Headlines News :
Home » , » Video: "Mesbes Bangke" Tradisi Mencabik Mayat Masih Bertahan di Banjar Buruan Gianyar

Video: "Mesbes Bangke" Tradisi Mencabik Mayat Masih Bertahan di Banjar Buruan Gianyar

Written By Unknown on Friday, January 30, 2015 | 12:14 PM

GIANYAR, DUMAI Tradisi yang cukup ekstrem dan seram masih berlaku di salah satu desa Tampaksiring, Gianyar. Bagi masyarakat awam yang tak mengetahui dan baru melihat akan merasakan kepiluan bila melihat tradisi mencambik mayat (Mebes bangke) yang dilakukan oleh warga di desa Tampaksiring.
Warga saat mengarak mayat di desa Tampaksiring, Gianyar 
“Mayat yang tengah digarap itu dicabik-cabik oleh warga menggunakan gigi, ada juga pakai tangan. Setelah tiba di sungai dekat kuburan, pencabik melepaskan mayat dari joli untuk dipermainkan. Dibawa lari ke sana-sini. Setelah capek, barulah mayat dikremasi," ujar Kelian Dinas dan Adat Banjar Buruan I Ketut Darta, usai tradisi ngarap mayat di banjarnya seperti dikutip tribunnews.com, Minggu (30/11) lalu.

Kelian Dinas dan Adat Banjar Buruan, Desa Tampaksiring, Gianyar ini mengungkapkan, pelaksanaan tradisi tersebut dilakukan setiap ada warga yang menghelat ritual ngaben secara personal.

"Di sini ada sistem ngaben kolektif dan ngaben pribadi. Bisa saja orang yang meninggal itu dikubur. Tapi kan itu juga harus sesuai dengan hari baik. Kalau tidak ada hari baik untuk mengubur mayat, maka harus ngaben langsung atau ngaben pribadi. Saat ngaben pribadi inilah, tradisi ngarap dijalankan," jelasnya.

Ketut Darta menjelaskan, tidak ada sastra tertulis yang menyebutkan tentang keberadaan tradisi ini. Menurut penuturan para tetua di Banjar Buruan, tradisi ini muncul karena pada zaman dahulu sebelum ada formalin, setiap mayat baunya sangat menyengat sehingga warga tidak bisa membawa ke kuburan.  Dengan kodisi tersebut, muncul ide untuk melupakan bau busuk, krama mengarak sambil mempermainkan mayat itu.
"Agar tidak ngadek (mencium) bau busuk saat mengarak, makanya ngarap (mempermainkan mayat)," ucap pensiunan guru SDN 4 Tampaksiring itu.

Kelian yang menjabat sejak tahun 2009 ini menuturkan, saat ngarap warga tidak memandang stratifikasi sosial. Apabila mereka menggunakan sistem ngaben personal untuk upacara Pitra Yadnya, tetap akan diperlakukan sama.

"Tapi kalau pemangku atau sulinggih, kami pergunakan suatu taktik supaya warga tidak ngarap. Taktinya adalah menggelar ritual mekingsan ring gni. Kalau tidak begitu bisa runyam masalahnya," katanya.

Dartha menyebut, yang boleh ikut dalam tradisi ngarak ini hanya warga setempat. Bila ada warga luar yang ikut, akibatnya fatal,  secara tidak sadar  massa akan mengeroyok orang itu.

Sebelumnya, tahun 1980-an, tradisi ngarak ini, mayat sampai dikeluarkan dari kaputnya. Namun, kini tradisi ngarak sudah sedikit tidak terlau ekstrem. Untuk mengantisipasi hal itu lagi, pihak keluarga dan prajuru banjar melapisi mayat dengan banyak pembungkus. Di antaranya, tikar, kain, diikat rantai lebar 5 cm, dan dikaput lagi pakai tikar, kain dan diikat lagi menggunakan rantai 3 cm.

"Pengaputan ini juga untuk menghindarkan warga dari penyakit. Siapa tahu sewaktu masih hidup, mayat itu punya penyakit menular," kata Dartha.



Share this post :

Post Comment

+ komentar + 2 komentar

Post a Comment

 
Support : Copyright © 2015. Hindu Damai - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger
UA-51305274-1