DENPASAR, DUMAI –
Seperti dilansir tribunnews.com, Senin (12/1), menurut Ida Pandita Mpu Jaya
Acharya Nanda menuturkan, pada saat ini Bali telah masuk ke era globalisasi dan
modernisasi. Hal ini membawa tradisi hiper, seperti hiper-konsumsi, hiper-market, hiper-reality dan hiper-reproduksi
identitas. Parahnya lagi, hiper-reproduksi identitas ini tidak hanya
menjangkiti personal, juga ke dalam institusi.
Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda (bali.tribunnews.com)
Ida
Pandita mengatakan, kita tentu senang memiliki hak untuk bersuara dan
menyampaikan pendapat. Tapi janganlah sampai melewati rambu-rambu, apalagi
dalam konsep agama, khususnya desa pakraman. Tidak ingin memprovokasi
siapa-siapa, desa pakraman itu dibangun oleh empat warna. Tujuannya untuk
membela keberadaan agama.
Beliau
menjelaskan, cara membelanya adalah dengan menerapkan apa yang disebut (1)
Sastra Wadhin, berucap berdasarkan sastra. Bukan kepentingan pragmatis. (2)
Budhi Wadhin, berbicara atas dasar kecerdasan intelektual yang mengarah pada
spiritual. (3) Prema Wadhin, berbicara atas dasar kasih sayang.
Kalau
pembelaan itu menimbulkan konflik, ada yang merasa dikalahkan dan ada yang
menang, serta yang dikalahkan merasa sedih dan yang menang sebaliknya, maka
bisa dikatakan UU Desa ini bermasalah.
Ida
Pandita mengajak semua kalangan, marilah kita introspeksi diri. Kini Bali
dihadapkan pada suatu pilihan, dalam beberapa wacara disebut buah simalakama.
Kalau situasi ini menimbulkan dualistik, jelas bahwa UU Desa ini bermasalah.
Kita tidak boleh mengklaim kebenaran sepihak.
Janganlah
agama kita "ditransaksionalkan". Desa pakraman tidak akan hilang kalau tidak
memiliki uang. Bahkan cenderung uanglah yang menimbulkan masalah.
Post Comment
Post a Comment