DUMAI - Hari suci Tumpek Wayang merupakan hari suci bagi
umat Hindu khususnya di Indonesia. Pada hari itu diupacarai berbagai jenis
alat-alat tetabuhan atau reringgitan seperti gong, gender, gambang, genta,
gendongan termasuk wayang. Pemujaan ditujukan kepada Tuhan dalam manifestasi
sebagai Hyang Iswara.
Wayang Bali ( www.pesantrenglobal.com ) |
W. Watra dalam buku Filsafat Wayang dalam Panca
Yadnya menyebutkan wayang berkisar pada masalah bayangan. Bicara masalah
bayangan, harus ada cahaya. Berbicara masalah cahaya harus ada sumber cahaya.
Sumber cahaya paling hakiki adalah Tuhan yang di Bali dikenal sebagai Hyang. Karenanya,
menurut Watra, wayang adalah bayangan akibat adanya sinar, antara gelap dan
terang (rwa bhineda). Wayang ada karena cahaya dari Hyang (Tuhan).
Dari pandangan itu, Tumpek Wayang dapat dimaknai
secara lahir dan batin. Menurut I Gusti Ketut Widana, secara lahir Tumpek
Wayang merupakan bentuk permohonan bagi mereka yang menjalani profesi
pewayangan sehingga dapat menjadi dalang metaksu yang mampu menjembatani alam
wayang yang abstrak ke dalam alam nyata melalui pementasan tokoh-tokoh
pewayngan yang dipertontonkan untuk diambil nilai-nilai tuntunannya.
Secara batin, melalui perayaan Tumpek Wayang kita
akan selalu disadarkan bahwa hidup ini sebenarnya merupakan sebuah panggung
wayang. Keberadaan kita, peranan yang didapat dan dilakukan dan ke mana
akhirnya tujuan kita sudah diatur dan ditentukan oleh sang Dalang Agung yakni
Hyang Widi.
"Karena itu, kita diingatkan terus untuk
senantiasa mendekatkan diri pada Hyang Widhi agar memperoleh jagadhita dan
moksa, kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin," urai Widana seperti dilansir Balisaja.com , Minggu (14/9).
Selain itu, masih menurut Widana, Tumpek Wayang juga
sejatinya mengajak umat untuk selalu bercermin pada wayang dengan segala tokoh
dan perannya. Apakah kita seperti Dharmawangsa, Arjuna, Bima atau masih seperti
Sekuni, Duryadana. Bercermin pada wayang itu penting untuk memperbaiki citra
diri atau menyempurnakan karma masing-masing.
IBG Agastia dalam kumpulan tulisannya, Wija Kasawur
menulis, dengan menonton wayang sesungguhnya kita dapat menonton diri kita,
kita dapat menghadirkan diri kita di hadapan kita. Makna pertempuran antara
Rama dengan Rawana, Pandawa dengan Korawa, antara dharma dengan adharma, susila
dengan asusila sesungguhnya adalah pertempuran yang terjadi dalam diri kita,
pertempuran yang tak henti-hentinya.
Karenanya, dapat dimengerti mengapa kemudian wayang
mendapat posisi terhormat dalam kebudayaaan Hindu di Nusantara. Wayang menjadi
salah satu sarana "pembebasan" diri. Di kalangan masyarakat
Indonesia, wayang memiliki fungsi ruwat. Terlebih lagi di Bali, wayang menjadi
sarana penyucian yang penting. Wayang, khususnya wayang lemah merupakan salah
satu bagian penting wali dalam setiap karya berskala besar. Begitu juga anak
yang lahir pada wuku Wayang akan di-bayuh dengan tirtha penglukatan wayang.
I Gusti Ketut Widana sendiri melihat setiap
perangkat dalam pementasan wayang memiliki makna tersendiri. Kelir wayang
merupakan simbol ruang, alam permukaan bumi sebagai lambang badan jasmani yang
akan menampakkan bayangan hari dan menggambarkan gejolak Tri Guna. Lampu
belencong melambangkan matahari yaitu sinar hidup yang terpancar dari Hyang
Widhi dan juga merupakan sinarnya Jiwatman yang memberikan sinar kepada Tri
Guna. Dalang merupakan simbol dari bayangan Hyang Widhi yang berkuasa atas
segala tokoh dan peran yang dimainkan manusia. Dalang juga merupakan jiwatma
yang memberikan sinar/kekuatan melalui suksma sarira sehingga sthula sarira
menjadi hidup dan dinamis.
Wayang sendiri tidak lain sebagai lambang dari
makhluk-makhluk ciptaan-Nya, amnusia, hewan dan tumbuh-tumnbuhan, masing-masing
menjalani proses lahir, hidup dan mati sesuai kehendak-Nya. Gedong (tempat
wayang) sendiri merupakan simbol Tri Kona (lahir, hidup, mati). Gender yang
mengiringi pementasan wayang merupakan simbolik irama dinamis dari perjalanan
zaman, juga merupakan suara suksma tentang kehidupan dan kematian.
Post Comment
Post a Comment