Headlines News :
Home » , » 10 Perubahan Drastis Masyarakat Bali Setahun Terakhir

10 Perubahan Drastis Masyarakat Bali Setahun Terakhir

Written By Unknown on Friday, February 28, 2014 | 8:14 AM

DUMAI - Hubungan masyarakat Bali dengan masyarakat global saat ini tidak lagi sekedar ‘guide-dan-turis’ atau ‘seniman-dan penikmat seni’, melainkan sudah berubah menjadi hubungan antara ‘bawahan-dan-atasan’ atau ‘pedagang-dan-pelanggan’ atau ‘pebisnis-dan-partner bisnis’. Tak sedikit juga yang berupa hubungan ‘pasien-dan-dokter’ atau ‘fotografer-dan-model’ atau ‘murid-dan-guru’, bahkan ‘tetangga-dan-tetangga ekspatriat'.
Penari Bali (smansa98.blogspot.com)
Perubahan frekwensi dan intensitas hubungan antara masyarakat Bali dan masyarakat global  yang kian meningkat, tidak sekedar melahirkan orang bule yang ‘ke-Bali-Balian’ dalam jumlah relative sedikit, melainkan juga melahirkan orang Bali ‘ke-bule-bule-an’ yang justru lebih banyak.

Begitu banyak perubahan dalam masyarakat Bali belakangan ini. Ada perubahan yang menurut sebagian orang bisa jadi positive, ada juga yang negative. Ada perubahan yang menurut sebagian orang bisa jadi baik, ada juga yang tidak baik.

Seperti dilansir di Popbali.com merangkum perubahan-perubahan tersebut, per 2013 ini, menjadi sepuluh perubahan yang paling drastis sehingga sangat terasa, dan layak untuk dicatat.

Inilah “10 Perubahan Paling Drastis Dalam Masyarakat Bali Per 2013 

1. Perubahan Mata Pencaharian
Sebelum era 70an, mata pencaharian masyarakat Bali lebih banyak sebagai petani dan sebagian kecilnya pedagang. Di era 80an, mata pencaharian mulai bergeser ke pegawai pariwisata (pegawai hotel, travel, guide, sopir travel, dlsb) dan pengerajin.
 Petani Padi  (www.republika.co.id)
Belakangan ini, berbagai macam profesi di jalani oleh masyarakat Bali; mulai dari pedagang HP hingga pedagang narkoba, mulai dari pengusaha hotel hingga pengusaha café remang-remang, mulai dari calo tanah sampai calo perkara, mulai dari moderator talk show sampai key speaker seminar, mulai dari tukang parkir sampai tukang tagih (debt-collector).

Silahkan periksa status pekerjaan yang tercantum di KTP, berapa orang yang masih mencantumkan “petani”? Hanya ada di desa-desa sana, itupun mungkin jumlahnya sudah sangat sedikit.

2. Perubahan Aktivitas dan Etos Kerja
Dalam era dimana sebagian besar masyarakat berstatus petani, etos kerja masyarakat Bali mungkin terlihat lamban dan cenderung santai. Tentu saja, karena aktivitas bertani memang tidak bisa diburu-buru, semua memakai hitungan masa (misalnya: padi baru bisa dipanen setelah berusia 3 bulan, tidak bisa dipercepat).
Megambel tempo dulu (www.desaadatsemate.com)
Banyaknya waktu luang inilah yang membuat masyarakat Bali, di era itu, selalu punya waktu untuk aktivitas-aktivitas berkesenian dan melestarikan budaya (misalnya: mekekawin, megeguritan, megenjekan, megambel, menari, main arja, ngerindik, meniup seruling, membaca lontar, dlsb). Sehingga bagi orang di luar Bali,  etos kerja masayarakt Bali pada saat itu dianggap santai.

Etos kerja masyarakat Bali saat ini sudah berubah drastis, menjadi super sibuk, “time-is-money” kata mereka. Perubahan ini tentu terjadi akibat perubahan mata pencaharian yang begitu drastis dan ledakan angkatan kerja yang mengakibatkan kempetisi menjadi begitu ketat. Libur sehari untuk menengok upacara keluarga misalnya, jatah antrean nyupir di halaman hotel sudah diambil-alih orang lain. Tutup kantor sekali, pelanggan sudah marah-marah.

