Saras Dewi Dosen UI dan STAH DNJ (kapanlagi.com) |
Dan saya rasa jawaban diplomatis Gandhi sangat
jujur, bukan hanya ingin untuk menyenangkan dua belah pihak. Dia mengatakan,
saya bukan Hindu, saya bukan Islam. Agama saya adalah Agama Cinta. Jadi saya
merasa bahwa apa yang dilakukan oleh Gandhi adalah ingin menunjukkan bahwa yang
seharusnya ditonjolkan dari agama adalah kebaikan, cinta kasih, belas kasih,
rasa toleransi, rasa persaudaraan. Itu sebenarnya hakikat dari agama.
Pada lima tahun yang lalu, Kamis, 26 Maret
2009, umat Hindu merayakan Tahun Baru Saka 1931. Tahun baru yang lumrahnya
dirayakan dengan penuh riuh, umat Hindu merayakannya dengan ritual Nyepi. Cara
demikian tentu tidak populer dalam benak orang kebanyakan. Justru di situ letak
keunikan agama yang dilahirkan oleh para Maha Resi di dataran lembah Indus ini.
Max Muller, seorang teolog dari Jerman, melacak awal agama Hindu pada milenium
ketiga sebelum masehi. Dengan catatan waktu sejarah yang membentang demikian
panjang, tentu terdapat banyak nilai-nilai positif yang dapat kita gali dari
agama satu ini.
Menurut agama
Hindu, agama yang dipeluk tiap orang adalah unik. Ia mencari ke dalam untuk
menemukan semua jawaban tentang segala hal-ihwal. Karena itu agama Hindu
bersifat pribadi dan personal. Seorang Guru dapat saja seorang Raja Yoga dan
muridnya adalah seorang Bhakti Yoga. Setiap orang mengikuti satu agama yang
unik. Itulah keindahan dari agama Hindu. Dan keunikan serta keindahan seperti
itu tak bisa lain kecuali lahir dari sebuah perjalanan keimanan seseorang yang
panjang. Rabu, 25 Maret 2009, Novriantoni Kahar dari Jaringan Islam Liberal (JIL)
telah mewawancari Saras Dewi, dosen filsafat di Universitas Indonesia (UI) dan pengajar Filsafat Upanishad di Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara
Jakarta (STAH DNJ), Rawamangun Jakarta. Berikut petikan wawancaranya seperti dilansir islamlib.com (Jaringan Islam Liberal) :
JIL: Berbicara tentang perjalanan keimanan
seseorang, tentu faktor keluarga berperan sangat penting. Seperti apakah latar
belakang keagamaan keluarga anda semasa kecil?
Situasi keluarga saya itu agak unik sebenarnya. Agak
berbeda tapi justru menyenangkan buat saya. Kebetulan ibu saya muslim. Sudah
hampir dua puluh enam tahun saya dibesarkan oleh ibu saya yang muslim. Ayah
saya Hindu. Yang menarik setiap Nyepi, ibu saya juga ikut melakukan Nyepi.
Justru yang paling kuat melakukan ritual Nyepi itu ibu saya. Ibu saya tahan
berpuasa dua puluh empat jam. Saya sendiri justru tidak tahan. Sebaliknya kalau
Ramadlan selama satu bulan saya tidak pernah bolong. Jadi ibu saya selalu
mengatakan bahwa Nyepi itu maknanya universal. Ibu saya merasa bahwa memang
kita semua butuh satu hari khusus untuk memikirkan atau mengevaluasi apa saja
selama tahun ini yang sudah kita perbuat, apa resolusi yang ingin kita lakukan
di masa depan. Jadi di situ letak universalitas ritual Nyepi menurut ibu saya.
Saya masih ingat juga pada hari raya Nyepi, siang
hari sebelum malam, kami bertiga selalu baca Kitab Mahabarata. Saya sampai
hafal Mahabarata dari awal sampai akhir, karena setiap Nyepi saya pasti disuruh
baca Mahabarata. Bapak saya selalu bilang, inilah kitab pelajaran hidup. Setiap
Nyepi saya selalu diingatkan siapakah Panca Pandawa, siapakah Kurawa. Jadi
sekarang saya agak kangen sebenarnya saat-saat seperti itu, setelah seringkali
saya suka mengkritik balik ayah saya ketika saya sudah beranjak dewasa
sekarang.
