Headlines News :
Home » , , , , , » Sejarah dan Jasa-Jasa Mulia Mpu Kuturan di Bali

Sejarah dan Jasa-Jasa Mulia Mpu Kuturan di Bali

Written By Unknown on Friday, May 30, 2014 | 8:08 AM

Ilustrasi
DUMAI- Mpu Kuturan merupakan salah satu dari Panca Pandita yang tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku pahang, maduraksa (tanggal ping 6), candra sengkala agni suku babahan atau tahun caka 923 (1001M) yang berkaitan dengan Siwa Buddha yang ada di Bali, selanjutnya berparhyangan di Pura Silayukti (Padang).

Dari adanya lontar Calon Arang dapat diketahui bahwa Mpu Kuturan berasal dari Jawa Timur yaitu di suatu tempat bernama Girah, dan disanalah beliau pernah berkuasa sebagai seorang Raja. Beliau berangkat dan menetap di Bali didorong oleh tiga faktor penyebab yaitu:
     1.      Memenuhi permintaan raja suami istri Gunaprya Dharmapatni & Udayana Warmadewa yang bertahta di Bali pada tahun caka 910 sampai dengan 988 atau tahun 988M sampai dengan tahun 1011M, yang memerlukan keahlian beliau dalam bidang adat dan agama untuk merehabilitasi dan mestabilisasi timbulnya ketengangan-ketegangan dalam tubuh masyarakat Bali Aga
      2.      Karena bertentangan dengan istri beliau yang menguasai magic. Sebab itu istri beliau ditinggalkan di Jawa yang dijuluki “Walu Natheng Girah” atau “Rangda Natheng Girah” (jandanya Raja Girah)
     3.      Sebagai bhiksuka atau Sanyasa, beliau lebih mengutamakan ajaran dharma dari pada kepentingan pribadi

Kesempatan yang baik itu beliau pergunakan untuk untuk datang ke Bali, karena dorongan kewajiban menyebarkan dharma. Selain Senapati, beliau juga diangkat sebagai sebagai ketua Majelis ”Pakira kiran I Jro makabehan:, yang beranggotakan sekalian senapati dan para pandita Ciwa dan Budha. Dalan suatu rapat majelis yang diadakan di Bataanyar yang dihadiri oleh unsur tiga kekuatan pada saat itu, yaitu
     1.      Dari pihak Budha Mahayana diwakili oleh Mpu Kuturan yang juga sebagai ketua sidang
     2.      Dari pihak Ciwa diwakili oleh pemuka Ciwa dari Jawa
     3.      Dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah orang Bali Aga

Dalam rapat majelis tersebut Mpu Kuturan membahas bagaimana menyederhanakan keagamaan di Bali, yg terdiri dari berbagai aliran. Tatkala itu semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri Murti untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa.

Konsesus yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut “Ciwa Budha” sebagai persenyawaan Ciwa dan Budha. Semenjak itu penganut Ciwa Budha harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya yaitu Pura “Kahyangan Tiga” yang menjadi lambang persatuan umat Ciwa Budha di Bali.

Di Bali, Salah satu nama Tuhan adalah Sang Hyang Mbang atau Mahasunyi yang dalam agama Buddha ada istilah Sunyata. Tahun baru di Bali dirayakan dengan sunyi (sunyata). Di Bali Selatan, ada Pura Sakenan yang puncak piodalannya jatuh pada Hari Raya Kuningan. Sementara Sakenan berasal dari kata Sakyamuni. Sakyamuni nama asli Sidartha Gautama.

Mpu Kuturan sendiri adalah pendeta Buddha yang peninggalannya adalah Meru, hasil modifikasi Pagoda umat Buddha. Pada Abad ke-16, Bali mengalami masa kejayaan di bawah Raja Dalem Waturenggong. Dalam masa kerajaan itu ada penasihat spiritual yaitu pendeta Siwa-Buddha. Peninggalannya berupa Padmasana.

