Ilustrasi ( sastrabali.com ) |
DUMAI- Orang Bali sangat percaya betul kehidupan
manusia sangat ditentukan oleh waktu dan ruang. Dari sinilah kemudian lahir
kepercayaan soal dewasa ayu (hari baik). Sementara dalam hal ruang, orang Bali
akan memilih tempat atau lahan yang paling baik, lahan yang tidak dipantangkan
dalam lontar.
Menurut
sulinggih dari Griya Kutuh, Kuta, Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda ada
beberapa lontar yang memuat tentang baik-buruknya tata letak dan bentuk
pekarangan atau tanah untuk tempat tinggal atau perumahan. Di antaranya, Tutur
Bhagawan Wiswakarma, Bhamakretti, Japakala dan Asta Bhumi.
Dalam lontar-lontar tersebut, pekarangan rumah yang
ngulonin (terletak di bagian hulu) banjar atau pura memang termasuk pekarangan
yang dianggap kurang baik untuk ditempati. “Penghuninya sering terkena musibah,
sakit-sakitan, sering terjadi perselisihan yang menimbulkan terjadinya
pertengkaran antarsesama penghuni,” jelas penulis buku Tata Letak Tanah dan
Bangunan: Pengaruhnya terhadap Penghuninya ini.
Namun, kondisi tersebut bisa dinetralisir dengan
jalan memundurkan tembok panyengker (pembatas) rumah. Antara tembok banjar atau
pura dengan tembok rumah dibuatkan gang kecil (rurung gantung). Sementara di
luar tembok pekarangan agar dibangun pelinggih (bangunan suci) berbentuk
padmacapah dan di tanah pekarangan dibuatkan upacara pemahayu pekarangan
(pecaruan karang tenget/angker).
Selain karang ngulonin banjar atau pura, masih
banyak posisi pekarangan yang dianggap berakibat buruk bagi penghuninya. Yang
cukup dikenal orang yakni karang katumbak (tertusuk) jalan atau gang. Orang
juga sering menyebut dengan istilah tusuk sate. Posisi tanah katumbak jalan
atau gang ini, dalam keyakinan orang Bali, tidak baik dihuni karena bisa
menyebabkan bahaya, kesusahan dan sakit-sakitan. Hal ini juga berlaku untuk
rumah yang posisinya tertusuk sungai (tumbak tukad).
Ada juga posisi pekarangan rumah yang dikenal dengan
sebutan karang negen. Menurut IB Putra Manik Aryana dalam buku Indik Karang
Panes, yang dimaksud karang negen yakni dua pekarangan rumah milik satu orang
yang letaknya berhadap-hadapan dipisahkan jalan. Mirip dengan karang negen, ada
juga karang sandanglawang yakni pekarangan rumah orang yang bersaudara
(kakak-adik) yang posisinya berhadap-hadapan, hanya dibatasi jalan/gang.
Penghuni kedua jenis karang itu dipercaya akan mengalami kesusahan,
sakit-sakitan, sering terlibat pertengkaran.
Masih banyak posisi pekarangan yang dipantangkan
untuk ditempati. Namun, Manik Aryana menyatakan apabila memang terpaksa
menempati atau menghuni karang panes dapat meruwatnya dengan membangun
pelinggih serta menggelar upacara pecaruan.
Manik Aryana memberi contoh kasus karang katumbak
jalan, gang, sungai, got atau pun jurang. Menurut lontar Bhamakertih,
pekarangan dengan posisi katumbak bisa diruwat dengan mendirikan pelinggih
berbentuk padma alit, stana Sang Hyang Durgamaya. Sementara penghuni rumah
melakukan aci (menghaturkan sesaji) pada hari-hari suci di padma alit tersebut.
“Untuk jenis pekarangan yang tergolong ‘panas’
lainnya, disarankan membuat padma capah sebagai stana Sang Hyang Indrablaka/Indraplaka
dan pada hari yang tergolong rerahinan (hari suci), penghuninya menghaturkan
aci (sesaji) untuk memohon keselamatan dan agar terhindar dari pengaruh buruk
pekarangan rumah tersebut,” tandas Manik Aryana.
Post Comment
Post a Comment