Pasangan suami istri Saras Dewi dan Choky Netral (kapanlagi.com) |
JIL: Menyambung soal Nyepi sebagai ritual rutin umat
Hindu setiap Tahun Baru Saka, apa sebenarnya pengertian Nyepi itu dan apa pula
filosofi yang terkandung dalamnya?
Nyepi itu suatu budaya yang berkembang di
Hindu-Dharma Bali. Intinya adalah tapa brata atau penyepian di satu hari
tertentu yang memang selalu jatuh di Tahun Baru Saka, sekaligus untuk
merayakannya. Di dalam Hindu biasanya dalam prosesi Nyepi ada
tahapan-tahapannya. Hari pertama kita Melasti. Waktu Melasti biasanya kita
pergi ke laut, karena di dalam mistik Hindu air itu bagian kosmik yang penting.
Makanya kalau ada orang meninggal, setelah dilaksanakan ritual Ngaben, abunya
selalu disebar ke laut. Karena laut itu simbol penyucian, simbol pembersihan.
Setelah Melasti ada Tawur Agung. Dalam Tawur Agung
kita mengadakan suatu upacara yang memang khusus untuk menghormati Butha atau
makhluk-makhluk yang menurut agama Hindu derajatnya di bawah kita. Itu
menunjukkan bahwa kita harus selalu punya rasa hormat terhadap lingkungan. Kita
menganggap, entah itu tanaman, entah itu alam kita, entah itu pohon, entah
hewan, adalah bagian dari kehidupan kita. Mereka kita doakan agar setelah Nyepi
kita dapat menuju ke alam yang lebih baik, dunia yang lebih baik, lebih
harmonis, lebih damai. Setelah itu baru hari besoknya Nyepi.
JIL: Apakah ritual Nyepi ini adalah khas Bali?
Betul, walaupun mungkin ada beberapa hindu-hindu
lain di India yang juga ikut merayakannya. Bali ini kan adatnya luar biasa
banyak. Ada Galungan, Kuningan, Hari Raya Saraswati dan lain sebagainya, yang
mungkin di India tidak dirayakan. Atau dirayakan dengan versi yang berbeda.
Kalau Hindu di Bali versi perayaan penghormatan terhadap Tahun Baru Saka ya
seperti ini. Mungkin Hindu yang lain berbeda lagi. Karena Hindu itu memiliki
denominasi atau sekte yang luar biasa banyak. Tapi karena di Indonesia yang
terbesar Hindu-nya adalah Hindu-Bali, jadi ya perayaannya seperti ini.
JIL: Ritual-ritual apa saja yang dilakukan pada saat
acara Nyepi itu?
Ada beberapa. Ada amati geni, kita tidak boleh menghidupkan
api. Kemudian amati karya, tidak boleh berkarya, tidak boleh beraktifitas.
Lantas amati lelungan, tidak boleh bepergian. Dan amati lelaungan dilarang
bersenang-senang. Intinya kita melakukan kontemplasi, evaluasi pada saat Nyepi
itu.
www.dailysylvia.com |
Lazimnya di masyarakat memang kalau orang tuanya
muslim, anaknya juga muslim dan seterusnya. Tapi orang tua saya itu selalu
mengajarkan pada saya bahwa agama itu tidak ada yang bersifat hereditary,
turun-temurun. Dan ayah saya juga mendidik saya bahwa definisi Hindu sendiri di
dalam kitab suci Weda itu dibuat oleh komunitas, dibuat secara kolektif oleh
satu kelompok, bukan oleh satu orang. Meskipun kalau secara an sich di dalam
kitab suci, Hindu dikatakan sebagai agama Om, agama yang memuja Brahman.
Saya sendiri tumbuh dalam keluarga dengan suasana
keagamaan yang sinkretis. Ibu saya Islam-Kejawen, jadi memang agak dekat dengan
Hindu. Beberapa pandangan falsafah hidupnya memang bersinggungan dengan Hindu.
Karena itu saya merasa tidak ada clash dalam keluarga saya. Karena kebetulan
agama Islam yang diajarkan oleh ibu saya adalah Islam yang sangat toleran. Ibu
saya menganggap bahwa hidup itu tidak akan pernah bisa murni, tidak bercampur
dengan adat, kebiasaan, habituasi orang lain. Kita di Indonesia ini kan cita
rasanya macam-macam. Jadi ketika di luar rumah saya melihat fenomena benturan
antar agama, saya suka bingung sendiri. Karena ketika di dalam rumah saya
diajarkan bahwa agama itu pesannya adalah selalu damai, selalu kebaikan, selalu
kohesif, selalu harmonis.
