Headlines News :
Home » , » Pemimpin Blusukan Itulah Bayu Brata

Pemimpin Blusukan Itulah Bayu Brata

Written By Unknown on Friday, January 10, 2014 | 8:48 AM

Akhir-akhir ini, masyarakat dikejutkan oleh muncul adanya pemimpin-pemimpin yang mau turun kelapangan atau disebut Sidak/Blusukan. Fenomena ini memang sangat jarang kita temui dalam masa pemerintahan para pejabat-pejabat di Indonesia saat ini.

Pemimpin yang sering sidak/blusukan di ibaratkan Bayu Brata dalam Sastra Hindu seperti di dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra IX.306, sebagai berikut :

Pravisya sarvabhutani yatha carati-
marutah tatha caraih pravestavyam
vrata memetaddhi marutam

 Artinya :
Laksana bayu atau angin bergerak kemana-mana, masuk memberi nafas pada seluruh makhluk hidup. Demikianlah pejabat publik bersama stafnya masuk kemana-mana. Karena ia bagaikan angin berembus dari tekanan yang tinggi menuju tekanan yang lebih  rendah.


Sifat angin selalu berembus dari tekanan yang tinggi menuju tekanan yang rendah. Berembusnya angin tersebut menuju tekanan rendah memberikan kesejukan pada semua makhluk hidup yang dilaluinya. Itulah yang diibaratkan dalam Sloka Manawa Dharmasastra IX.306 yang dikutip di atas yang disebut Bayu Brata. Hal inilah yang diulang dalam pustaka Kekawin Ramayana sebagai salah satu dari Asta Brata. Demikianlah seharusnya pemimpin yang punya tugas memangku kepentingan publik.

Pejabat publik atau para Ksatriya hendaknya blusukan kemana-mana agar mengetahui  keadaan rakyat yang sebenarnya, terutama yang keadaannya dihimpit derita. Seperti miskin secara ekonomi, tinggal di tempat dengan lingkungan yang kumuh, dengan fasilitas umum yang rendah seperti sarana pendidikan dan kesehatan yang rendah jauh dari standar wajar. Keadaan rakyat yang dirundung derita itulah yang semestinya paling mendapatkan perhatian pejabat publik atau Ksatriya Varna.

Dalam  ajaran Hindu pejabat yang mempunyai tugas mengurus kepentingan rakyat hendaknya mereka yang memiliki bakat dan tabiat atau Guna dan Karma Ksatriya Varna. Setelah duduk memegang jabatan disebut Raaja bukan Raja. Raaja berasal dari kata Rajintah artinya Ksatriya Varna yang telah terbukti berpengalaman membahagiakan masyarakat banyak. Bukan seperti Raja yang hidupnya selalu mengumbar nafsu Rajasnya.

Kalau saja para pejabat publik mau blusukan  seperti itu, itulah bentuk pengamalan Bayu Brata atau angin berembus memberi kesejukan pada rakyat. Pejabat publik jangan hanya menghadiri undangan pengusaha kaya untuk menimati kehormatan palsu berpesta pora hidup bersenang-senang. Ujung-ujungnya penguasa dan pengusaha bikin projek fiktif untuk bagi-bagi  duit yang kasmala artha atau uang yang penuh noda. Hidup dengan uang yang penuh noda akan menimbulkan vibrasi buruk dari kejahatan menyalahgunakan uang rakyat.

Manawa Dharmasastra VII.44 menyatakan hendaknya pejabat  publik  (Raaja) itu siang dan malam senantiasa  berusaha sekuat tenaganya mengendalikan indrianya (Indrianam jaye yogam). Pejabat publik yang telah berhasil menundukkan indrianya (Jitendriyah) sendiri akan berwibawa dan akan berhasil dipatuhi oleh rakyatnya. Dewasa ini masih ada pejabat publik yang sangat kurang serius menahan indrianya untuk hidup bersenang-senang. Seperti buat anggaran untuk plesiran ramai-ramai bahkan sampai keluar negeri dengan kedok study banding. Membuat pesta-pesta dengan uang bansos dengan kedok agar dekat dengan rakyat.

Seharusnya pejabat publik mengembangkan gaya hidup bertenang-tenang. Dengan demikian pejabat publik itu tidak  hidup dengan gaya hidup biaya tinggi.

Politisi hendaknya tidak menjadikan jabatan di lembaga pemerintahan sebagai media untuk mengais rezeki untuk memperkaya diri. Memang masih banyak pejabat publik yang rela hidup bersahaja mengutamakan pengabdian pada kepentingan rakyat. Masih ada yang mau blusukan ke rakyat yang hidup menderita dan memberikan solusi nyata mengatasi penderitaan rakyat tersebut.

Sebagai pemimpin pejabat publik itu juga datang pada rakyat yang hidupnya lebih beruntung baik dari segi ekonomi maupun dari segi pendidikan dan status sosialnya. Blusukan ke tempat rakyat yang hidup lebih beruntung untuk diajak bersama-sama memperbaiki keadaan rekannya yang masih terhimpit derita lahir batin. Dengan melakukan blusukan yang seimbang dengan tujuan mencarikan solusi pada berbagai persoalan masyarakat luas, itulah  sesungguhnya hakikat Bayu Brata menurut ajaran Hindu. Bayu Brata itu bukan blusukan untuk memenuhi kebutuhan sosiologis untuk disanjung-sanjung atau dielu-elukan oleh rakyat orang Bali bilang “ngedengan ajum” ke rakyat.


Pejabat publik akan menaruh belas kasihan pada rakyat apabila dia memiliki kemampuan untuk mengendalikan idrianya. Mereka blusukan bukan memamerkan kemewahan dengan tampil mengistemewakan diri ke desa-desa menikmati sanjungan palsu dari rakyat. Apalagi datang dengan mobil mewah dengan  kawalan mobil pakai serine memekakkan telinga dan membuat kacaunya lalu lintas rakyat. Pejabat publik  yang blusukan dengan konsep Bayu Brata itu datang dengan cara yang sederhana dan  wajar-wajar saja. Datang secara langsung dan menimba informasi dan aspirasi yang autentik dan mencoba memahami masyalah yang ada. Bahkan sebelumnya pejabat bersangkutan sudah memiliki informasi dan data tentang persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Dengan  demikian tidak ada persoalan yang  sampai berlarut-larut tak diketahuinya. Blusukan yang dapat digolongkan Bayu Brata itu bukanlah blusukan pejabat yang hanya rajin datang ke rakyat, tetapi tidak memberikan solusi pada persoalan yang terjadi. Karena konon ada pejabat yang suka keliling ke daerah-daerah dengan mobil dinasnya yang sejuk dan mewah, tetapi dia tidur lelap di jok belakang sopir. Artinya tidak semua pejabat yang suka blusukan itu dapat digolongkan Bayu Brata. Datang ke rakyat dan memberi solusi pada persoalan yang sedang dihdapi rakryat dengan baik, benar dan tepat.
Share this post :

Post Comment

Post a Comment

 
Support : Copyright © 2015. Hindu Damai - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger
UA-51305274-1