Tentang adanya Mpu Kuturan di Bali dapat diketahui dari 7 prasasti peninggalan purbakala, dimana disebutkan bahwa Mpu Kuturan di Bali berpangkat “Senapati”, dan prasasti-prasasti tersebut kini masih terdapat:

  1.      Di desa Srai, kecamatan Kintamani, kabupaten daerah tinggkat II Bangli, bertahun Caka 915 atau 993M
  2.      Di desa Batur, kecamatan Kintamani, kabupaten daerah tingkat II Bangli, bertahun caka 933 atau 1011M
  3.      Di desa Sambiran, kecamatan Tejakula kabupaten tingkat II Buleleng, bertahun caka 938 atau 1016M
  4.      Di desa Batuan, kecamatan Sukawati kabupaten tingkat II Gianyar bertahun caka 944 (1022M)
  5.      Di desa Ujung Kabupaten daerah tingkat II Karangasem bertahun caka 962 (1040M)
  6.      Di Pura Kehen Bangli, kabupaten tingkat II Bangli, karena sudah rusak tidak tampak tahunnya 
  7.        Di desa Buahan, kecamatan Kintamani, kabupaten daerah tingkat II Bangli bertahun caka 947 (1025M)

Sekian banyaknya prasasti sebagai fakta sejarah yang mencantumkan nama Mpu Kuturan sebagai Senapati di Bali.  Dan menurut salah satu komentar di forum diskusi jaringan hindu nusantara, adapun sekte - sekte di Bali yang dipersatukan Mpu Kuturan pada waktu pemerintahan Raja Udayana menjadi tiga, yaitu Siwa, Budha, dan Waisnawa. Kesembilan sekte itu adalah:
      1.      Brahmana
      2.      Bodha atau Sogatha
      3.      Bhairawa
      4.      Ganapatya
      5.      Pasupata
      6.      Rsi
      7.      Sora
      8.      Waisnawa
      9.      Siwa Sidantha

Silsilah Mpu Kuturan
Ida Bhatara Lingsir Hyang Pasupati menurunkan Sang Hyang Putranjaya, Sang Hyang Dewi Dhanu dan Sang Hyang Genijaya. Sang Hyang Genijaya (melinggih di Pura Lempuyang Luhur) menurunkan Panca Dewata, yaitu:
     1.      Mpu Gnijaya
     2.      Mpu Semeru
     3.      Mpu Ghana
     4.      Mpu Kuturan
     5.      Mpu Bradah

Sekedar tahu, Sanak Sapta Rsi diturunkan oleh Mpu Gnijaya yang beristrikan Ida Bhatari Dewi Manik Geni yaitu putri dari Ida Bhatara Putranjaya. Mpu Kuturan, meringkas sekte pemujaan menjadi Trimurti: Brahma, Wisnu dan Ciwa yang akhirnya dalam desa pekraman menciptakan 3 soroh pura:
     
Pura Puseh di Desa Batuan, Sukawati, Gianyar, Bali 

1.      Pura Desa : Sthana Ida Bhatara Brahma
Menitis ke Hyang Genijaya yang bersthana di Pura Lempuyang Luhur, Beliau dianggap yang menguasai hal-hal spiritual beserta sub-subnya termasuk usadha (balian).
     2.      Pura Puseh: Sthana Ida Bhatara Wisnu
Menitis ke Ida Bhatara Dewi Dhanu, Beliau Bersthana di Pura Batur, Ulun Danu. Beliau dianggap yang menguasai hal-hal kesuburan, kesejahteraan, kekayaan dan welas asih.
     3.      Pura Dalem: Sthana Ida Bhatara Ciwa
Beliau menitis ke Hyang Putranjaya, menurut penuturan Pinisepuh, Beliau belum bersthana di mana-mana tetapi sementara ini Beliau melinggih di Gunung Agung dan beliau juga dianggap yang berkuasa atas ha-hal2 kepemerintahan.