JIL: Dengan latar balakang keluarga yang sinkretis
seperti demikian, anda sendiri lebih mengidentifikasi diri sebagai orang yang
beragama apa?
Saya sadar memang lingkungan di luar itu menganggap
bahwa agama adalah identitas beku yang harus kita bawa sampai mati. Saya
sendiri memang merasa diri saya Hindu. Kesadaran itu muncul setelah saya sudah
mulai kontemplasi. Mulai mengerti agama itu apa, necessity-nya apa,
keharusannya apa, maknanya apa. Sebelumnya saya Hindu ya lebih sebagai
habituasi, kebiasaan saja. Dan itu terjadi setelah saya sudah beranjak dewasa
setelah sekian lama tinggal di Jakarta.
Dan menurut saya pandangan Hindu sendiri itu pun
tidak pernah bertabrakan dengan pandangan agama-agama yang lain. Jadi meskipun
saya Hindu, saya adalah seorang Hindu yang juga membaca Alkitab, membaca
Alquran, membaca Tripitaka, membaca Jainisme. Saya tidak merasa bahwa ketika
saya bilang diri saya Hindu -bukan dalam pengertian di KTP saya Hindu- maka itu
berarti tertutup untuk mempelajari kepercayaan yang lain. Tidak. Saya merasa
spiritualitas itu tidak ada boundaries di dalamnya, tidak memakai batas-batas
penyekat.
Kadang-kadang saya berpikir bahwa rasa kekhawatiran
kita terhadap perbedaan orang, rasa takut terhadap perbedaan itulah yang
menimbulkan kecurigaan. Dalam hati nurani saya, saya sungguh meyakini bahwa
perbedaan itu niscaya. Kalau kata Ulil Abshar Abdalla, perbedaan itu rahmat,
perbedaan itu anugrah. Waktu saya masuk jurusan filsafat, saya merasa lebih
punya asupan teori filsafat, baik dari filsuf kontemporer sampai yang klasik,
kaitannya dengan keniscayaan perbedaan. Jadi saya merasa semakin mantaplah
dengan hidup dalam perbedaan.
Selain sebagai Dosen Saras Dewi juga seorang Penyanyi (kapanlagi.com ) |
JIL: Diasuh oleh ibu yang memeluk agama Islam,
apakah anda juga diajarkan ritual salat?
Mungkin karena saya tumbuh dari kecil dan besar di
Bali, saya lebih condong dengan adat ayah saya. Baru ketika sepuluh tahun yang
lalu saya pindah ke Jakarta waktu saya usia 13 tahun, saya bisa melihat lebih
banyak segi, menjadi seorang muslim itu seperti apa? Karena di Jakarta
mayoritas adalah Islam. Tetangga-tetangga saya Islam, di sekolah saya juga
banyak orang Islam, mahasiswa saya juga beragama Islam. Jadi saya merasa lebih
mengenali Islam ketika saya sudah mulai dewasa. Saya sendiri di rumah sering
menemani ibu saya makan. Tapi doa yang kami baca, allahumma bariklana fima
razaqtana wa qina ‘azabannar (Tuhan, berkatilah rizki yang Engkau berikan serta
jauhkan kami dari api-Mu).
JIL: Di Islam ada gerakan puritanisme. Nah, adakah
trend yang sama di kalangan Hindu, di Bali khususnya?
Betul, di Bali memang ada indikasi-indikasi
munculnya kelompok fundamentalis, walaupun kecil sekali. Trend seperti itu ada.
Dan itulah yang menjadi bahan otokritik bagi orang Hindu sendiri. Saya sendiri
paling tidak suka dengan fundamentalisme. Karena begini, di Hindu sendiri
diajarkan untuk mencintai tiga puluh tiga Dewa. Jadi Hindu itu bisa dimanifestasikan
ke dalam tiga puluh tiga denominasi atau aliran kepercayaan. Dan semua aliran
kepercayaan itu dianggap setara dan dihormati. Jadi saya rasa Hindu asasnya
adalah adhitya, kebebasan. Kebebasan itu sangat dijunjung tinggi sekali dalam
Hindu. Setiap individu yang lahir punya kebebasan buat karmanya sendiri. Itu
tidak bisa dicabut, dilarang, tidak bisa diganggu gugat. Apa yang dia tanam
itulah yang ia tuai. Jadi saya rasa fundamentalisme itu berlawanan dengan asas
utama Hindu tadi itu. Menurut saya fundamentalisme tidak akan pernah membawa
result atau hasil apa-apa, hanya menghasilkan kecurigaan.
