thearoengbinangproject.com |
Teori terjadinya gempa bumi dan tsunami ternyata
jauh sebelumnya sudah digambarkan tetua-tetua Bali. Yang lazim dikenal manusia
Bali tentu saja kisah soal gerakan bedawangnala
yang membuat berguncangnya Naga
Anantaboga dan Naga Basuki.
Sepintas terkesan sebagai dongeng. Padahal, jika dikupas lebih jauh, gambaran
itu begitu logis dan sesuai dengan teori yang diungkapkan para ilmuwan soal
terjadinya gempa bumi.
Teror baru kini tengah menghantui masyarakat di daerah
di belahan bumi Nusantara yakni gempa bumi seperti yang terjadi di Kebumen dan di
sebelah baratdaya Aceh pada bulan Januari 2014 lalu. Gempa bumi sejatinya
merupakan fenomena alam yang normal. Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika
(BMG), gempa bumi merupakan bagian dari dinamika bumi yang senantiasa akan
muncul sepanjang zaman.
Tradisi lokal Bali pun menyuratkan gempa bumi
sebagai suatu proses alami. Manusia Bali sangat mengenal mitologi bedawangnala yang menjadi dasar Gunung
Mahameru. Badawangnala itu diikat oleh dua naga yakni Naga Gombang dan Naga
Gini. Dalam teks-teks sastra, naga Gombang itu disebut Ananatabhoga dan naga Gini
itu disebut Basuki. Ada lagi naga
Taksaka yang berada di angkasa.
“Bila Bedawangnala itu bergerak, Anantabhoga pun
bergerak. Gerakan itulah yang disebut lindu atau gempa khususnya gempa
tektonik. Bila gerakan bedawangnala demikian hebat, naga Basuki pun ikut
bergerak sehingga timbul tsunami,” beber Ida Pedanda Putra Yoga dari Gria Tunjuk,
Marga, Tabanan.
Sepintas kisah ini terkesan sebagai dongeng semata.
Padahal jika dikupas lebih dalam, paparan itu sangat logis dan ilmiah.
Bedawangnala, merupakan simbol dari agni (api) yang ada di dasar bumi yakni
magma. Dapat juga disejajarkan sebagai lempeng bumi. Naga Anantaboga merupakan
simbol tanah. Ananta berarti tidak habis-habis, sedangkan bhoga berarti
makanan. Anantabhoga berarti yang tidak habis-habis memberikan makanan. Yang
tidak habis-habis menyediakan makanan bagi manusia tiada lain tanah atau Ibu
Pertiwi yang melahirkan berbagai pala gantung, pala wija. Sementara Naga Basuki
merupakan simbol air. Basuki berarti keselamatan atau kehidupan. Yang bisa
melahirkan kehidupan adalah air. Di mana ada air, maka di sana ada sumber
kehidupan.
Para ilmuwan modern sendiri secara sederhana
membahasakan terjadinya gempa bumi akibat adanya tumbukan antarlempeng bumi,
patahan aktif aktivitas gunung api atau runtuhan batuan. Saat lempeng bumi
bertumbukan, tanah pun ikut berguncang. Bila tumbukan terjadi di dasar laut
dengan kekuatan di atas 6 SR dan kedalaman yang dangkal, air laut pun naik yang
dikenal dengan nama tsunami. Bukankah tidak jauh berbeda dengan gambaran kisah
bedawangnala itu?
Kisah soal bedawangnala diikat Anantabhoga dan
Basuki ini kemudian divisualisasikan dalam wujud pelinggih padmasana. Selain
itu, dalam sejumlah ritual penting di Bali, visualisasi itu pun dapat dilihat
dari sarana upacara yang dihaturkan.
“Pelinggih dan upacara yang kita laksanakan itu
merupakan miniatur dari lapisan-lapisan bumi serta menggambarkan proses yang
terjadi di alam ini,” ujar Ida Pedanda.
Hindu sendiri mengenal bumi mempunyai tujuh lapisan yang dinamai sapta patala. Sapta patala itu yakni patala, atala, witala, nitala, talatala, mahatala dan sutala. Ilmuwan modern pun menyebut bumi ini terdiri dari sejumlah lapisan bumi seperti litosfer, astenosfer serta mesosfer. Lapisan-lapisan ini senantiasa bergerak mencapai titik keseimbangannya. Dalam upaya mencapai titik keseimbangan itu tentu saja ada perubahan, pergeseran atau ada lapisan yang lepas.
Karenanya, budayawan Ketut Sumarta menyatakan dalam
kamus alam tidak ada istilah bencana. Tak pula ada cerita soal alam yang marah.
Alam tak pernah marah, malah sangat pemurah. Alam hanya berusaha mencapai
keseimbangan sesuai hukum yang dimilikinya.
“Bila alam tidak seimbang, maka alam sendirilah yang
akan menyeimbangkannya,” ujar Sumarta.
Karena itulah, tradisi beragama masyarakat bali
tidak pernah lepas dari spirit untuk menjaga keseimbangan alam. Manusia sebagai
bagian dari alam tidak bisa luput dari hukum keseimbangan alam itu. Untuk itu,
jalan satu-satunya yang harus dipilih manusia adalah menyesuaikan diri dengan
alam. Alam mestilah diakrabi, disayangi, dirawat sehingga manusia pun turut
dirawat dan dijaga. Jika manusia angkuh menentang alam, maka alam akan
menagihnya kembali dengan caranya sendiri.
Dalam bahasa Ida Pedanda Putra Yoga, manusia jangan
hanya ingat dan bisa mengambil dari alam, tetapi juga bisa memberi. Ida Pedanda
lalu mengibaratkan dengan pelinggih yang senantiasa berisi pedagingan. Jika
manusia hanya mengambil terus pedagingan itu tanpa memupuk, maka dunia pun jadi
guncang.
Sumber Klik Disini
Sumber Klik Disini
Post Comment
Post a Comment