DENPASAR, DUMAI – Sekolah
merupakan tempat bagi seorang anak untuk menimba ilmu dan mengasah kecerdasan. Selain
itu juga sebagai tempat belajar budi pekerti, moral dan nilai-nilai luhur
lainnya. Lalu apa jadinya jika moral anak didik justru terancam rusak akibat
buku bahan ajar yang isinya tidak mendidik dan mengandung kata-kata tak
bermoral?
Mirisnya
bagi orang tua di Bali, khususnya di Kabupaten Badung, kata tak bermoral itu
justru terdapat pada buku pelajaran Bahasa Bali pelajaran yang mati-matian
diperjuangkan oleh berbagai kalangan agar tidak dihapus dari kurikulum.
Pada
halaman 38 buku Pendamping Materi “Sekar Tunjung” Bahasa Bali untuk
siswa Kelas 2 SD Semester Ganjil berisi soal latihan dalam format pilihan
ganda. Soal nomor 10 pada latihan tersebut berbunyi:
“I meme … ngajak I bapa.”(=Ibu… dengan
ayah)
Lalu,
dibawahnya tersedia pilihan jawaban, sebagai berikut:
a. manyama (=bersaudara)
b. makurenan (=bersuami-istri)
c. mamitra (=berselingkuh)
Berikut
adalah foto soal tersebut:
Soal No. 10 jawaban c tertulis “mamitra”, Buku Pendamping Bahasa Bali "Sekar Tunjung" untuk Kelas 2 SD Semester Ganjil (popbali.com) |
Pertanyaannya:
Apa perlunya menyertakan kata “mamitra”
(=berselingkuh) pada pilihan jawaban?.
Perlu
disadari, rasa penasaran anak usia 8 tahun (Kelas 2 SD) sedang
tinggi-tingginya. Segala hal yang baru dikenalnya akan ditanyakan kepada orang
tuanya. Saat mencoba latihan di atas misalnya, kemungkinan mereka akan bertanya
kepada orang tuanya: Apa itu menyama?
Dan, apa itu makurenan?
Dengan
pertanyaan itu, biasanya orang tua yang mendampingi si anak belajar perlu
menjelaskan makna dari masing-masing kata tersebut dan mungkin juga perlu
disertai contoh.
Lalu,
apa yang harus dijelaskan oleh orang tua ketika si anak menanyakan arti kata “mamitra”? Apakah bilang “selingkuh”?
Lalu bagaimana menjelaskan makna kata “selingkuh?” Bagaimana memberikan contoh mamitra atau selingkuh?. Kebingungan
itulah yang dialami oleh Ibu seorang anak kelas 2 yang bersekolah di salahsatu
SD di Desa Benoa, Badung, Bali.
Apa
yang ada dalam pikiran penyusun buku ini? (Catatan:
Penulis sengaja tidak sebutkan nama penyusun dan penerbitnya. Silahkan periksa
buku Bahasa Bali “Sekar Tunjung” putera/puterinya.)
Katakanlah
tidak disengaja. Lalu, mengapa yang muncul pertamakali dalam kepala penyusun
adalah kata “mamitra”? Mengapa bukan
“matunangan” atau mungkin “mamisan”? Sudah serusak itukah moralnya?
Fenomena
selingkuh alias mamitra mungkin sudah
kian jamak di dalam masyarakat belakangan ini. Namun, apakah kelumrahan orang mamitra perlu diperkenalkan dan
ditanamkan pada benak anak-anak kita yang usianya masih begitu dini? Apa yang
ada dalam benak mereka bila kita jelaskan dan berikan contoh?
Yang
sulit kita bayangkan, apakah soal ini dibahas di sekolah? Jika iya, lalu
bagaimana guru Bahasa Bali menjelaskannya? Mengapa tidak disampaikan kepada
penyusun dan penerbitkanya agar segera direvisi, setidaknya harus dipastikan
agar tidak muncul lagi soal yang sama dan sejenisnya pada cetakan berikutnya.
Jangan sampai moral anak-anak kita rusak gara-gara kata-kata yang mencerminkan
perilaku tak bermoral seperti ini.
Tidak
hanya itu, saat menemukan soal seperti demikian mestinya guru segera memeriksa
semua kata dan kalimat dalam buku ini dan buku-buku lain yang disusun oleh
orang yang sama. Lalu menyampaikannya kepada kepala sekolah untuk diteruskan ke
Diknas setempat. Atau, mungkinkah guru juga menganggap “mamitra” (=selingkuh)
sebagai fenomena yang lumrah dalam masyarakat thus dianggap pantas-pantas saja
jika diperkenalkan pada anak kelas 2 SD ?
Seyogyanya,
jangan ijinkan penyusun buku ini menyusun buku apapun lagi, entah itu bahasa
Bali atau buku-buku lainnya. Selebihnya juga kita berharap agar para guru di
sekolah (dari tingkat dasar hingga menengah) lebih peka lagi terhadap hal-hal
seperti ini. Terlebih-lebih isi buku yang diajarkan kepada anak-anak yang masih
duduk di bangku SD, seperti dilansir Popbali.com, Jum'at (3/10).
Post Comment
Post a Comment