DUMAI - Hubungan masyarakat Bali dengan masyarakat global
saat ini tidak lagi sekedar ‘guide-dan-turis’
atau ‘seniman-dan penikmat seni’, melainkan sudah berubah menjadi hubungan
antara ‘bawahan-dan-atasan’ atau ‘pedagang-dan-pelanggan’ atau
‘pebisnis-dan-partner bisnis’. Tak sedikit juga yang berupa hubungan
‘pasien-dan-dokter’ atau ‘fotografer-dan-model’ atau ‘murid-dan-guru’, bahkan
‘tetangga-dan-tetangga ekspatriat'.
Penari Bali (smansa98.blogspot.com)
Perubahan frekwensi dan intensitas hubungan antara masyarakat Bali dan masyarakat global yang kian meningkat, tidak sekedar melahirkan orang bule yang ‘ke-Bali-Balian’ dalam jumlah relative sedikit, melainkan juga melahirkan orang Bali ‘ke-bule-bule-an’ yang justru lebih banyak.
Begitu banyak perubahan dalam masyarakat Bali
belakangan ini. Ada perubahan yang menurut sebagian orang bisa jadi positive,
ada juga yang negative. Ada perubahan yang menurut sebagian orang bisa jadi
baik, ada juga yang tidak baik.
Seperti dilansir di Popbali.com merangkum perubahan-perubahan tersebut, per 2013 ini,
menjadi sepuluh perubahan yang paling drastis sehingga sangat terasa, dan layak
untuk dicatat.
Inilah “10
Perubahan Paling Drastis Dalam Masyarakat Bali Per 2013”
1. Perubahan Mata Pencaharian
Sebelum era 70an, mata pencaharian masyarakat Bali
lebih banyak sebagai petani dan sebagian kecilnya pedagang. Di era 80an, mata
pencaharian mulai bergeser ke pegawai pariwisata (pegawai hotel, travel, guide,
sopir travel, dlsb) dan pengerajin.
Belakangan ini, berbagai macam profesi di jalani oleh masyarakat Bali; mulai dari pedagang HP hingga pedagang narkoba, mulai dari pengusaha hotel hingga pengusaha café remang-remang, mulai dari calo tanah sampai calo perkara, mulai dari moderator talk show sampai key speaker seminar, mulai dari tukang parkir sampai tukang tagih (debt-collector).
Silahkan periksa status pekerjaan yang tercantum di
KTP, berapa orang yang masih mencantumkan “petani”? Hanya ada di desa-desa
sana, itupun mungkin jumlahnya sudah sangat sedikit.
2. Perubahan Aktivitas dan Etos Kerja
Dalam era dimana sebagian besar masyarakat berstatus petani, etos kerja masyarakat Bali mungkin terlihat lamban dan cenderung santai. Tentu saja, karena aktivitas bertani memang tidak bisa diburu-buru, semua memakai hitungan masa (misalnya: padi baru bisa dipanen setelah berusia 3 bulan, tidak bisa dipercepat).
Banyaknya waktu luang inilah yang membuat masyarakat
Bali, di era itu, selalu punya waktu untuk aktivitas-aktivitas berkesenian dan
melestarikan budaya (misalnya: mekekawin, megeguritan, megenjekan, megambel,
menari, main arja, ngerindik, meniup seruling, membaca lontar, dlsb). Sehingga bagi
orang di luar Bali, etos kerja
masayarakt Bali pada saat itu dianggap santai.
Etos kerja masyarakat Bali saat ini sudah berubah
drastis, menjadi super sibuk, “time-is-money” kata mereka. Perubahan ini tentu
terjadi akibat perubahan mata pencaharian yang begitu drastis dan ledakan
angkatan kerja yang mengakibatkan kempetisi menjadi begitu ketat. Libur sehari
untuk menengok upacara keluarga misalnya, jatah antrean nyupir di halaman hotel
sudah diambil-alih orang lain. Tutup kantor sekali, pelanggan sudah
marah-marah.
