menangis kesakitan, ia hanya … hanya mati, dan itulah apa yang
si pemburu lihat ketika itu.
Selama ini Lubdaka selalu melihat hewan-hewan yang
berlari dari kematiannya dan yang menjerit kesakitan ketika kematian yang
dihantarkan sang pemburu tiba pada mereka, Lubdaka telah mengenal sisi kematian
sebagai suatu yang menyakitkan, dan kengerian yang timbul dari pengalamannya
akan saksi kematian, telah menimbulkan ketakutan di dalam dirinya. Ia melihat
ia sendiri telah menjadi buruan akan rasa takutnya. Lubdaka telah melihat
bentuk kematian di luar sana, termasuk yang kini dalam kepalan tangannya, ia
kini masuk ke dalam dirinya, dan ingin melihat kematian di dalam dirinya, namun
semua yang ia temukan hanyalah ketakutan akan kematian, ketakutan yang begitu
banyak, namun si kematian itu sendiri tak ada, tak nyata kecuali bayangan
kematian itu sendiri. Lubdaka pun tersenyum, aku belum bertemu kematian, yang
menumpuk di sini hanyalah ketakutan, hal ini begitu menggangguku, aku tak
memerlukan semua ini. Lubdaka melihat dengan nyata bahwa ketakutannya sia-sia,
ia pun membuang semua itu, kini ia telah membebaskan dirnya dari ketakutan. Ia
pun melepas tangkai daun yang mati itu dari genggamanannya, dan jatuh dengan
begitu indah di atas permukaan air. Diapun tidak menyadari bahwa malam itu
adalah malam Siva (Siva Ratri). Dimana Siva sedang melakukan tapa brata yoga
semadi. Barang siapa pada malam itu melakukan brata (mona brata: tidak
berbicara, jagra: Tidak Tidur, upavasa: Tidak makan dan minum) maka mereka akan
dibebaskan dari ikatan karma oleh Siva.
Ufuk Timur mulai menunjukkan pijar kemerahan,
Lubdaka memandangnya dari celah-celah dedaunan hutan, dalam semalam ia telah
melihat begitu banyak hal yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Kini ia telah
berkenalan dengan kehidupan dan melepas ketakutan-ketakutannya, ia telah mulai
mengenal semua itu dengan mengenal dirinya.
Lubdaka begitu senang ia dapat tetap terjaga walau
dengan semua yang ia alami dengan kekalutan dan ketakutan, kini sesuatu yang
lama telah padam dalam dirinya, keberadaannya begitu ringan, tak banyak kata
yang dapat melukiskan apa yang ia rasakan, begitu hening, sehingga ia bisa
merasakan setiap gerak alami kehidupan yang indah ini, setiap tiupan yang
dibuat oleh angin, dan setiap terpaan sinar yang menyentuhnya. Kini sang
pemburu memulai perjalanannya yang baru bersama kehidupan.
Dia menyadari bahwa berburu bukanlah satu-satunya
pilihan untuk menghidupi keluarganya. Setelah dia melewati perenungan di malam
tersebut, kesadaran muncul dalam dirinya untuk merubah jalan hidupnya. Dia
mulai bercocok tanam, bertani hingga ajal datang menjemputnya.
Saat dia meninggal, Atmanya (Rohnya) menuju sunia
loka, bala tentara Sang Suratma (Malaikat yang bertugas menjaga kahyangan)
telah datang menjemputnya. Mereka telah menyiapkan catatan hidup dari Lubdaka
yang penuh dengan kegiatan Himsa Karma (memati-mati). Namun pada saat yang sama
pengikut Siva pun datang menjemput Atma Lubdaka. Mereka menyiapkan kereta emas.
Lubdaka menjadi rebutan dari kedua balatentara baik pengikut Sang Suratma
maupun pengikut Siva. Ketegangan mulai muncul, semuanya memberikan argumennya
masing-masing. Mereka patuh pada perintah atasannya untuk menjemput Atma Sang
Lubdaka.
Saat ketegangan memuncak Datanglah Sang Suratma dan
Siva. Keduanya kemudian bertatap muka dan berdiskusi. Sang Suratma menunjukkan
catatan hidup dari Lubdaka, Lubdaka telah melakukan banyak sekali pembunuhan,
sudah ratusan bahkan mungkin ribuan binatang yang telah dibunuhnya, sehingga
sudah sepatutnya kalo dia harus dijebloskan ke negara loka.
Siva menjelaskan bahwa, Lubdaka memang betul selama
hidupnya banyak melakukan kegiatan pembunuhan, tapi semua itu karena didasari
oleh keinginan/niat untuk menghidupi keluarganya. Dan dia telah melakukan tapa
brata (mona brata, jagra dan upavasa/puasa) salam Siva Ratri/Malam Siva,
sehingga dia dibebaskan dari ikatan karma sebelumnya. Dan sejak malam itu Dia
sang Lubdaka menempuh jalan hidup baru sebagai seorang petani. Oleh karena itu
Sang Lubdaka sudah sepatutnya menuju Suarga Loka (Sorga). Akhirnya Sang Suratma
melepaskan Atma Lubdaka dan menyerahkannya pada Siva. (Kisah ini adalah
merupakan Karya Mpu Tanakung, yang sering digunakan sebagai dasar pelaksanaan
Malam Siva Ratri).
Di malam Siva Ratri ada tiga brata yang harus
dilakukan:
1. Mona : Tidak Berbicara
2. Jagra :
Tidak Tidur
3. Upavasa : Tidak Makan dan Minum
Siva Ratri datang setahun sekali setiap purwani
Tilem ke-7 (bulan ke-7) tahun Caka.
Sumber dari Klik Disini
Post Comment
Post a Comment