Mpu Kuturan juga melahirkan konsep pemujaan ke atas yang di wujudkan dengan Tri Purusha yaitu:
     a.       Ciwa
Disimbolkan dengan keberadaan gunung karena merupakan Sthana Dewata tertinggi di alam Bali dan gunung tersebut adalah gunung Agung yang disimbolkan sebagai Ciwa di mana pura Kahyangan Jagat Besakih didirikan sebagai pusat Leluhur Nusantara sekarang ini.
     b.      Sadaciwa
Adalah manifestasi dari Ida Bhatara Sang Hyang Ismaya atau dikenal dengan Sabda Palon atau dikenal juga sebagai Semar atau Tualen di Bali. Beliau adalah pengemong atau yang menjaga dan penasehat para Leluhur dari jaman ke jaman. Dikhabarkan bahwa sebelum Kerajaan Majapahit runtuh Sabda Palon berjanji untuk kembali lagi 500 tahun kemudian untuk membangkitkan kembali ajaran Ciwa Budha.
c.       Paramaciwa
Beliau adalah Ida Betara Lingsir Hyang Pacupati sendiri yang menurunkan umat manusia. Adalah tingkatan tertinggi dari tatanan kehidupan manusia du dunia. Perpaduan konsep horisontal (mendatar) dan vertikal (atas bawah) kalau digabungkan adalah Tapak dara, Purusha Pradhana, Rwabhineda yang disebut dengan Ardhanareswari yaitu Bapak dan Ibu atau Ciwa (bapak) dan Budha (ibu), Padamasana adalah Ciwa dan Rong Tiga adalah Budha, menjadi satu disebut Hyang Tunggal dan segala sebutan Beliau Hyang Widhi Wasa.

Karya Spiritual Mpu Kuturan
Sungguh kemampuan yang sangat luar biasa yang dimiliki oleh Beliau Mpu Kuturan. Peninggalannya tentang konsep pemujaan Ciwa Budha adalah karya spiritual yang sungguh hebat karena menyatukan kerumitan silsilah Dewata menjadi konsep sederhana yang sangat mudah untuk dipahami dan lestari sampai sekarang.

Berikut adalah karya spiritual Mpu Kuturan:
    1.      Konsep Ciwa Budha adalah yang terbesar seperti dijelaskan di atas karena menjadi acuan pemujaan seluruh umat Hindu Dharma di Nusantara.
     2.      Konsep Desa Dalem Puseh sebagai lanjutan penerapan konsep Ciwa Budha.
    3.      Konsep Catur Loka yaitu konsep mendirikan pura pemujaan pada masing-masing maksud yang terdiri dari: a). Pura Kawitan b). Pura Dhang Kahyangan c). Pura Sad Kahyangan atau Perhyangan Jagat d). Kahyanan Jagat.
    4.      Bentuk pelinggih seperti meru dan lain-lainnya adalah hasil dari penciptaan Beliau. Namun Padmasana disempurnakan lagi bentuknya oleh Dhang Hyang Niratha salah satu dari keturunan Beliau juga.

Pura-pura Karya Mpu Kuturan
         a.       Pura Besakih bersama dengan Rsi  Markandhea
         b.      Pura Silayukti di Padangbai, Karangasem adalah tempat Beliau bersemedhi dan Moksha.
        c.       Pura Batu Pageh, Desa Ungasan, Badung adalah pura yang disebut sebagai pagar Niskala alam Bali diatur dari pura ini.
         d.      Pura Samuan Tiga, adalah pura bersejarah waktu mempersatukan sekte-sekte di Bali.
         e.       Pura Sakenan, di Serangan
         f.       Pura Watu Klotok, di Klungkung
         g.      Pura Uluwatu, di Ungasan
         h.      Pura Menjangan, di Buleleng barat
         i.        Pura Ponjok Batu, di Buleleng timur
         j.        Pura Pejeng di Pejeng Gianyar

Pura Besakih
Demikianlah keputusan penting yang telah dibahas dalam Pesamuan Agung tersebut. Selanjutnya hal ini menjadi warisan tak ternilai bagi umat Hindu dan masyarakat Bali, dimana hal ini berkaitan dengan tata tertib, tata kehidupan masyarakat, dan agama. Sebab keputusan tersebut sangat cocok dengan aspirasi dan kondisi masyrakat Bali saat itu, yang kemudian melahirkan masyarakat sosioreligius, dan masih dapat dilihat sampai saat ini. Tempat Pesamuan Agung yang terletak di desa Bedahulu, Gianyar kemudian dikenal dengan sebutan Samuan Tiga yang bermakna pertemuan segi tiga, ditempat ini saat ini telah berdiri sebuah pura yang disebut pura Samuan Tiga atau pura Samuan Telu.