Sehingga, hampir sudah tidak ada waktu lagi untuk
‘menyama-braya’. Melihat orang bertegur sapa di jalanan, saat ini, adalah
kejadian langka, ajaib, atau malah dipandang aneh (“terlalu basa-basi, lebian
tutur,” kata mereka), kecuali di desa-desa yang jauh di kaki bukit sana.
3.
Perubahan Nama
Mungkin bisa diperdebatkan. Tetapi ini fakta bahwa
perubahan penggunaan nama di kalangan masyarakat Bali, dewasa ini, tergolong
drastis.
Sekarang, perubahan penamaan anak sangat drastis.
Ada 2 trend yang paling menonjol menurut Pop Bali, yaitu:
·
nama yang
mengarah ke ‘kebarat-baratan’ (mereka menyebutnya “international name”); atau
·
nama yang
‘ke-india-indiaan‘ (konon “kembali ke Hindu murni yang berpusat di India”)
Yang tak kalah menariknya, dahulu banyak orang tua
yang dipanggil dengan menggunakan nama si kecil (anaknya), misalnya: I Gede
Batur yang punya anak perempuan Ni Ronji
dipanggil “Pan Ronji”, dan istrinya dipanggil “Men Ronji”.
Sekarang kebalikannya; nama Ayah atau keluarga besar
(biasanya yang paling terkenal) yang dijadikan nama belakang oleh si anak, atau
nama suami yang dijadikan nama belakang oleh si Istri layaknya ‘family name’ dalam budaya barat.
Misalnya: Ayu Michelle Arianta di atas adalah puterinya yang terhormat bapak
anggota dewan I Putu Arianta, S.Sos, MM. Dahulu Bali tidak mengenal istilah
“nama keluarga (besar)”, sekarang kenal.
Ciri khas nama orang Bali, kini, nyaris tak berbekas
kecuali Putu, Wayan, Made, Nyoman, Nengah, dan Ketut yang masih digunakan,
itupun tanpa “I” atau “Ni” di depannya.
Konon, menurut pendapat sebagian orang, “supaya kelak si anak siap menyongsong
era globalisasi.” Semoga.
4. Perubahan Bahasa
Sepuluh tahun lalu kita masih sering mendengar
percakapan, di warung-warung atau terminal, yang menggunakan bahasa Bali murni
tanpa dicampur dengan bahas lain. Saat ini, sulit ditemukan. Satu-satunya
wilayah dimana bahasa Bali cukup sering digunakan hanya di desa-desa, itupun
sudah bercampur-campur, sejak siaran sinetron TV nasional mulai merambah hingga
ke pelosok-pelosok. Sebagian besar masyarakat Bali sudah lebih banyak
menggunakan bahasa Indonesia.
Bahasa Bali (www.babadbali.com)
5. Perubahan Busana
Dahulu, yang namanya ‘kamen’ (kain) adalah pakaian
sehari-hari. Saat ini kamen hanya digunakan dalam acara-acara tertentu seperti:
persembahyangan atau upacara dan upakara adat. Selebihnya, pria dan wanita Bali
sudah seperti layaknya pria dan wanita modern—memakai celana panjang atau
pendek.
Dahulu, pakaian adat Bali menggunakan pakem
tertentu, setiap detail pakaian mengandung makna simbolis. Sekarang, pakaian pengantin pria Bali
misalnya, sudah sulit dibedakan dengan pakaian adat Sumtera yang menggunakan
‘Baju Bodo’ atau boleronya Aziz Gagap di acara OVJ. Sudah jauh dari pakem
aslinya.
Perubahan ini, tentu tak lepas dari proses
industrilisasi secara umum dimana makin cepat perubahan, makin pendek siklus,
makin tinggi permintaan, makin banyak yang bisa diproduksi, makin banyak uang
mengalir ke dalam rekening.
6. Perubahan Makanan dan Minuman
Selera makan orang Bali juga sudah banyak mengalami
perubahan. Makanan khas Bali biasanya pedas, banyak merica dan rempah. Sekarang
sudah tidak ada bedanya dengan masakan jawa atau padang, cenderung manis atau
sedang. Itupun belum cukup bagi masyarakat Bali saat ini; dagang bakso dan soto
selalu lebih ramai dibandingkan dagang nasi lawar atau siobak Buleleng. Ini
jelas representasi dari pergeseran selera makanan.
