DENPASAR, DUMAI -
Anggapan
bahwa upacara agama Hindu di Bali mempengaruhi kemiskinan, mendapat respons
serius dari Pemerintah Provinsi Bali. Gubernur Bali Made Mangku Pastika
menggelar dialog terbuka dengan tema “Apakah Upacara Agama Mempengaruhi Kemiskinan di Bali” di Museum Rakyat Bali atau lebih dikenal dengan Museum
Bajrasandi.
Dialog
Terbuka di Museum Rakyat Bali (regional.kompas.com)
Acara
yang berlangsung di ruang pertemuan Monumen Perjuangan Rakyat Bali
(Bajrasandhi), Renon ini dihadiri Gubernur Bali Made Mangku Pastika, Ketua PHDI
Bali I Gusti Ngurah Sudiana. DR. I Gusti Made Ngurah mewakili MUDP Bali, I
Gusti Alit Putra (Wakil DPRD Bali), I Ketut Wiana selaku pembicara disamping
Panusunan Siregar dan dari Badan Pusat Statistik (BPS) Bali dan para Pemangku
dan tokoh masyarakat.
Menurut
data yang dikemukakan oleh Kepala BPS Bali, Panusunan Siregar, kalau kegiatan
upacara sudah menjadi prioritas masyarakat setelah kebutuhan dasar. Disamping
itu, dari data yang dia sampaikan ternyata rokok menempati urutan nomor dua
pengeluarannya setelah beras. “Di Bali ini rupanya banyak warga lebih memilih
rokok daripada makan,” ujarnya seperti dikutip suluhbali.co, Sabtu (10/1).
Kemudian
Panusunan juga menyebutkan, data pada penduduk yang miskin di Bali, kegiatan
upacara menjadi prioritas yang sangat penting dalam rumah tangganya, setelah
makan dan rumah.
Kepala
BPS ini, melihat serta memberikan masukan untuk mengatasi kemiskinan di Bali
salah satunya adalah dengan cara menyederhanakan kegiatan-kegiatan upacara itu,
tapi tidak mengurangi esensinya.
Sementara
Ketut Wiana selaku perwakilan dari PHDI Pusat menyoroti masih kurang pahamnya
krama hindu akan upacara yang mereka laksanakan.
“Krama
kita aktif luar biasa dalam upacara, namun tak tahu apa maknanya,” katanya.
Akhirnya,
krama Hindu di Bali cenderung sibuk ‘bertanding’ untuk menggelar upacara yang
besar. Padahal mengacu tattwa, upacara bermakna ‘melayani’ untuk mendekatkan
diri dengan alam dan sesama. Jangan sebaliknya, dengan alasan bhakti, manusia
justru merusak alam dan membuat sesamanya susah. “Misalnya saat upacara, nutup
jalan. Itu menyusahkan orang lain,” imbuhnya.
Yang
lebih ironis lagi, sejumlah krama terpaksa meninggalkan pekerjaan karena
tuntutan adat. Untuk itu, Wiana mendesak adanya reformasi dan evaluasi terhadap
penomena ini. Kata dia, upacara dan adat hendaknya membahagiakan, bukan
memberatkan.
Selanjutnya
I Gusti Ngurah Made Ngurah selaku petajuh MUDP menyoroti pembiasan dalam
pelaksanaan upacara agama. Dia mencontohkan, upacara yang bisa dilaksanakan
satu hari, diperpanjang jadi tiga hari sehingga menyita waktu krama. Selain
itu, upacara yang hanya membutuhkan satu ekor babi berkembang menjadi puluhan
ekor karena kebiasaan membagikan dengan krama. Menurutnya, pembiasan semacam
inilah yang mesti diluruskan agar krama tak terbebani dengan pelaksanaan
upacara.
Pendapat
senada disampaikan dua tokoh pers Made Nariana dan Raka Santeri. Raka Santeri
berpendapat agar istilah nista dalam tingkatan yadnya diubah karena terkesan
terlalu kecil dan krama kurang sreg jika melaksanakan pada level itu. “Apa
istilahnya bisa diganti dengan ‘sari’ sehingga lebih mantap,” imbuhnya.
Pandangan
tentang yadnya juga disampaikan Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda.
“Kalau pencerahan dan pengetahuan upacara dan
agama sudah sering saya sampaikan ke umat. Baik diberikan secara langsung
maupun lewat buku-buku dan tulisan. Tapi dalam pelaksanaannya warga masih sulit
lepas dari kebiasaan selama ini,” ujar Ida Pandita.
Di
akhir acara dialog, Mangku Pastika menyatakan kemiskinan di Bali akan bisa
cepat diatasi bila masyarakat Bali mau bersama-sama mengulurkan tangan untuk
membantu, sebagai wujud pengejawantahan Manusa Yadnya.
“Mengenai
pengertian manusa yadnya tidak cukup dengan upacara megedong-gedongan, kepus
puser, nelu bulanin, ngotonin dan seterusnya. Menolong orang miskin, menolong
orang sakit, membantu anak supaya tidak putus sekolah juga manusa yadnya,” jelas
Mangku Pastika.
Post Comment
+ komentar + 1 komentar
Woe,,,, mengapa kita harus terlihat baik dan suci? Dng cara membohongi diri sendiri padahal koropsi, mencuri, dan cabul. Apa harus seperti itu kita? Apakah orang yg tidak beragama hindu dan tidak melakukan upacara akan kaya? Apakah upacara menutup jalan salah? Daripada membiarkanya macet? Kita dibali siwa budha,hitam putih bukan abu2, ruabineda, kita mengenal ajaran itu karena konsep kita keseimbangan, tidak menilai kejadian dng salah benar tapi apa penyebabnya.
Post a Comment