Dari nama itu telah memberikan kesan, bahwa disinilah paham trimurti mulai diperkenalkan dan ditegakkan, serta paham Siwa-Budha yang disatukan atas dalil yang berbunyi : “Ndatan len kira Siwa rupa Budha, maka pati urip ikang trimandala, Sang Sangkan Paraning Sarat ganal alit hita ala ayu kojaring aji, utpett, stithi, linaning dadi kita kocanani paramartha Sogatha”. Artinya : “Tiada lain Siwa yang berupa Budha, berkuasa menghidupkan sekalian makhluk penghuni tiga alam semesta, manciptakan besar dan kecil, kasar dan halus, suka dan duka, Engkau yang mengadakan ajaran agama (Dharma), yang berdasarkan nilai-nilai kelahiran, kehidupan, dan akhirnya kematian. Jadi Engkau adalah penyebab tertinggi wahai Budha”. (Prasasti Samuan Tiga)

Sejak saat itu, kehidupan masyarakan di Bali menjadi lebih tertib, aman, rukun, dan damai. Mereka saling hormat-menghormati sesuai dengan semboyan “Bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”, yang artinya walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu dalam pelaksanaan terhadap dharma atau kewajiban. Seperti keputusan di Pesamuan Agung yang diadakan di Bataanyar, dimana Mpu Kuturan yang menjadi pemrakarsanya. Peristiwa itu terjadi kurang lebih tahun 1002 M.

Pada tahun 1007 M, Mpu Kuturan atas persetujuan dari Raja/Ratu dan yang hadir pada saat Pesamuan Agung di Samuan Tiga, Bataanyar. Memberikan wewenang kepada para Bhujangga Waisnawa untuk memimpin pelaksanaan yajna baik besar maupun kecil yang diadakan di seluruh wilayah kerajaan, dan Mpu Kuturan berpesan kepada Bhujangga Waisnawa sebagai berikut : “Wahai Bhujangga Waisnawa sekalian, jangan lupa dengan junjungan dan tugas kewajiban kalian, yang disebut Tri Wisesa, sebagai pemeluhara kita, apabila kalian lalai dan lupa, kalian pun akan dilupakan oleh Sang Hyang Tri Wisesa, yang dapat membuat kita bingung karena Sang Hyang Tri Wisesa itulah sebagai sumber kita sekalian, agar kamu sekalian mengerti”.

Disamping hal tadi ada juga panjelasan Mpu Kuturan yang mengatakan pada bilamana terjadi kekeruhan di dunia, harus diadakan upacara yadna yang bernama tebasan. Upacara ini harus dipuja dan dipimpin oleh Sang Bhujangga Waisnawa. Hanya Sang Bhujangga Wausnawa yang berwenang memuja dan memimpin upacara, pangklukatan (penyucian) tersebut, bilamana terjadi kekeruhan di dunia dan alam semesta ini, termasuk yang behubungan dengan pekarangan rumah, tegalan (ladang), persawahan, dan lain-lain. Jika bukan Sang Bhujangga Waisnawa yang memimpin dan memuja upacara pangklukatan itu, maka upacara tersebut tidak akan berhasil, sebab hal tersebut merupakan tugas dari Sang Bhujangga Waisnawa. Apabila sudah dilaksanakan seperti itu, barulah Pulau Bali akan menjadi aman sentosa. Dikisahkan pula bahwa para Bhujangga Waisnawa yang berleluhur Maharsi Markandeya, ketika tiba di Bali membawa berbagai pustaka suci Weda, yang memuat ajaran suci seperti : Sruti, Smerti, Candrakarana, Kirthabhasa, Dasanama, Upanisad, Wedanta sutra, Itihasa (Ramayana dan Mahabrata), dan berbagai Purana.

Desa Pakraman Ciptaan Mpu Kuturan
Desa pakraman hasil ciptaan Mpu Kuturan, melahirkan tatanan kehidupan masyarakat, suatu wadah kesatuan dan persatuan masyarakat Bali, yang berisi tuntunan tata krama yakni suatu aturan hidup untuk menciptakan suasana kehidupan yang serasi, selaras, dan seimbang di dalam kehidupan masyarakat. Selain tatakrama juga terdapat nilai – nilai kebersamaan yaitu musyawarah untuk mufakat. Dalam desa pakraman juga diatur tentang tata ruang karena dalam kehidupan masyarakat manusia ini memerlukan kebutuhan hidup yang mencukupi, yang disebut “Panca Wa Sasaning Nithi Warga”. Yang dimaksud Panca Wa itu adalah kebutuhan pokok hidup, yang terdiri dari Wisma (perumahan), Wastra (sandang), Wareg (pangan), Waras (kesehatan), dan Waskita (pendidikan dan rekreasi). Di dalam hal ini wawasan lingkungan ditentukan, sehingga tata ruang jelas diketahui, dimana masing – masing wilayah ditetapkan tentang kegunaan dan manfaatnya, seperti misalnya : lokasi kahyangan, perumahan, bangunan umum untuk kepentingan bersama, lapangan, jalan, dan lain sebagainya. Dengan demikian, model atau corak desa di Bali, apabila mengikuti tataruang ini akan tampak ada persamaannya.


