DUMAI
– Dalam 30
wuku yang ada dalam tradisi pawukon Bali, wuku Wayang tergolong memiliki
kekhususan tersendiri. Betapa tidak, hari-hari dalam wuku Wayang dianggap leteh
(kotor). Menurut Dra. Ni Made Sri Arwati dalam buku Upacara Upakara Agama Hindu
Berdasarkan Pawukon, wuku Wayang merupakan saat bertemunya Sang Wayang dengan
Sang Sinta. Hal ini mengacu kepada isi lontar Sundarigama.
Ilustrasi (www.redbubble.com ) |
"Tidak dibenarkan melakukan
penyucian diri, terutama pada hari Jumat Wage Wuku Wayang," kata Sri
Arwati.
Penekun lontar, Drs. IB Putu Sudarsana,
MBA., M.M., menambahkan hari Jumat Wage merupakan titik puncak dari kekotoran
dunia (rahina cemer). Lazim disebut dengan istilah dina kala paksa.
"Saat itu umat Hindu tidak
diperkenankan mencuci rambut atau keramas. Bagi para wiku juga tidak
diperkenankan memuja," jelas Sudarsana.
Sudarsana kemudian memberi penjelasan
mengapa hari dina kala paksa dianggap sebagai hari paling kotor. Menggunakan
pendekatan Tattwa Samkya, Sudarsana menguraikan wuku Wayang memiliki urip 4,
hari Jumat (Sukra) memiliki urip 6, dan wara Wage memiliki urip 4. Jika ketiga
urip itu dijumlahkan, didapat angka 14. Angka 14 terdiri dari angka 1 dan 4,
yang jika dijumlahnya menjadi 5.
Angka 5 tersebut, dalam pemahaman
Sudarsana merupakan simbol dari kekuatan panca maha bhuta (lima unsur pembentuk
tubuh). Karenanya, dina kala paksa merupakan hari yang dikuasai kekuatan panca
maha bhuta sehingga menjadi puncak hari kotor. Saat itu kekuatan Kala
dinyatakan sedang memuncak.
Untuk menetralisir kekotoran pada dina
kala paksa, lontar Sundarigama mengamanatkan untuk mengoleskan kapur sirih pada
ulu hati. Olesan kapur sirih itu berbentuk tampak dara (tanda silang).
Selain itu, menurut Sudarsana, umat
juga disarankan memasang sesuwuk (semacam penanda). Sesuwuk tersebut terbuat dari
daun pandan berduri, dipotong-potong yang panjangnya 5 cm. Selanjutnya diolesi
kapur sirih berbentuk tampak dara (silang). Sesuwuk dibuat sebanyak bangunan
suci dan rumah yang dimiliki.
Daun pandan tersebut dialasi dengan
sebuah sidi serta diisi juga sebuah takir berisi kapur sirih dan benang tri
datu sepanjang dua jengkal, lengkap dengan canang sari. Di dalam sidi diisi
sebuah takir lagi lengkap dengan tri ketuka (mesui, kesuna, jangu) yang telah
digerus.
Semua sesuwuk itu, menurut Sudarsana,
sarat dengan makna. Daun pandan berduri disebutnya sebagai simbol kekuatan
Kala, serta dioles dengan kapur sirih sebagai simbol kekuatan dharma. Tanda
tapak dara merupakan simbol kekuatan swastika untuk mengembalikan adharma
menuju dharma.
Daun pandan yang dikumpulkan menjadi
satu kemudian diikat dengan benang tri datu serta dialasi sidi merupakan simbol
permohonan ke hadapan Hyang Widhi agar dianugerahkan kesidhian, sabda, bayu dan
idep sehingga bisa memiliki kekuatan religiomagis dalam mengembalikan kekuatan
kala tersebut ke sumbernya. Semua menjadi Kala Hita, untuk bisa memberikan
kesejahteraan alam semesta.
Keesokan harinya, sesuwuk itu dibuang
ke lebuh (di depan pintu gerbang rumah). Lebuh merupakan simbol nistaning
mandhala serta menjadi menjadi simbol sapta patala, sorganya Kala. Ini berarti
mengembalikan Kala ke asalnya.
Jika dicermati, wuku Wayang memberi
pesan penting tentang bagaimana semestinya manusia berdamai dengan waktu
(kala). Hari-hari wuku Wayang yang berpuncak pada Tumpek Wayang mengingatkan manusia
betapa yang tak bisa dikalahkan adalah sang Waktu. Jika orang tak memahami
hakikat waktu, maka waktulah yang akan menyantapnya, menelannya.
Pesan ini semakin jelas tertangkap pada
mitologi Sang kala memburu Sang Kumara. Karena diburu Sang Kala, Sang Kumara
memilih bersembunyi di bumbung gender sang Dalang. Cerita ini mengandung makna
jika seseorang tak ingin ditelan waktu, dia harus meminta perlindungan kepada
Sang Dalang Agung, Tuhan Yang Maha Esa. Tempat berlindung di bumbung gender
mengisyaratkan pesan agar manusia mengikuti irama dinamis dari perjalanan zaman
dalam hidup dan kehidupannya. Sederhanya, berkarmalah sesuai swadharma dan
berdamai dengan Sang Kala.
Post Comment
Post a Comment