Pura Dalem Kayangan Kedaton |
Apabila anda berkunjung ke objek wisata Alas
Kedaton, Desa Kukuh, Kecamatan Marga, Tabanan, tidak hanya kelucuan canda
kera-kera ekor panjang atau keasrian hutan yang bisa anda nikmati namun, anda
juga dapat merasakan getaran spiritual kental yang terpancar dari sebuah pura
yang berdiri di tengah-tengah Alas Kedaton yaitu Pura Dalem Kayangan Kedaton.
Orang luar kerap menyebutnya Pura Alas Kedaton.
Dalam lontar Usana Bali, seperti dikutip Jro Mangku
Ketoet Soebandi dalam buku Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali, pura ini
didirikan Mpu Kuturan yang juga dikenal dengan nama Mpu Rajakretha, pada zaman
pemerintahan Sri Masula-Masuli. Menurut Prasasti Desa Sading, Badung, Raja Sri
Masula-Masuli bertahta di Bali selama 77 tahun mulai tahun 1100 Saka (1178
Masehi) hingga 1177 Saka (1255 Masehi).
Data dari sumber tradisional ini diperkuat lagi
dengan bukti tinggalan arkeologis yang tersimpan di pura ini. Seperti ditulis
dalam buku Pura Dalem Kayangan Kedaton yang disusun I Made Sutaba dan
diterbitkan oleh Pengelola Obyek Wisata Alas Kedaton (2004) di sini ditemukan
arca Ganesa dan arca Durga Mahisasuramardhini. Kedua arca ini kini disimpan di
bangunan meru yang dikenal sebagai pelinggih Dalem Kayangan Kedaton bersama
sebuah lingga-semu yang terbuat dari batu yang bentuk bagian bawahnya berupa
segi empat dan bagian atas berbentuk silindris.
Arca Ganesa dan Durgamahisasuramardhini, menurut
Sutaba, memperlihatkan langgam dari abad ke-14. Arca Ganesa menjadi salah satu
bukti penting karena menjadi bukti otentik waktu pembangunan Pura Dalem
Kayangan Kedaton. Pada arca ini ditemukan candrasengkala Gana (6), Naga (8) Dwi
(2) Tunggal (1) yang berarti tahun 1286 Saka atau 1364 Masehi.
Pura Dalem Kayangan Kedaton |
Namun, Sutaba menduga Pura Dalem Kayangan Kedaton
telah ada sebelum abad ke-14. Dugaan ini
didasarkan pada adanya bentuk-bentuk megalitik seperti beberapa buah menhir
berukuran kecil, dibuat dari batu andesit yang tidak diubah bentuknya atau yang
tidak dikerjakan sama sekali. Menhir-menhir itu oleh masyarakat setempat diberi
nama sebagai pelinggih (bangunan suci) Ancangan, pelinggih Pengawal dan
lainnya. Peninggalan megalitik lainnya, susunan batu andesit yang ditata dengan
baik di atas bangunan yang disebut warga Kukuh sebagai pelinggih Pemuput.
Selain menhir dan susunan batu andesit, di Pura
Dalem Kayangan kedaton juga ditemukan tiga buah arca megalitik atau arca nenek
moyang. Arca tersebut dalam sikap berjongkok di atas sebuah lapik, kedua
tangannya menyilang dan ditumpangkan di atas kedua lututnya. Dua di antara
ketiga arca itu ditempatkan di dalam sebuah ceruk di tembok meru yang disebut
Dalem Kayangan. Arca megalitik yang ketiga ditempatkan di atas sebuah bangunan
terbuka yang disebut Pelinggih Ancangan yang terletak di dekat pintu masuk pura
dari sebelah timur.
Bukan hanya banyaknya tinggalan megalitik yang
membuat Pura Dalem Kayangan kedaton cukup unik, tetapi juga struktur pura yang
tidak lazim. Bagian jeroan yang menjadi halaman utama dan paling disucikan
posisinya paling rendah. Jaba tengah lebih tinggi dari jeroan dan yang paling
tinggi jaba sisi. Selain itu, pura ini juga memiliki empat pemedal (pintu
masuk), yakni dari arah barat, utara, selatan dan timur.
Keunikan lain di Pura Dalem Kayangan Kedaton dalam
hal pelaksanaan upacara. Piodalan yang jatuh saban Anggarakasih Medangsia tidak
boleh berlangsung sampai malam hari. “Upacara mesti selesai sebelum sandikala,”
ujar mantan Bendesa Pakraman Kukuh, Drs. IGM Purnayasa, S.H., M.Si.
Pura Dalem Kayangan Kedaton |
Bagi Anda yang ingin tangkil (bersembahyang), jangan
sekali-kali bersembahyang menggunakan dupa,
serta kewangen, karena tidak dibolehkan. Bahkan, segala bentuk api tidak
boleh dinyalakan di pura ini termasuk, lampu. Purnayasa menduga, tidak
diperkenankannya menggunakan sarana api kemungkinan karena dikhawatirkan bisa
menyebabkan kebakaran. Apalagi pelinggih beratapkan ijuk dan berada di dalam
hutan. Namun, secara filosofis, pantangan ini juga bisa dimaknai sebagai pesan
agar para pemedek yang tangkil bisa menahan hawa nafsu indria.
Selain dupa dan kewangen juga tidak diperkenankan
menghaturkan segehan, membuat penjor serta menyelenggarakan tabuh rah. “Untuk
perlengkapan upacara berupa ceniga yang di tempat lain di buat dari janur, di
sini harus dibuat dengan daun pisang mas,” imbuh mantan Sekda Tabanan ini.
Menjelang berakhirnya piodalan (upacara peringatan
hari jadi pura) dilaksanakan ritual ngerebeg. Saat itu, Ida Batara tedun di
halaman jaba tengah, semua perlengkapan piodalan dengan membaya kayu, krama
mengelilingi pelinggih sebanyak tiga kali. Mereka berlari sembari
berteriak-teriak.
Sumber Klik Disini
Post Comment
Post a Comment