Desa Penglipuran, Bali (www.cumilebay.com)
Manusia di dalam kehidupannya membutuhkan suatu tempat tinggal sekelompok manusia yang disebut hunian. Hunian ini bukanlah merupakan sesuatu hanya dipergunakan melainkan mempunyai fungsi sebagai perekat rasa atau batin untuk memperkat hubungan sosial. Di dalam pembangunan, bukan saja merupakan kegiatan yang bersifat fisik, namun melibatkan pula hal – hal yang bersifat non fisik, melalui ritual keagamaan. Jiwa dan rasa penghuninya dikaitkan dengan setiap bangunan yang didirikan. Tataruangan suatu hunian mengikuti dan berpedoman kepada tataruang. Hunian bukan saja menampung manusia semasa hidupnya, melainkan juga manmpung manusia yang telah meninggal dunia, termasuk yang sudah tidak terwujud yaitu arwah suci para leluhur, yang distanakan di tempat khusus yaitu Sanggah atau Pemrajan.

Oleh sebab itu, antara sekala (alam nyata) dengan niskala (alam gaib) dapat dipadukan kelestariannya dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga masalah aktual dan spiritual dapat diwujudkan, disenyawakan, dan diselaraskan seperti apa yang dikonsepkan dalam ajaran “Rwa Binedha”. Persenyawaan ini harus diaktifkan malaui ritual. Melalui ritual inilah, ruang memperoleh makna dan waktu serta peristiwa sehingga pedoman yang mengatur kegiatan ini adalah suatu lingkungan yang teratur dan utuh, sebab pedoman yang terjadi berdasarkan atas kesepakatan yang diyakini bersama. Kebutuhan lingkungan akan menjadi kuat apabila mulai dari tataruang, bangunan, alat, pakaian, kelakuan sampai ritual berdasarka suatu pedoman. Begitu pula pengendalian sumber daya harus dijadikan upaya untuk menjaga keseimbangan lingkungan, termasuk di dalamnya tentang ketahanan, ketertiban, dan keamanan yang mantap, ampuh, dan terkendali.

Pada konsep tataruang yang bebudaya dan berwawasan lingkungan positif, yang ditetapkan oleh Mpu Kuturan ke dalam masyarakat Bali, dapat memberikan warna dan corak kehidupan masyarakat di daerah ini. Seperti misalnya : Triangga, Trimandala, Hulu teban, Astabhumi, Asta Kosala-Kosali, Bamakerthi, Jananpaka, dan lain sebagainya. Semua ini kemudian menjadi landasan berpijak bagi masyarakat Hindu di Bali dan pedoman di dalam setiap gerak kehidupan bermasyarakat yang dapat memperkuat rasa kebersamaan diantara masing-masing kelompok dan perorangan. Semua konsep dan ajaran Mpu Kuturan akhirnya dijadikan warisan tak ternilai bagi masyarakat Hindu di Bali, walaupun tidak sedikit pemakai konsep dan ajaran ini tidak mengetahui siapa arsitek konsep dan ajaran tersebut.

Karya lain dari Mpu Kuturan adalah berhasil memperluas dan memperbesar Pura Besakih, serta menciptakan Pelinggih Meru dan Gedong. Mpu Kuturan juga yang mengajarkan pembuatan kahyangan secara spiritual, termasuk pembuatan jenis – jenis pedagingan. Selain itu, Mpu Kuturan juga yang telah menciptakan konsep Tri Hita Karana, yang berarti tiga penyebab kebahagiaan, yaitu : Parahyangan yang berarti hubungan manusia dengan Tuhan, yang termanifestasi dalam bentuk Kahyangan Tiga, Palemahan yaitu hubungan manusia dengan alam dan lingkungan di sekitarnya tercermin dari wilayah tertorial dari desa pakraman, dan Pawongan yaitu hubungan manusia dengan sesama manusia yang tercermin dalam kramaning warga.