Sehingga, hampir sudah tidak ada waktu lagi untuk ‘menyama-braya’. Melihat orang bertegur sapa di jalanan, saat ini, adalah kejadian langka, ajaib, atau malah dipandang aneh (“terlalu basa-basi, lebian tutur,” kata mereka), kecuali di desa-desa yang jauh di kaki bukit sana. 

3.  Perubahan Nama

Mungkin bisa diperdebatkan. Tetapi ini fakta bahwa perubahan penggunaan nama di kalangan masyarakat Bali, dewasa ini, tergolong drastis.
 Nama Orang Bali (roombucketdotcom.blogspot.com)
Sekarang, perubahan penamaan anak sangat drastis. Ada 2 trend yang paling menonjol menurut Pop Bali, yaitu:
·         nama yang mengarah ke ‘kebarat-baratan’ (mereka menyebutnya “international name”); atau
·         nama yang ‘ke-india-indiaan‘ (konon “kembali ke Hindu murni yang berpusat di India”)

Yang mungkin menjadi aneh bagi masyarakat di luar Bali terutama yang pernah tinggal lama di Bali adalah adanya kecenderungan untuk tidak menggunakan “I” atau “Ni” di depan nama, sehingga namanya menjadi: Made Joddie Sijatmika, Luh Cyntia Nugraha, Ayu Michelle Arianta, Putu Ambrose Kusuma, atau Nyoman Sri Siva Kemala Devi, Ida Bagus Krishna Aditama, Anak Agung Istri Vedayanti Uttari.
Nama Orang Luar ( life.viva.co.id )
Yang tak kalah menariknya, dahulu banyak orang tua yang dipanggil dengan menggunakan nama si kecil (anaknya), misalnya: I Gede Batur yang punya anak perempuan Ni Ronji  dipanggil “Pan Ronji”, dan istrinya dipanggil “Men Ronji”.

Sekarang kebalikannya; nama Ayah atau keluarga besar (biasanya yang paling terkenal) yang dijadikan nama belakang oleh si anak, atau nama suami yang dijadikan nama belakang oleh si Istri layaknya ‘family name’ dalam budaya barat. Misalnya: Ayu Michelle Arianta di atas adalah puterinya yang terhormat bapak anggota dewan I Putu Arianta, S.Sos, MM. Dahulu Bali tidak mengenal istilah “nama keluarga (besar)”, sekarang kenal.

Ciri khas nama orang Bali, kini, nyaris tak berbekas kecuali Putu, Wayan, Made, Nyoman, Nengah, dan Ketut yang masih digunakan, itupun tanpa “I”  atau “Ni” di depannya. Konon, menurut pendapat sebagian orang, “supaya kelak si anak siap menyongsong era globalisasi.” Semoga.   

4. Perubahan Bahasa 
Sepuluh tahun lalu kita masih sering mendengar percakapan, di warung-warung atau terminal, yang menggunakan bahasa Bali murni tanpa dicampur dengan bahas lain. Saat ini, sulit ditemukan. Satu-satunya wilayah dimana bahasa Bali cukup sering digunakan hanya di desa-desa, itupun sudah bercampur-campur, sejak siaran sinetron TV nasional mulai merambah hingga ke pelosok-pelosok. Sebagian besar masyarakat Bali sudah lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia.
  Bahasa Bali (www.babadbali.com)
Beruntung karena sampai saat ini sekolah masih mengajarkan bahasa Bali, meskipun dalam porsi waktu yang sangat minimal. Disamping masalah efektifitas (berbahasa Bali konon “ribet”), banyak juga yang beralasan bahwa menggunakan bahasa Indonesia bisa meminimalkan kesalahan dalam menggunakan bahasa ‘sor-madia-singgih’.

5.  Perubahan Busana
Dahulu, yang namanya ‘kamen’ (kain) adalah pakaian sehari-hari. Saat ini kamen hanya digunakan dalam acara-acara tertentu seperti: persembahyangan atau upacara dan upakara adat. Selebihnya, pria dan wanita Bali sudah seperti layaknya pria dan wanita modern—memakai celana panjang atau pendek.
Pakaian Bali (myerdece.blogspot.com)
Dahulu, pakaian adat Bali menggunakan pakem tertentu, setiap detail pakaian mengandung makna simbolis.  Sekarang, pakaian pengantin pria Bali misalnya, sudah sulit dibedakan dengan pakaian adat Sumtera yang menggunakan ‘Baju Bodo’ atau boleronya Aziz Gagap di acara OVJ. Sudah jauh dari pakem aslinya.