Yang namanya ‘berem’, sudah langka. Selera minum
orang Bali saat ini adalah beer atau wine. Dahulu orang Bali tak kenal yang
namanya ‘kebab turki’ atau ‘sashimi’. Sekarang, gerai makanan cepat saji
seperti ini telah menjamur dan selalu dipadati oleh masyarakat Bali.
7. Perubahan Gaya Hidup dan Pergaulan
Mata pencaharian dan profesi yang berubah juga
berakibat pada perubahan gaya hidup. Aktivitas dan kehidupan masyarakat Bali di
jaman dahulu yang lebih banyak berada di sekitar desa dan balai banjar kini
sudah jauh bergeser.
Be Guling dan Lawar
Atu Aji, Gung Aji dan Pak De yang dahulu selalu
punya waktu untuk mekekawin di balai Banjar, kini sudah lebih sering nongkrong
di “Kudeta” atau “Blue Eyes” untuk entertain relasi bisnis. Pak Wayan, Pak Made
dan Pak Ketut yang dahulu sering main Arja sekarang sudah sibuk seminar ini-itu
dan sosialiasi ini-itu, untuk menggalang simpati, suara dan dukungan pileg dan
pilkada.
Atu Biyang dan Bik I Luh yang dahulu sering terlihat
‘nyait tamas’, kini lebih sering pergi ke pusat-pusat perbelanjaan, butiq atau
SPA. Gus Tu, Gung De dan Yan Ajus yang dahulu rajin megambel sekarang sudah
lebih sering track-trackan di lapangan Renon atau balapa mobil gelap di Bypass
Ngurah Rai ala film “Fast and Furious”.
8. Perubahan Orientasi dan Pola Pikir
Ada pergeseran pola pikir dan orientasi yang sangat
drastis di Bali. Yang namanya ‘saling asah-asih-dan-asuh’, saat ini, hanya bisa
di temukan di lontar-lontar atau acara ‘dharma wacana’ (kotbah), sulit kita
temukan dalam pelaksanaan sehari-hari.
Ajakan “Lan
dum pada mebedik” (=meskipun sedikit ayo kita bagi bersama) sudah kian
jarang terdengar. Individualitis mendominasi kebersamaan. Keuntungan diri
sendiri dan kelompok adalah segalanya. ‘Pang kuala untung’ (=yang penting
untung), ‘pang kuala maan pis’ (yang penting dapat uang), ‘pang kuala menang’
(=yang penting menang), akhirnya ‘pang kuala misi kenehe’ (=yang penting segala
ambisi keturutan).
Apa-apa yang penting untung. Apa-apa yang penting
uang. Ketidaksanggupan ‘ngayah’ (gotong royong) misalnya, sekarang sudah bisa
diganti dengan ‘dosa’ dalam bentuk uang, yang penting ‘nu maan susuk’ (=masih
dapat selisih antara penghasilan dengan bayar denda). Kesibukan berupacara dan
berupakara, saat ini, tidak harus mengundang banjar, sudah bisa digantikan oleh
event organizer dan catering—yang penting punya uang.
Entah disadari atau tidak, kekaguman dan kepercayaan
orang asing terhadap kesederhanaan pola pikir dan orientasi orang Bali saat
ini, sudah jauh merosot dibandingkan dahulu. Dahulu, banyak orang asing yang
mengadopsi orang Bali untuk dijadikan anak atau saudara, bahka sampai
mewariskan harta bendanya. Sekarang? Jarang atau mungkin memang sudah tidak
pernah ada lagi.
9.
Perubahan Etika
Seiring
dengan gaya hidup, orientasi, dan pola pikir, etikapun mengalami perubahan yang
cukup drastis baik dari ucapan maupun perilaku. Figur seorang ‘guru’ (rupaka,
pengajian dan wisesa) dahulu adalah sosok yang sangat dihormati di Bali, di
dengarkan wejangan dan arahannya, dimanapun berada. Saat ini, sudah nyaris
tanpa batas.