JIL: Bagaimana dengan fenomena fundamentalisme di
India, misalnya?
Sewaktu saya meneliti fenomena begitu banyaknya
fundamentalisme di India sana, saya rasa problemnya adalah adanya ratusan
aliran kepercayaan di India dan masing-masing menganggap alirannya-lah yang
paling benar. Sementara kalau kita merujuk pada teks-teks Upanishad, kita akan
mendapatkan konsep achintya, berbeda-beda. Intinya Tuhan itu bukan ini, bukan
itu. Brahman neti-neti, bukan ini bukan itu. Achintya, ada di dalam perbedaan.
Jadi perbedaanya memang ada. Tetapi yang harus dipahami adalah semuanya
bermuara pada satu kebenaran yang sama. Makanya kalau di dalam Hindu diajarkan
pemahaman Ekam Sat, Vipra Bahudavadanti (Truth is one, sages describe it
differently). Bagi orang bijak kebenaran itu satu, tapi dia mengatakannya
dengan banyak nama. Jadi kebenaran itu sungguh-sungguh memang satu, tapi
dimanifestasikan dalam partikularitas yang macam-macam. Nah, di India yang
terjadi adalah mereka terjebak dalam partikularitas itu dan lupa kepada makna
yang lebih besarnya.
Kalau saya sih optimistik bahwa agama itu duta
perdamaian. Idealnya, agama itu seperti itu. Makanya salah seorang Maha Resi
mengatakan, percuma anda ibadah dan melakukan korban kalau anda tidak mengerti
esensi dari beragama, yaitu ahimsa. Ahimsa itu artinya tidak menyakiti. Jadi
tidak menyakiti itulah akar dari agama Hindu. Itu kenapa seorang revolusioner
bernama Mahatma Gandhi sungguh-sungguh meyakini bahwa sebenarnya kita lahir
untuk saling menghormati, menghargai, menempatkan orang lain di tempat yang
baik. Ahimsa inilah kunci bagi kita untuk bisa hidup saling berdampingan.
www.suarakita.org |
JIL: Menurut anda apa sebetulnya esensi dari semua
agama?
Mahatma Gandhi pernah disodorkan pertanyaan seperti
ini ketika hampir terjadi separasi antara India dan Pakistan paska kemerdekaan.
Mahatma Gandhi menjawab dengan sangat diplomatis. Dan saya rasa jawaban
diplomatik Gandhi sangat jujur , bukan hanya ingin untuk menyenangkan dua belah
pihak. Dia mengatakan, saya bukan Hindu, saya bukan Islam. Agama saya adalah
Agama Cinta. Jadi saya merasa bahwa apa yang dilakukan oleh Gandhi adalah ingin
menunjukkan bahwa yang seharusnya ditonjolkan dari agama adalah kebaikan, cinta
kasih, belas kasih, rasa toleransi, rasa persaudaraan. Itu sebenarnya hakikat
dari agama. Ejawantahnya mungkin bermacam-macam. Partikularitasnya secara
eksoteris bisa bermacam-macam. Tapi hakikatnya adalah seperti yang disampaikan
oleh Gandhi itu, yaitu rasa cinta terhadap persaudaraan. Saya rasa hanya itu
yang bisa kita pegang sebagai kebenaran.
Post Comment
+ komentar + 2 komentar
Luarbiasa bukan!
Masih muda, cerdas dan berprestasi sekali..
Satyam Eva Jayate.. Jaya
Bagi saya ini adalah informasi yang sangat bagus, karena ini membuat kita lebih mengenal dan belajar lebih banyak tentang dunia yang luas, sehingga akan menambah wawasan bagi saya, untuk itu saya mengucapkan banyak terima kasih........
Jangan lupa mampir ke blog saya ya......
- Hammer Of Thor
- Hammer Of Thor Asli
- Jual Hammer Of Thor
- Jual Hammer Of Thor Asli
- Jual Obat Pembesar Alat Vital Pria
Post a Comment