Perubahan ini, tentu tak lepas dari proses industrilisasi secara umum dimana makin cepat perubahan, makin pendek siklus, makin tinggi permintaan, makin banyak yang bisa diproduksi, makin banyak uang mengalir ke dalam rekening.  

6. Perubahan Makanan dan Minuman 
Selera makan orang Bali juga sudah banyak mengalami perubahan. Makanan khas Bali biasanya pedas, banyak merica dan rempah. Sekarang sudah tidak ada bedanya dengan masakan jawa atau padang, cenderung manis atau sedang. Itupun belum cukup bagi masyarakat Bali saat ini; dagang bakso dan soto selalu lebih ramai dibandingkan dagang nasi lawar atau siobak Buleleng. Ini jelas representasi dari pergeseran selera makanan.
Be Guling dan Lawar
Yang namanya ‘berem’, sudah langka. Selera minum orang Bali saat ini adalah beer atau wine. Dahulu orang Bali tak kenal yang namanya ‘kebab turki’ atau ‘sashimi’. Sekarang, gerai makanan cepat saji seperti ini telah menjamur dan selalu dipadati oleh masyarakat Bali.     

7. Perubahan Gaya Hidup dan Pergaulan 
Mata pencaharian dan profesi yang berubah juga berakibat pada perubahan gaya hidup. Aktivitas dan kehidupan masyarakat Bali di jaman dahulu yang lebih banyak berada di sekitar desa dan balai banjar kini sudah jauh bergeser.
Be Guling dan Lawar
Atu Aji, Gung Aji dan Pak De yang dahulu selalu punya waktu untuk mekekawin di balai Banjar, kini sudah lebih sering nongkrong di “Kudeta” atau “Blue Eyes” untuk entertain relasi bisnis. Pak Wayan, Pak Made dan Pak Ketut yang dahulu sering main Arja sekarang sudah sibuk seminar ini-itu dan sosialiasi ini-itu, untuk menggalang simpati, suara dan dukungan pileg dan pilkada.

Atu Biyang dan Bik I Luh yang dahulu sering terlihat ‘nyait tamas’, kini lebih sering pergi ke pusat-pusat perbelanjaan, butiq atau SPA. Gus Tu, Gung De dan Yan Ajus yang dahulu rajin megambel sekarang sudah lebih sering track-trackan di lapangan Renon atau balapa mobil gelap di Bypass Ngurah Rai ala film “Fast and Furious”. 

8. Perubahan Orientasi dan Pola Pikir 
Ada pergeseran pola pikir dan orientasi yang sangat drastis di Bali. Yang namanya ‘saling asah-asih-dan-asuh’, saat ini, hanya bisa di temukan di lontar-lontar atau acara ‘dharma wacana’ (kotbah), sulit kita temukan dalam pelaksanaan sehari-hari.
Ilustrasi
Ajakan “Lan dum pada mebedik” (=meskipun sedikit ayo kita bagi bersama) sudah kian jarang terdengar. Individualitis mendominasi kebersamaan. Keuntungan diri sendiri dan kelompok adalah segalanya. ‘Pang kuala untung’ (=yang penting untung), ‘pang kuala maan pis’ (yang penting dapat uang), ‘pang kuala menang’ (=yang penting menang), akhirnya ‘pang kuala misi kenehe’ (=yang penting segala ambisi keturutan).

Apa-apa yang penting untung. Apa-apa yang penting uang. Ketidaksanggupan ‘ngayah’ (gotong royong) misalnya, sekarang sudah bisa diganti dengan ‘dosa’ dalam bentuk uang, yang penting ‘nu maan susuk’ (=masih dapat selisih antara penghasilan dengan bayar denda). Kesibukan berupacara dan berupakara, saat ini, tidak harus mengundang banjar, sudah bisa digantikan oleh event organizer dan catering—yang penting punya uang.

Entah disadari atau tidak, kekaguman dan kepercayaan orang asing terhadap kesederhanaan pola pikir dan orientasi orang Bali saat ini, sudah jauh merosot dibandingkan dahulu. Dahulu, banyak orang asing yang mengadopsi orang Bali untuk dijadikan anak atau saudara, bahka sampai mewariskan harta bendanya. Sekarang? Jarang atau mungkin memang sudah tidak pernah ada lagi.

