Headlines News :
Home » , , » BALI "Baang Anake Liang Ingkel-ingkel"

BALI "Baang Anake Liang Ingkel-ingkel"

Written By Unknown on Monday, March 10, 2014 | 8:30 AM

Ilustrasi  Budaya dan Agama Hindu di Adopsi oleh Agama lain
Berbaik hati kepada setiap makhluk adalah ajaran yang sudah dimulai dari sejak jaman majapahit. siwa-buddha, agama ini begitu toleran sekali sehingga memungkinkan peluang besar terhadap syiar-syiar agama lain. Itulah sebabnya kenapa Islam bisa berkembang dengan baik di Indonesia. Semuanya oleh karena toleransi ini. Sebuah starting point yang bagus untuk agama pendatang.

Cinta itu kuat berupa kepedulian yang juga universal. Ketika cinta adalah raksasa mega yang diktator, setiap insan akan menjadi lupa akan hal lainnya. Cinta dan kelicikan adalah dua hal yang sangat tipis perbedaaannya. Ketika cinta kembali berkata,”turuti saja nuranimu” agama atau apapun tak akan bisa berkata apa-apa. Pernikahan pun terjadi dalam kebimbangan yang kuat meskipun seolah di luar terlihat begitu yakin. Well ternyata karena cinta kita terhadap seseorang ,kita pindah keyakinan. Pertanyaannya, bisakah keyakinan kita dipindahkan? Keyakinan semacam apa yang bisa dipindahkan begitu saja? Selera Atau keterpaksaan?

Dan Kemudian Menjaga?

Apa yang akan kita jaga? Agama kita? Atau adat?

Kebanyakan di Bali khususnya yang cenderung paling dikenal adalah adat, bukan agama. Agama adalah bagian kecil dari adat. Itulah kesimpulannya. Ketika kita sudah berkumpul dan membicarakan adat, orang Bali takut sekaligus begitu intens membicarakannya. Mengapa? karena adat  telah mengalihkan perhatian masyarakat Bali dari agama.

Adat di Bali seperti ajaran agama Islam di Indonesia. Seandainya saja kekuatan adat di Bali bisa disulap menjadi penjaga kehinduan serta hukum yang membuat keselarasan dan keharmonisan Bali, maka saya pastikan Hindu pun bisa menjadi kuat. Tapi yang saya maksud bukan kekerasannya, tapi semangat kehinduan kita. Masalahnya adalah adat di Bali terlalu jauh dari jangkauan agama. Agama di Bali bisa dijadikan ajang pariwisata. Turis-turis datang ke Bali menganggap Pura adalah tempat yang unik, bukan tempat yang sakral. Karena itu mereka serin masuk areal Pura dengan santai dan mengabadikannnya dalam memori kameranya.

Memang dari sudut pandang Hindu, kebudayaan atau local genius di setiap daerah harus diperhitungkan. Artinya agama merasuk kedalam local genius tersebut tanpa merusak tatanan yang ada. Namun kini masalahnya lain. Karena agama yang diartikan salah inilah maka perkembangan adat dan tradisi tidak sepadan dengan perkembangan agama. Agama Hindu di Bali menjadi abu-abu. Agama Hindu seperti titik kecil dalam kehidupan Bali. Sebagai contoh ketika kita ditanya apa agama kita. Tentu kita menjawab Hindu. Selanjutnya pertanyaannya adalah,” apa kitab suci mu? “ pasti gampang kita menjawab “Veda”. Terus pertanyaan berlanjut, “mana Vedamu ? bolehkah saya baca? “. Antara tertegun, tidak tau, tidak mau menjawab dan lain sebagainya ekspresi kita.

Umat Kristen di Gereja Jemaat Pniel, Jembrana, Bali (www.laskarislam.com )
Setelah kita buta terhadap Veda, orang lain yang berbeda keyakinan bisa menginjeksikan doktrin-doktri baru kepada kita dengan mengatakan bahwa ikutlah jalan baru ini. Tuhan memberikan banyak jalan dan tujuannya adalah sama. Pelik sekali masalah ini. Umat Hindu yang berkitab sucikan Veda, sebagian besar belum pernah membaca sloka-sloka Veda. Belum menerima Veda secara utuh tetapi hanya sebatas tradisi Bali dijadikan tolak ukur Hindu yang sejati.