Guna menjaga ketentraman masyarakat Bali, Mpu Kuturan mendirikan dan menyempurnakan Pura Kahyangan Jagat yang berjumlah delapan buah, yaitu : Pura Besakih, Lempuyang, Andakasa, Goa Lawah, Batukaru, Beratan, Batur, dan Uluwatu. Selain itu Mpu Kuturanlah yang memprakarsai upacara ngenteg linggih atau yang sering disebut ngelinggihang (menstanakan) Dewa Pitara (roh suci leluhur) di sanggah atau pemrajan pada rong tiga (kemulan). Pelinggih Rong Tiga juga berlaku untuk tempat suci memuliakn Tuhan yang Maha Esa dalam fungsinya sebagai Kahyangan Tiga keluarga dalam fungsi Beliau sebagai penguasa dari penciptaan, pemelihaaran, dan pengembali ke unsur Panca Maha Butha, yang tersimbolisasi dari Dewa Brahma, Sri Wisnu, dan Dewa Siwa.

Konsep bangunan Meru yang diperakarsai oleh Mpu Kuturan disebut perlambang dari gunung Mahameru, tempat kediaman para dewa. Namun ada yang berpendapat bahwa Meru adalah perkembangan candi dari Jawa. Candi Jawa sebenarnya melambangkan alam kosmos yang dapat di bagi menjadi 3 bagian, yaitu bhur loka, yang dilambangkan pada kaki candi, bwah loka yang dilambangkan sebagai badan candi, dan swah loka dilambangkan atap candi. Di dalam perkembangannya, di Bali meru tidak hanya bertumpang 3, melainkan dari tumpang 1 sampai tumpang 11. Perlu diketahui kalau tumpang meru selalu ganjil, kecuali tumpang 2. Jadi ada tumpang 1, 2, 3, 5, 7, 9 dan 11. Kenyataan membuktikan di Bali menurut fungsinya meru dapat dikategorikan menjadi 2 jenis, yaitu sebagai dewa prathista atau pelinggih dewa dan meru selaku atma pratistha atau sebagai pelinggih roh suci. Perbedaan dari kedua jenis Meru ini terletak pada sikutnya (ukurannya) seperti ditentukan pada lontar asta kosala – kosali.

Bangunan Meru
Menurut lontar Andhabhuwana, Meru merupakan perpaduan dari Pradana tatwa dan Purusa tatwa, yang melahirkan Batur Kalawasa petak atau cikal bakal leluhur yang suci. Disebutkan pula bahwa Meru sebagai lambang Andhabhuwana atau alam semesta, sedang tumpang atapnya simbol lapisan alam. Begitu juga disebut bahwa Meru adalah simbol aksara suci Dasaktara yang menunggal menjadi Om dengan windu – windhu baik, diawali dari windhu satu sampai sebelas.

Dengan demikian Meru beratap sebelas adalah lambang dari sebelas aksara suci, simbol ekadasa dewata. Meru beratap sembilan aksara suci simbol Nawa Dewata (Sanga Dewata). Meru beratap tujuh lambang tujuh aksara suci, simbol Sapta Dewata, Meru beratap lima merupakan lambang lima aksara suci, simbol Panca Dewata. Meru beratap tiga lambang tiga aksara suci, simbol dari Tri Purusa. Meru beratap dua lambang dua aksara suci, simbol rwa bhineda atau purusa pradana. Sedangkan meru beratap satu merupakan lambang dari panunggalan seluruh aksara menjadi Om, simbol Sang Hyang Tunggal.

