Om Swastyastu
Seorang ibu, yang bekerja di suatu instansi
pemerintah di Mataram Lombok mengirimkan tulisan ke Media Hindu dengan judul “MISSIONARIS TEMBUS BENTENG TERAKHIR ORANG
BALI”.
Tulisan itu terinspirasi oleh tayangan di sebuah
stasiun televisi tentang perayaan Paskah di Bali. Dalam tayangan itu ada
wawancara dengan orang Bali Kristen yang menyatakan dirinya merasa lebih sreg
ke gereja dengan pakaian adat Bali. Memang tampak bahwa hampir semua yang ke
gereja memakai pakaian adat Bali (mungkin semuanya orang Bali), yang wanita
lengkap dengan sanggul dan yang laki-laki baik anak-anak maupun laki-laki
dewasa lengkap dengan destar (udeng) tampak persis ketika umat Hindu Bali
sembahyang ke Pure.
Yang menarik juga dari tayangan tersebut adalah para
biarawati yang lengkap dengan pakaian khas mereka memberikan dan memercikan air
kepada para jemaatnya yang secara satu persatu berbaris mendekati para
biarawati ibaratnya para pemangku memercikan Amertha. Dan yang paling menarik
dari tayangan tersebut adalah selain merayakan paskah di gereja para orang Bali
Kristen tersebut di rumah masing-masing melakukan persembahyangan penghormatan
kepada para leluhur dengan sarana banten gebogan dan sesajen namun dilengkapi
dengan patung bunda Maria dan Yesus. Cara sembahyangnyapun ada yang mencakupkan
tangan di dahi ada yang di dada.
Dengan menyaksikan tayangan tersebut orang Bali
telah kecolongan jauh oleh para missionaris, kenapa demikian? Salah satu bentuk
keyakinan orang Bali yang merupakan salah satu benteng terakhir yang kokoh
memproteksi orang Bali sehingga tetap teguh mempertahankan Hindu adalah
melakukan penghormatan terhadap leluhur selain pemujaan terhadap Tuhan. Kenapa
itu bisa dijadikan benteng kuat? Karena orang Bali paling takut ‘ditilas’
ataupun melupakan kawitan (leluhur) sehingga banyak dari mereka yang beralih
agama terus dihantui rasa bersalah terhadap leluhurnya dan data di lapangan
juga menunjukkan bahwa para orang Bali yang telah terkonversi kemudian balik
lagi kepelukan Hindu karena alasan Leluhur mereka.
Nah sekarang ranah itu telah dijamah oleh para
missionaris, karena para missionaris juga mentolelir orang-orang Bali yang
telah terkonversi tersebut melakukan rituil penghormatan terhadap leluhur
bahkan dengan tatacara ritual Hindu yang sedikit dimodifikasi. Dengan demikian
alasan lupa pada kawitan tidak ada lagi sehingga kecil kemungkinan mereka balik
ke pangakuan Hindu toh mereka meskipun beragama kristen tetap ingat dan memuja
leluhur mereka..
Ibu ini kemudian meminta Tokoh-tokoh Umat di Bali
cepatlah tanggap terhadap lingkungan Tetapi sampai sekarang tidak ada tanggapan
apa-apa dari lembaga-lembaga Hindu di Bali. Beda dengan kasus VCD yang dibuat
di Batu Malang, yang dibuat oleh Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia. VCD
yang berdurasi 1 jam itu merekam orang-orang berpakaian Muslim pakia sorban
tetapi melakukan doa Kristen. Diprotes oleh MUI Probolinggo, dilaporkan ke
polres. Karena dianggap bisa menimbulkan permasalahan agama. (detik.com 10 4
2007). VCD ini belum beredar keluar. Berbeda dengan ritual Kristen-Hindu-Bali
yang ditayangkan secara luas di media elektronik.
Sewaktu Panitia Nyepi dan Dharma Santi 2006
menghadap Menteri Agama, beliau juga manyinggung hal-hal seperti ini. Khusus
tentang tingkah polah gereja Kristen di Bali, Menag meminta agar umat Hindu
memprotes siaran drama seperti Sang Hyang Yesus yang pernah ditayangkan TVRI
Bali. Karena hal-hal semacam ini berpotensi mengundang konflik. Andaikata
ritual seperti yang disebutkan oleh penulis di atas dilakukan di Papua, unatuk
orang-orang Krsten Papua, tentu tidak perlu dipermasalahkan. Tapi karena ini
dilakukan di Bali, di tengah-tengah laingkungan yang mayoritas beragama Hindu
oleh agama missi yang agresif, tentu ada motifnya.
Menghadapi hal semacam ini, organisasi Hindu,
terutama PHDI Pusat dan Bali, seperti “kemegmegan” (gagap). Tidak memiliki
sikap yang jelas. Apakah karena karena tidak mampu memberi argumentasi.
Atau apakah orang Hindu di Bali dan PHDI mengikuti
toleransi “indefferentisme” (emang
gue pikirin) atau menganut aliran kesamenisme, yang berpendapat “He who is called Sang Hyang Widhi also
called Sang Hyang Yesus?’ ‘She who
colled Ibu Pertiwi also called Bunda Maria?”
Kalau PHDI ‘kemegmegan’,
mestinya Sabha Walaka (sebagai think tank) memberi masukan. Bukan soal diprotes
atau tidak, yang penting ada sikap yang jelas.
Om santih, santih, santih Om
Ref: Media Hindu
Post Comment
+ komentar + 1 komentar
Semoga saja bali dan Hindu tetap Ajeg .... Svaha
Post a Comment