Saya sendiri heran mengapa mesti bangga jika konsep tri hita karana dipakai oleh bangsa di Eropa , sementara sejarah-sejarah Hindu dan Kristen selalu tak pernah mulus. Pernah terbisik di telinga saya mengapa mereka tidak masuk Hindu saja? Kembali saya menjawab, apa mungkin? Mungkin orang bali-lah yang akan memeluk Kristen.

Disatu sisi bangga minta ampun ketika ajaran Hindu menjadi universal karena telah diadopsi oleh penduduk dunia. Namun apakah belum pernah terpikir kalau itu pencurian “hak cipta”? Disisi lain karena toleransi pula lah, maka lahirlah kitab-kitab bajakan agar memudahkan usaha gospel Kristen. Tak terasa bahkan di wilayah canggu, Kuta utara perlahan tapi pasti kristenisasi berjalan dengan mulus lewat jalan perkawinan. Adopsi tradisi Bali kental sekali. Lengkung-lengkung ambu dipakai penghias perayaan hari raya mereka. Prosesi “ngidih” / meminang pun digunakan media “gebogan”, namun di barisan terdepan lambang salib besar membuat mata terbelalak. Pakaian yang digunakan juga pakaian adat bali. Bahkan tempat pernikahan pun dirangkai sedemikian rupa dengan hiasan khas perkawinan adat bali dan di lini depan lambang Ongkara juga digunakan. Wow, whats wrong with them? Sungguh hebat upaya penyusupannya sampai-sampai penggunaan Om Svastyastu sepertinya tak lebih dari sebuah karya seni saja.

Sekarang  giliran Budaya yang dirasuki. Hemm…

“Bali memang unik. Saking uniknya, tradisi, adat istiadat dan budaya Bali yang kental nuansa teologis menyatu dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Meski semuanya berakar pada agama Hindu, namun tak sedikit dari tradisi, adat istiadat dan budaya itu dijadikan perekat keberagaman dan mutikulturalisme di pulau yang tersohor seantero dunia itu.”

Diatas adalah kutipan dari Viva news tentang upaya luar biasa Kristen dalam menjalin kerukunan antar umat beragama di daerah ubung kaja. Dan saya kutipkan lagi, “Romo Servasius I Nyoman Subhaga SVD menjabarkan, gereja yang dibangun di atas lahan seluas 3.700 meter persegi itu bukan sekadar bangunan belaka. Gereja Katolik Yesus Gembala Yang Baik didesain penuh dengan falsafah. “Semua mengacu pada filosofi Asta Kosala Kosali (filosofi Hindu) yang merupakan acuan arsitektur dan tata letak bangunan di Bali. Selain itu juga mengadopsi filosofi Tri Mandala (tiga konsep tata letak bangunan Bali),” katanya“. Dan lagi  “Bahkan, terdapat kulkul (kentongan) di gereja tersebut yang umumnya hanya ada di pura dan banjar-banjar di Bali.” Next  “Semakin unik manakala gereja ini juga di-melaspas–upacara tradisi umat Hindu Bali untuk menempati bangunan baru dengan dipimpin pemuka agama Hindu–lengkap dengan sarana dan perlengkapan persembahyangan ala umat Hindu Bali.”

Gereja Jemaat Pniel, Desa Blimbingsari, Jembrana, Bali
 Ternyata konsep-konsep  Budaya Bali pun digunakan disini. Terus apa manfaatnya bagi Hindu? Apa tidak pernah terpikir 50 tahun kemudian? Bisa-bisa Pura akan beralih fungsi menjadi gereja.

Bali yang terlalu toleransi, Budayanya dicuri begitu saja. Taktik yang sangat jitu, cerdik, dan hasilnya dipastikan dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama orang Bali tidak akan bisa bedakan antara Pura dan Gereja .

Berikut saya sampaikan tentang kemerosotan Budaya bali terkait dengan kutipan tadi.

