Akulturasi Pura dengan Rumah Adat Suku Karo |
DUMAI- Perjuangan umat Hindu Karo untuk
mempertahankan eksistensinya berlangsung dalam suasana sunyi dan hadangan
mayoritas. Barangkali di luar Sumatra Utara, tidak ada yang tahu, bahwa di
Tanah Karo ada komunitas Hindu, yang sudah hidup di sana sejak awal masehi.
Mereka mengalami masa jaya, pernah berkuasa di sana membangun peradabannya.
Tetapi kemudian mendapat gempuran dari para penyebar agama, dari Aceh yang
membawa Islam, dan Belanda yang membawa Kristen.
Mereka diserang secara fisik dan ideologi. Agama
mereka, yang semula bernama Perbegu dihina dan direndahkan. Pemerintah pun ikut
memarjinalkan mereka dengan menurunkan derajat agama mereka menjadi aliran
kepercayaan. Dengan status ini, mereka tidak saja dianggap tidak beragama,
tetapi oleh karena itu bebas untuk dijadikan sasaran konversi. Tak heran
sebagian besar dari mereka lalu beralih agama.
Dengan gempuran dari para missionaris dan juru
dakwah, dan diskriminasi dari pemerintah, sebagian dari mereka tetap bertahan.
Untuk mendapat perlindungan formal pada tahun 1977 mereka menyatakan diri masuk
Hindu. Tetapi masalah yang mereka hadapi tidak berhenti. Di sekolah anak-anak
mereka tidak mendapat pendidikan agama Hindu. Mereka harus mengikuti pendidikan
agama lain, karena kalau tidak, rapor mereka akan kosong untuk nilai agama.
Akibatnya mereka tidak naik kelas.
Kita sudah tahu apa akibat dari taktik ini.
Anak-anak muda itu akan menyerap dan menghayati ajaran agama lain, dan
memandang rendah agama leluhurnya. Kita tentu saja tidak dapat mengharapkan
belas kasihan para guru-guru agama non Hindu untuk mengajarkan agama Hindu
secara benar. Tugas mereka memang untuk mengajarkan dan menyebarkan agamanya
sendiri. Untuk itulah mereka digaji.
Umat Hindu Karo bersembahyang |
Masyarakat Hindu Karo seperti dibiarkan berjuang
sendiri. Mereka seperti minoritas dalam minoritas Hindu. Bila umat Hindu dari
etnis Bali, Jawa, Kaharingan, dan India telah memiliki lembaga keagamaan serta
pendidikan tinggi agama Hindu dan organisasi sosial kemasyarakatan sendiri,
masyarakat Hindu Karo, masih jauh dari itu.
Pembinaan atas mereka kembang kempis. Parisada
provinsi Sumatra Utara yang pada jaman Shri Ramlu cukup aktif membina mereka,
dalam kepemimpinan yang sekarang ini tidak melakukan apa-apa. Umat Hindu Karo
Harus Bangkit Hindu di Medan saja, terutama yang dari etnis Tamil tidak
terurus. Lantas untuk apa mereka masih duduk di lembaga ini? Apa motivasinya?
Masih untung ada pembimas Hindu, seorang perempuan,
tetapi gesit, dan karena itu pembinaannya sangat dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat Hindu di Sumatra Utara, termasuk mereka yang ada di Tanah Karo.
Mereka meminta agar Ibu pembimas ini tidak dipindah-tugaskan ke tempat lain.
Tetapi tentu saja seorang pembimas tidak akan mampu mengatasi semua masalah
masyarakat Hindu di Sumatra Utara.
Bulan Maret lalu Media Hindu mengunjungi komunitas
Hindu di Tanah Karo. Ini sebagai realisasi keperdulian dan keprihatinan kami
terhadap komunitas komunitas Hindu yang ada di tempat-tempat ”terpencil” tidak
hanya dalam arti geografis, tetapi terutama dalam arti perhatian dan keperdulian
dari masyarakat Hindu secara keseluruhan.
Dalam dialog dengan mereka, kelihatan betapa mereka
tetap teguh dengan keyakinan leluhurnya. Mereka ingin bangkit, tetapi mereka
tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Tentu yang lebih mengkhawatirkan adalah
pembinaan generasi muda mereka. Jangan sampai terjadi seperti di satu desa di
Jawa Tengah. Yang masih datang ke Pura adalah orang-orang tua dan anak-anak
yang belum bersekolah. Ke mana anak-anak yang sudah bersekolah? Simbol-simbol
keagamaan yang terdapat di rumah wasi atau pinandita setempat memberi jawaban.
Di atas pintu masuk salah satu kamar terdapat
kaligrafi huruf Arab. Di atas pintu kamar yang lain, salib. Kamar yang pertama
adalah tempat tidur putra wasi yang masuk sekolah negeri. Kamar yang lain
adalah tempat tidur anak yang masuk sekolah Kristen. Romo wasi tentu saja tidak
memasang simbol Omkara di atas pintu kamarnya. Karena sebagai orang tua ia
tidak merasa pantas ikut-ikutan tren anak muda. Lagi pula bila dia meninggal
dunia siapa yang akan memperdulikan simbol suci itu? Ironis dan tragis!
Kewajiban kami hanya menyampaikan informasi.
Seharusnya lembaga-lembaga Hindu, terutama Parisada, memberikan perhatian
serius terhadap persoalan ini. Pembinaan umat tidak dapat ditangani secara
sporadis, oleh orang per orang. Harus terorganisasi, tersistem, dan
berkesinambungan. Marilah berharap semoga ada tindak lanjutnya.
Berikut sekilas video umat Hindu Karo di Sumatera
Utara. Lihat di bawah ini:
Post Comment
Post a Comment