DUMAI – Fenomena terjadi atas nama peningkatan
pariwisata, pemerintah dan pengusaha berkolaborasi menyulap kawasan menjadi
hotel, restoran sampai beragam fasilitas pendukung di Bali. Lingkungan dan
wargapun banyak terancam dengan ide menjadikan kawasan ‘keren’ ini. Namun,
konsep berbeda dilakukan empat desa pada tiga kabupaten di Bali ini. Mereka
membuat jaringan wisata berkelanjutan dan berharap menikmati kue manis
pariwisata, sekaligus berusaha menjaga melestarikan lingkungan.
Sawah milik petani menjadi salah
satu keindahan desa bagi turis yang datang (www.mongabay.co.id)
Desa-desa
yang tergabung dalam Jaringan Ekowisata Desa (JED) ini adalah Tenganan dan
Sibetan (Kabupaten Karangasem), Plaga (Kabupaten Badung), dan Nusa Ceningan
(Kabupaten Klungkung).
Sejak
2002, keempat desa mengelola ekowisata yang menjadi pariwisata alternatif juga
upaya menyelamatkan lingkungan. Desa-desa ini didampingi lembaga swadaya
masyarakat (LSM) Yayasan Wisnu. JED dikoordinir dari kantor mereka di
Kerobokan, Kuta Utara dan dikelola dengan manajemen profesional.
“Pemilik
JED warga desa seperti kami. Sejak awal kami bersama Yayasan Wisnu merencanakan
dan menjalankan ekowisata desa,” ujar I Nyoman Sujana, warga Banjar Dukuh, Desa
Sibetan, Kecamatan Bebandem, Karangasem seperti dikutip mongabay.co.id, Senin (16/2).
Perencanaan
itu, katanya, termasuk membuat peta dan tata ruang desa hingga warga bisa
membuat zonasi, bagian mana boleh pariwisata dan tidak. Papan itu ditempel di
desa sebagai panduan warga termasuk keperluan pariwisata.
Di
Banjar Dukuh, terdapat sekitar 150 hektar lahan dengan 90% kebun salak.
Kebun-kebun itulah yang menjadi daya tarik utama turis di desa berjarak sekitar
70 km dari Denpasar ini.
Dalam
pariwisata berkelanjutan ini, turis diajak menikmati produk andalan desa itu,
misal Plaga terkenal dengan kopi organik, dan Tenganan sebagai desa tua atau
Bali Aga. Lalu, Nusa Ceningan sebagai wisata pantai. Komoditas-komoditas
itulah, obyek utama ekowisata masing-masing desa.
Menurut
Sujana, ekowisata merupakan pariwisata untuk melestarikan lingkungan Bali.
Dalam pariwisata massal, banyak alih fungsi lahan misal kebun atau sawah
berganti jadi hotel dan vila. Kepemilikan lahan berpindah tangan. “Dalam
ekowisata, banyak hal harus diikuti seperti tidak boleh membangun hotel di
kawasan tertentu, menggunakan alam, serta tidak mengejar keuntungan semata,”
katanya.
Empat
desa ini pun ada aturan, bahwa warga
lokal tidak boleh menjual tanah kepada pihak lain. Dengan begitu, mereka berusaha
anak cucu tidak tergusur dari desa sendiri.
Meskipun
berjalan sekitar 13 tahun, program JED ini masih samar-samar terdengar di
antara gemerlap pariwisata Bali. Contoh, turis tiap tahun fluktuatif. Lima
tahun terakhir naik turun, pada 2010 ada 325 wisatawan, 2011 (329), 2012 (444),
2013 (438), dan tahun lalu 360 0rang. Jumlah ini, sangat kecil dibandingkan
turis berkunjung ke Bali 2014 hampir 3,5 juta. Tak hanya itu, perhatian dan
dukungan pelaku industri pariwisata di Bali juga minim. Seharusnya, ada
kolaborasi antara industri pariwisata terhadap ekowisata ini.
“Saya
kira sejauh ini masih belum signifikan karena orang-orang yang memiliki kesadaran
pengelolaan ekowisata belum banyak. Kita sudah dari 2002 sampai sekarang terasa
bergerak sendiri.”
Tantangan
paling sulit, katanya, mengubah pola pikir dan pengorbanan waktu untuk
mengembangkan ekowisata ini. “Seharusnya, pemangku kebijakan, pelaku pariwasata
yang mengeruk keuntungan di Bali dan masyarakat memiliki visi dan tujuan sama
bagaimana mengelola pulau kecil ini bisa sustainable in any way.”
Menurut
dia, seharusnya, hotel-hotel besar di Bali mendampingi ekowisata desa, misal,
lewat dana tanggung jawab sosial. Hotel-hotel besar bisa memasarkan ekowisata
desa hingga budaya dan pelestarian alam desa menjadi hidup.
Post Comment
Post a Comment