Guru
Rupaka (ayah dan ibu) hanya terhormat bila mampu membelikan berbagai fasilitas
yang diinginkan oleh anak. Guru Pengajian (guru sekolah) hanya disegani di
lingkungan sekolah, di luar sekolah sudah tidak dianggap siapa-siapa. Guru
Wisesa (pemerintah) hanya dihormati saat masih pegang stempel
institusi menjabat. Begitu tidak berkuasa, sudah tidak dihormati lagi.
Tentu
degradasi etika ini bukan salah generasi muda semata. Bagaimanapun juga mereka
banyak mencontoh perilaku sang guru. Anak-anak menjadi tidak mendengar ucapan
orang tua karena acapkali ucapan ayah dan ibu tidak bisa dipegang, plin-plan
dan membuat pengecualian-pengecualian untuk kenyamanan diri sendiri. Kebutuhan
akan kehangatan orang tua digantikan dengan benda mati. Otonan sudah digantikan
dengan hadiah pesta ulang tahun di cafe, mobil dan ticket berlibur. Murid
menjadi tak segan di luar sekolah karena para guru menempatkan anak didik bukan
sebagai anak asuh, melainkan sebagai pelanggan yang membayar uang sekolah dalam
jumlah tinggi.
10.
Perubahan Agama
Bukan
hanya bagian luar, perubahan drastis juga terjadi hingga ke bagian dalam,
yaitu: agama.
Di
kalangan orang Bali sendiri banyak yang mengkhawatirkan kemungkinan perubahan
status Bali sebagai “pulau seribu Pura” sebentar lagi tinggal kenangan.
Merajan/Sanggah Ada Bunda Maria-nya
Ada
2 perubahan, dalam hal agama yang dianut oleh orang Bali, yang menonjol
belakangan ini, yaitu:
- Pertama, munculnya perbedaan sekte-sekte diantara penganut Hindu sendiri, yang kian tajam belakangan ini. Dahulu nyaris tak ada perbedaan sekte-sekte, yang ada hanya “Hindu Bali”. Kesadaran masyarakat Bali untuk konon “kembali ke Hindu murni” yang berpusat di India, justru menimbulkan sekte-sekte. Bahkan konon ada yang sampai tidak ‘mesebelan’ (berdukacita) ketika ada anggota keluarga beda sekte meninggal.
- Kedua, adanya konversi orang Bali yang semula penganut Hindu ke non-Hindu yang juga massif terjadi di Bali. Konversi yang paling menonjol adalah dari Hindu ke Katolik dan Kristen. Konversi dari Hindu ke Islam pun belakangan ini juga kian meningkat—terutama melalui proses pernikahan.
Dahulu,
bagi mereka yang ada di luar Bali, setiap orang yang menggunakan nama I Putu, I
Gusti, Anak Agung, atau Ida Bagus, Ni Luh, Gusti Ayu, Agung Ayu, sudah
pasti penganut Hindu. Saat ini? Belum tentu. Bali yang sekarang sudah sangat
kompleks. Untuk melihat apa agama yang dianut oleh orang Bali masa kini, tidak
cukup hanya mengetahui namanya, masih perlu melihat hal-hal lain, misalnya:
apakah lengannya mengenakan benang ‘Tri Datu’ (gelang benang
berwarna ‘merah-hitam-putih’)? Apakah pernah menggunakan ‘bija’ (bijih
beras) di dahinya?
Itulah
sepuluh perubahan paling drastis, dalam masyarakat Bali per 2013 ini, yang
berhasil dirangkum dan dicatat oleh Pop Bali. Apakah itu perubahan positive
atau negative? Apakah perlu dikoreksi atau tidak? Pop Bali hanya bisa
membeberkan, anda pembaca (khususnya masyarakat Bali sendiri)-lah yang berhak
menilai.
Post Comment
Post a Comment