Akhir-akhir ini, masyarakat dikejutkan oleh muncul
adanya pemimpin-pemimpin yang mau turun kelapangan atau disebut Sidak/Blusukan. Fenomena ini memang
sangat jarang kita temui dalam masa pemerintahan para pejabat-pejabat di
Indonesia saat ini.
Pemimpin yang sering sidak/blusukan di ibaratkan
Bayu Brata dalam Sastra Hindu seperti di dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra IX.306,
sebagai berikut :
Pravisya
sarvabhutani yatha carati-
marutah tatha
caraih pravestavyam
vrata memetaddhi
marutam
Artinya :
Laksana bayu atau angin bergerak kemana-mana, masuk
memberi nafas pada seluruh makhluk hidup. Demikianlah pejabat publik bersama
stafnya masuk kemana-mana. Karena ia bagaikan angin berembus dari tekanan yang
tinggi menuju tekanan yang lebih rendah.
Sifat angin selalu berembus dari tekanan yang tinggi
menuju tekanan yang rendah. Berembusnya angin tersebut menuju tekanan rendah
memberikan kesejukan pada semua makhluk hidup yang dilaluinya. Itulah yang
diibaratkan dalam Sloka Manawa Dharmasastra IX.306 yang dikutip di atas yang
disebut Bayu Brata. Hal inilah yang diulang dalam pustaka Kekawin Ramayana
sebagai salah satu dari Asta Brata. Demikianlah seharusnya pemimpin yang punya
tugas memangku kepentingan publik.
Pejabat publik atau para Ksatriya hendaknya blusukan
kemana-mana agar mengetahui keadaan
rakyat yang sebenarnya, terutama yang keadaannya dihimpit derita. Seperti
miskin secara ekonomi, tinggal di tempat dengan lingkungan yang kumuh, dengan
fasilitas umum yang rendah seperti sarana pendidikan dan kesehatan yang rendah
jauh dari standar wajar. Keadaan rakyat yang dirundung derita itulah yang
semestinya paling mendapatkan perhatian pejabat publik atau Ksatriya Varna.
Dalam ajaran
Hindu pejabat yang mempunyai tugas mengurus kepentingan rakyat hendaknya mereka
yang memiliki bakat dan tabiat atau Guna dan Karma Ksatriya Varna. Setelah
duduk memegang jabatan disebut Raaja bukan Raja. Raaja berasal dari kata
Rajintah artinya Ksatriya Varna yang telah terbukti berpengalaman membahagiakan
masyarakat banyak. Bukan seperti Raja yang hidupnya selalu mengumbar nafsu
Rajasnya.
Kalau saja para pejabat publik mau blusukan seperti itu, itulah bentuk pengamalan Bayu
Brata atau angin berembus memberi kesejukan pada rakyat. Pejabat publik jangan
hanya menghadiri undangan pengusaha kaya untuk menimati kehormatan palsu
berpesta pora hidup bersenang-senang. Ujung-ujungnya penguasa dan pengusaha
bikin projek fiktif untuk bagi-bagi duit
yang kasmala artha atau uang yang penuh noda. Hidup dengan uang yang penuh noda
akan menimbulkan vibrasi buruk dari kejahatan menyalahgunakan uang rakyat.
Manawa Dharmasastra VII.44 menyatakan hendaknya
pejabat publik (Raaja) itu siang dan malam senantiasa berusaha sekuat tenaganya mengendalikan
indrianya (Indrianam jaye yogam). Pejabat publik yang telah berhasil
menundukkan indrianya (Jitendriyah) sendiri akan berwibawa dan akan berhasil
dipatuhi oleh rakyatnya. Dewasa ini masih ada pejabat publik yang sangat kurang
serius menahan indrianya untuk hidup bersenang-senang. Seperti buat anggaran
untuk plesiran ramai-ramai bahkan sampai keluar negeri dengan kedok study
banding. Membuat pesta-pesta dengan uang bansos dengan kedok agar dekat dengan
rakyat.
Seharusnya pejabat publik mengembangkan gaya hidup
bertenang-tenang. Dengan demikian pejabat publik itu tidak hidup dengan gaya hidup biaya tinggi.
Politisi hendaknya tidak menjadikan jabatan di
lembaga pemerintahan sebagai media untuk mengais rezeki untuk memperkaya diri.
Memang masih banyak pejabat publik yang rela hidup bersahaja mengutamakan
pengabdian pada kepentingan rakyat. Masih ada yang mau blusukan ke rakyat yang
hidup menderita dan memberikan solusi nyata mengatasi penderitaan rakyat
tersebut.
Sebagai pemimpin pejabat publik itu juga datang pada
rakyat yang hidupnya lebih beruntung baik dari segi ekonomi maupun dari segi
pendidikan dan status sosialnya. Blusukan ke tempat rakyat yang hidup lebih
beruntung untuk diajak bersama-sama memperbaiki keadaan rekannya yang masih
terhimpit derita lahir batin. Dengan melakukan blusukan yang seimbang dengan
tujuan mencarikan solusi pada berbagai persoalan masyarakat luas, itulah sesungguhnya hakikat Bayu Brata menurut
ajaran Hindu. Bayu Brata itu bukan blusukan untuk memenuhi kebutuhan sosiologis
untuk disanjung-sanjung atau dielu-elukan oleh rakyat orang Bali bilang
“ngedengan ajum” ke rakyat.
Pejabat publik akan menaruh belas kasihan pada
rakyat apabila dia memiliki kemampuan untuk mengendalikan idrianya. Mereka
blusukan bukan memamerkan kemewahan dengan tampil mengistemewakan diri ke
desa-desa menikmati sanjungan palsu dari rakyat. Apalagi datang dengan mobil
mewah dengan kawalan mobil pakai serine
memekakkan telinga dan membuat kacaunya lalu lintas rakyat. Pejabat publik yang blusukan dengan konsep Bayu Brata itu
datang dengan cara yang sederhana dan
wajar-wajar saja. Datang secara langsung dan menimba informasi dan
aspirasi yang autentik dan mencoba memahami masyalah yang ada. Bahkan
sebelumnya pejabat bersangkutan sudah memiliki informasi dan data tentang
persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Dengan
demikian tidak ada persoalan yang
sampai berlarut-larut tak diketahuinya. Blusukan yang dapat digolongkan
Bayu Brata itu bukanlah blusukan pejabat yang hanya rajin datang ke rakyat,
tetapi tidak memberikan solusi pada persoalan yang terjadi. Karena konon ada
pejabat yang suka keliling ke daerah-daerah dengan mobil dinasnya yang sejuk
dan mewah, tetapi dia tidur lelap di jok belakang sopir. Artinya tidak semua
pejabat yang suka blusukan itu dapat digolongkan Bayu Brata. Datang ke rakyat
dan memberi solusi pada persoalan yang sedang dihdapi rakryat dengan baik,
benar dan tepat.
Post Comment
Post a Comment