DUMAI -
Pemahaman konsep ke-Tuhan-an dalam ajaran Sanatana Dharma, bisa dianalogikan
seperti memahami Matahari (Surya) dan cahaya yang dipancarkannya secara statik,
dimana kita tahu bahwa cahaya (sinar) yang terdekat dengan sumbernya memiliki
energi cahaya yang sangat besar. Semakin jauh maka semakin kecil energinya dan
kekuatan cahayanya, hingga pada batas tidak terjangkau sinar alias menuju
KEGELAPAN.
Ilustrasi (FB: Puskor Hindunesia)
Untuk
memudahkan ilustrasi tersebut, sebuah gambar ilmiah tentang Spektrum Cahaya
Sinar Matahari, mulai dari Sinar Kosmis sampai pada Gelombang Radio (lihat gambar-1). Dari gambar tersebut
kita bisa andaikan bahwa Brahman (Parama Atman) adalah sumber dari cahaya
itu sendiri atau inti dari Matahari. Kemudian pada tingkat dibawahnya adalah
Dewa dengan spektrum konstan yang memiliki energi kekal sebagai manifestasi
dari Brahman. Berikutnya diikuti oleh spirit-spirit suci yang bisa kita lihat
dalam pandangan mata bathin kita sebagai warna merah, jingga, kuning, hijau,
biru, abu-abu, sampai ke ungu dengan degradasi yang lebih terperinci seperti
dalam gambar-2. Semakin ke arah ungu, berarti spirit itu semakin kuat dengan
kekuatan Dewa (Div, sinar Brahman).
Nah,
kita tidak bahas mengenai detail dari ilustrasi rangkaian spirit yang ada pada
semesta ini, sesuai posisi spirit (loka) masing-masing seperti yang tergambar
dalam analogi spektrum itu. Kita sebagai manusia (yang memiliki energi yang
kecil dan dibungkus oleh karma dan awidya) menjadikan kita berbeda dengan
spirit-spirit suci ataupun Dewa itu sendiri. Sehingga kita berada jauh dari
sumber cahaya itu sendiri. Sehingga apa yang menjadi tujuan kita adalah MENYATU DENGAN SUMBER ITU (Mokshartham) melalui SIKLUS PANTULAN setiap kali kita
mengumpulkan energi PANTULAN dalam
kehidupan kita.
Semakin
banyak kita melakukan SUBHA KARMA
(perbuatan baik), maka akan semakin ringan kita dan semakin BESAR DAYA DORONG kita untuk melakukan LOMPATAN kembali. Begitu juga
sebaliknya, semakin besar kita melakukan ASUBHA
KARMA (perbuatan buruk - gelap), maka beban kita akan semakin BERAT, bahkan BISA AKAN MENJADI gerakan MUNDUR
atau ke spektrum yang lebih rendah. Ini alasan kenapa kemudian dalam kitab suci
kita, disebutkan bahwa kita pun bisa "NUMITIS"
(ber-reinkarasi) menjadi bukan manusia lagi, saat KARMA BURUK kita lebih dominan.
Kembali
ke hari suci Kuningan, kata dasarnya adalah KUNING, yang bisa kita analogikan sebagai gambaran spektrum cahaya
warna kuning sebagai tempat roh suci (spirit suci) para leluhur (dalam analogi
cahaya Matahari). Pada hari yang kita sucikan ini, kita mohonkan agar Beliau
bisa hadir ke bumi. Dengan menggunakan sarana ritual yang kita yakini sebagai
sarana untuk menghadirkan Beliau, kita tunjukkan puja bhakti kita. Selain itu,
kita juga telah lakukan ritual untuk memberikan JALAN secara eksplisit melalui rangkaian hari suci Galungan. Yang
bisa kita andaikan sebagai jalan TOL,
dimana jalan TOL tersebut untuk
tempat jalan "tedunya" spirit suci itu, yang sudah kita "yasa"-kan dari jauh hari.
Saat
inilah waktu yang tepat bagi kita untuk melakukan puja bhakti kehadapan Beliau
sebagai manifestasi dari Brahman juga yang dekat dengan kita dan masih sebagai
spirit yang bisa kita manusiakan dan bayangkan. Kita juga sering mendengar
bahwa "pemuspan" hari suci
Kuningan tidak boleh lewat dari tengah hari (kali tepet).
Hal
ini sangat masuk akal karena spirit suci adalah spirit dharma (terang) yang
memiliki cahaya penerang dan energi tambahan untuk "damuh" (manusia) Beliau. Sehingga proses lewatnya spirit itu
akan sangat mudah pada saat terang masih ada, atau sinar matahari masih pada
tingkat menguntungkan dan aman. Ini juga kita ketahui kalau pagi hari (sebelum
kali tepet) kita berjemur akan sangat berbeda dengan setelah kali tepet.
Tarikan energi kegelapan (malam) akan sangat kuat menjadikan manusia akan mudah
tergoda oleh energi tersebut.
Pada
intinya, kehidupan kita adalah siklus perputaran perbaikan kualitas spirit agar
menjadi spirit yang lebih baik hingga mendekati atau sama dengan Brahman.
Sumber dari segala sumber spirit. Perbaikan kualitas spirit itu tentunya
dilakukan dengan Catur Marga yang sudah kita kenal, dimana secara prinsip kita
melakukan lebih banyak SUBHA KARMA
(perbuatan baik) sesuai dengan swadharma kita masing-masing. Perlu siklus waktu
yang berbeda-beda antar satu manusia dengan manusia yang lainnya, tergantung
dari KARMA yang dia perbuat.
Selamat
hari suci Kuningan, semoga kita bisa dapat "kauningan" dari spirit suci itu dan tetap diberikan energi
kuning sebagai bentuk penguatan spirit kita di dalam.
Artikel dikutip dari halaman Facebook Puskor Hindunesia, Sabtu (27/12).
Post Comment
Post a Comment