“hal yang lebih parah lagi saat rehab pura, ternyata bahan lama dibuang dan diganti dengan material yang baru, sehingga menghilangkan nilai sejarah, artinya melupakan makna kerja keras dan spiritual saat leluhurnya membangun bangunan tersebut.” [Beritabatavia]

Nah, sudahkah kita terbangun? Ada apa dengan Bali? Masihkah bangga menjadi masyarakat Bali jika menghormati kerja keras para pendahulu kita saja kita tidak bisa. Malah yang Kristen berbondong-bondong membuat Gereja bercorak Budaya Bali, dan kita sang pemilik budaya meninggalkan seni-seni Bali. Uniknya, saya sendiri semakin sering melihat bangunan-bangunan di Bali semakin modern dan semakin meninggalkan seni ukiran Bali. Masyarakat sekarang kebanyakan membuat rumah dengan konsep minimalis.

Selain memanfaatkan peluang diatas, Apa penyebab Kristen bisa melaju dengan cepat? Jawabannya mudah, karena Kristen memang sedang menikmati keadaan. Kristen adalah agama misionaris aktif, sedangkan Hindu tidak seaktif Kristen menyebarkan agama. Ditambah lagi orang Hindu merasa berat di adat jika tetap memeluk Hindu. Alhasil Kristen benar-benar bisa menenangkan Hindu yang terluka karena adat dan mengikuti “ajaran kasih”. Disinilah letak titik kekalahan kita. Ketika Dharma di move menjadi kasih, ajarannya terasa tak jauh berbeda. Apalagi biaya untuk hari-hari besar Kristen relatif lebih murah dan hebatnya lagi ada biaya-biaya yang dijanjikan jika mau memeluk Kristen. Misalnya jaminan sekolah untuk anak. Miris memang, keyakinan dialih pindahkan begitu saja. Sepertinya keyakinan itu kini bukan seperti arti sebenarnya, namun lebih condong kepada selera. Jika mau ruwet pilih Hindu, jika mau gampang pindah saja. Bukankah begitu?

Karena pemberontakan hati mereka lah, maka mereka memilih. Semakin aktif bujuk rayu itu menghampiri, maka semakin cepat pula otak kita yang sedang mumet menerima ajakan itu. Sayang sekali, memang mereka sedang menikmati keadaan. Mereka pasti bersyukur dengan keadaan ini karena merasa sudah membantu sesama manusia untuk diajak dijalan yang benar.

Merajan/Sanggah Ada Bunda Maria di Bali
Lihai sekali memang mereka meyakinkan orang. Pada suatu kesempatan mereka dikatakan penjual kecap, namun mereka bisa memberi  jawaban, ”mengapa tidak? Saya terusik untuk membantu sesama manusia untuk berjalan bersama-sama di jalan Tuhan, itu kami lakukan karena kasih Tuhan yang begitu mulia”. Kata-kata ini begitu indah bukan? Di Bali masalah-masalah pindah agama selalu bukan topik yang wahh, tapi kalau menyangkut adat, sampai kesepekang beritanya sangat heboh. Bagaimana mau memberi solusi yang bijak, jika HAM tidak dijalankan? Yang ada malahan kerusakan psikologis yang diderita. Inilah betapa kuatnya adat di Bali, sangat buas, buas terhadap sesama Hindu, tapi lemah untuk para pedagang agama. Dalam hal ini yang saya harapkan bukan jalan kekerasan, tapi solusi terhadap ketakutan masyarakat terhadap adat.

Sesekali mulailah bertanya pada diri kita sendiri, apa kita lebih tega melanggar HAM ketimbang saudara kita akhirnya meninggalkan agama Hindu? Apa jadinya Bali 50 tahun kemudian jika tanpa Hindu? Sementara Bali berarti Bebali, bebanten. Terus apa artinya Hindu di Bali tanpa Banten? Sama saja kehilangan identitas bukan?


Semoga kedepannya adat di Bali bisa memberikan nilai positif terhadap perkembangan agama Hindu. Saya sedih dan merasa terpuruk dalam batin ketika telinga saya sering mendengar ,” si anu sube dadi Kristen jani, nuutin agama kurene” ( si anu sudah jadi Kristen,mengikuti agama suaminya). Lama-lama bisa jadi beban berat bagi Hindu jika Sradha kita kurang dan menganggap agama adalah semuanya sama. Sungguh suatu slogan masyarakat yang saya rasa kurang mengerti tentang agama dan dengan gampangnya menyatakan demikian. Apakah ini akibat “nak mule keto”?

Sumber Klik Disini
Share this post :

Post Comment

Post a Comment

 
Support : Copyright © 2015. Hindu Damai - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger
UA-51305274-1