Mpu Kuturan, sebagaimana telah disinggung dalam beberapa sumber berupa lontar dan babad, tatkala masih di Jawa, Mpu Kuturan pernah bertahta sebagai raja yang berkedudukan di Gira dan mempunyai seorang istri serta seorang putri bernama Dyah Ratnamanggali. Namun Mpu Kuturan dan istrinya mengalami pertentangan sehingga keluarga ini menjadi retak. Konflik ini terjadi karena istrinya menerapkan ilmu hitam, yaitu menjalankan teluh teranjana, dimana ritual ini merupakan salah satu cara untuk memuja bhatari Durga demi mendapatkan kesaktian. Istrinya merupakan pengikut tantra kiri atau bhairawi. Sedangkan Mpu Kuturan menerapkan ajaran kebajikan. Oleh karena hal inilah Mpu Kuturan lalu meninggalkan istri dan anaknya untuk pergi ke Bali menerima undangan Raja Udayana Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni untuk membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh Raja suami istri ini. Walaupun pada akhirnya istrinya dikalahkan oleh adiknya sendiri yaitu Mpu Bharadah dengan siasat menikahkan Dyah Ratnamanggali dengan putranya yaitu Mpu Bahula, dimana akhirnya Rangda Girah (istri Mpu Kuturan) berhasil dikalahkan. Cerita ini sangat terkenal di Bali, dan hal tersebut tergambar dalam pementasan sendratari Calonarang, bahkan di pura pada saat pujawali, ditampilkan dalam bentuk tarian barong dan rangda sebagai perlambang kekuatan baik dan buruk, dharma dan adharma (rwa bhineda).

Untuk menghormati jasa-jasa Mpu Kuturan, maka dibuatlah pelinggih khusus untuk Beliau berbentuk Manjangan Salwang, karena kedatangan Mpu Kuturan ke Bali konon menunggangi seekor menjangan. Namun dibalik ungkapan tersebut, Menjangan Salwang dapat diartikan sebagai balai yang panjang dan luas, dimana “Manjangan” berarti panjang, “salu” berarti balai dan “wang” berarti luas. Sehingga kata Manjangan Salwang diartikan sebagai lambang dari balai yang panjang dan luas, dimana tempat itu digunakan sebagai tempat pertemuan para dewa. Selain itu Mpu Kuturan juga mendirikan tempat suci di Padang Bai, Karangasem yang bernama Pura Cilayukti, dimana “sila” berarti tingkah laku dan “yukti” berarti benar. Berarti jika diartikan yaitu tingkah laku yang benar, karena di pura inilah Mpu Kuturan mulai memimpin dan mengajarkan tingkah laku yang benar kepada masyarakat Bali. Demikianlah karya dari Mpu Kuturan di Bali, dimana hal ini masih dapat dilihat hingga sekarang sebagai salah satu warisan penting bagi masyarakat Hindu di Bali. Hal ini menjadi ciri khas dari kebudayaan Bali yang sosio religius.

Share this post :

Post Comment

+ komentar + 6 komentar

October 22, 2015 at 2:50 PM

kisah perjalananya di rangkum di sini gak bli?

October 5, 2017 at 2:00 PM

Sangat bermanfaat untuk menambah pengetahuan..trimakasih gan.......

jangan lupa mampir di web saya ya......

- Jual Penirum Di Bali

- Agen Penirum Di Bali

- Distributor Penirum Di Bali

- Toko Penirum Di Bali

- Alamat Penirum Di Bali

February 15, 2018 at 6:49 AM

ayo bergabung dengan saya di (D(E(W-A)P)K)
menangkan uang jutaan rupiah dengan menguji keberuntungan kalian
hanya dengan minimal deposit 10.000
untuk info lebih jelas segera di add saja pin bb kami D87604A1
ditunggu lohhh add nya... terima kasih waktu nya :* :*

June 23, 2018 at 5:54 AM

http://reretaipan88.blogspot.com/2018/06/asiataipan-taipanqq-taipanbiru-dalam.html

Taipanbiru
TAIPANBIRU . COM | QQTAIPAN .NET | ASIATAIPAN . COM |
-KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID terbaik nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
1 user ID sudah bisa bermain 8 Permainan.
BandarQ
AduQ
Capsasusun
Domino99
Poker
BandarPoker
Sakong
Bandar66

Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• WA: +62 813 8217 0873
• BB : E314EED5

Daftar taipanqq

Taipanqq

taipanqq.com

Agen BandarQ

Kartu Online

Taipan1945

Judi Online

AgenSakong

October 1, 2018 at 5:03 AM

ayo segera bergabung dengan kami hanya dengan minimal deposit 20.000
dapatkan bonus rollingan dana refferal ditunggu apa lagi
segera bergabung dengan kami di i*o*n*n*q*q

September 8, 2020 at 8:40 PM

suka sekali membaca sejarahnya

teknik pengolahan bahan pangan

Post a Comment

 
Support : Copyright © 2015. Hindu Damai - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger
UA-51305274-1