9. Perubahan Etika

Seiring dengan gaya hidup, orientasi, dan pola pikir, etikapun mengalami perubahan yang cukup drastis baik dari ucapan maupun perilaku. Figur seorang ‘guru’ (rupaka, pengajian dan wisesa) dahulu adalah sosok yang sangat dihormati di Bali, di dengarkan wejangan dan arahannya, dimanapun berada. Saat ini, sudah nyaris tanpa batas.
Ilustrasi (www.anneahira.com)
Guru Rupaka (ayah dan ibu) hanya terhormat bila mampu membelikan berbagai fasilitas yang diinginkan oleh anak. Guru Pengajian (guru sekolah) hanya disegani di lingkungan sekolah, di luar sekolah sudah tidak dianggap siapa-siapa. Guru Wisesa (pemerintah) hanya dihormati saat masih pegang stempel institusi menjabat. Begitu tidak berkuasa, sudah tidak dihormati lagi.

Tentu degradasi etika ini bukan salah generasi muda semata. Bagaimanapun juga mereka banyak mencontoh perilaku sang guru. Anak-anak menjadi tidak mendengar ucapan orang tua karena acapkali ucapan ayah dan ibu tidak bisa dipegang, plin-plan dan membuat pengecualian-pengecualian untuk kenyamanan diri sendiri. Kebutuhan akan kehangatan orang tua digantikan dengan benda mati. Otonan sudah digantikan dengan hadiah pesta ulang tahun di cafe, mobil dan ticket berlibur. Murid menjadi tak segan di luar sekolah karena para guru menempatkan anak didik bukan sebagai anak asuh, melainkan sebagai pelanggan yang membayar uang sekolah dalam jumlah tinggi.

10. Perubahan Agama
Bukan hanya bagian luar, perubahan drastis juga terjadi hingga ke bagian dalam, yaitu: agama.
Di kalangan orang Bali sendiri banyak yang mengkhawatirkan kemungkinan perubahan status Bali sebagai “pulau seribu Pura” sebentar lagi tinggal kenangan.
Merajan/Sanggah Ada Bunda Maria-nya
Ada 2 perubahan, dalam hal agama yang dianut oleh orang Bali, yang menonjol belakangan ini, yaitu:
  • Pertama, munculnya perbedaan sekte-sekte diantara penganut Hindu sendiri, yang kian tajam belakangan ini. Dahulu nyaris tak ada perbedaan sekte-sekte, yang ada hanya “Hindu Bali”. Kesadaran masyarakat Bali untuk konon “kembali ke Hindu murni” yang berpusat di India, justru menimbulkan sekte-sekte. Bahkan konon ada yang sampai tidak ‘mesebelan’ (berdukacita) ketika ada anggota keluarga beda sekte meninggal.
  • Kedua, adanya konversi orang Bali yang semula penganut Hindu ke non-Hindu yang juga massif terjadi di Bali. Konversi yang paling menonjol adalah dari Hindu ke Katolik dan Kristen. Konversi dari Hindu ke Islam pun belakangan ini juga kian meningkat—terutama melalui proses pernikahan.
Dahulu, bagi mereka yang ada di luar Bali, setiap orang yang menggunakan nama I Putu, I Gusti, Anak Agung, atau Ida Bagus, Ni Luh, Gusti Ayu, Agung Ayu, sudah pasti penganut Hindu. Saat ini? Belum tentu. Bali yang sekarang sudah sangat kompleks. Untuk melihat apa agama yang dianut oleh orang Bali masa kini, tidak cukup hanya mengetahui namanya, masih perlu melihat hal-hal lain, misalnya: apakah lengannya mengenakan benang ‘Tri Datu’ (gelang benang berwarna ‘merah-hitam-putih’)? Apakah pernah menggunakan ‘bija’ (bijih beras) di dahinya?

Itulah sepuluh perubahan paling drastis, dalam masyarakat Bali per 2013 ini, yang berhasil dirangkum dan dicatat oleh Pop Bali. Apakah itu perubahan positive atau negative? Apakah perlu dikoreksi atau tidak? Pop Bali hanya bisa membeberkan, anda pembaca (khususnya masyarakat Bali sendiri)-lah yang berhak menilai.
Share this post :

Post Comment

Post a Comment

 
Support : Copyright © 2015. Hindu Damai - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger
UA-51305274-1