Headlines News :
Home » , , , » [Mencoba] Kaitkan Ciuman, Bija dan Bhasma di Kening

[Mencoba] Kaitkan Ciuman, Bija dan Bhasma di Kening

Written By Unknown on Monday, July 28, 2014 | 10:11 AM

Ilustrasi (popbali.com )
DUMAI- Hampir setiap orang baik dari semua jenis keyakinan/agama, mempunyai tradisi mencium kening seseorang yang sangat dikasihinya. Misalnya anak dengan orangtuanya, suami-istri, saat berstatus “calon” ciuman pipi, setelah menikah ciuman bibir, dan saat asmara berubah menjadi ‘Kasih-Sayang-Total’ ciuman bibirpun pindah ke kening.

Model ciuman yang mendarat di kening ini, lumrah disebut CIUMAN KASIH SAYANG. Sebab sensasi yang ditimbulkan adalah rasa kasih bercampur sayang yang sungguh mendamaikan. Beda dengan ciuman yang didaratkan pada bagian tubuh lainnya.

Yang sedikit menarik, entah dapat teori darimana, para istri yang sedang mengalami menstruasi biasanya mencium kening sang suami di atas tempat tidur, sebagai ‘kode’ bahwa dirinya sedang tidak siap untuk melayani hasrat sang suami. Mungkin maksudnya untuk mendamaikan, agar suami tercinta bisa tidur dengan lelap tanpa mengeluh.

Titik sasaran ciuman ini sesungguhnya BUKAN DI KENING, melainkan diantara alis mata. Mengapa ciuman kening, diantara alis mata persisnya? Ada apa dengan ciuman ini? Mengapa menimbulkan sensasi rasa damai (bukan gairah)? Apa hubungannya dengan Bija dan Bhasma?

AJNA DAN VITALITAS KENING
Selain alat vital berupa 5 indera yang sudah kita kenal selama ini. Ada satu indra yang bahkan lebih vital dibandingkan kelima indra tersebut. Tambahan indera ini sering disebut “Indera Keenam.” Indera keenam ini berupa indera penglihatan. Namun tidak sama dengan sepasang mata yang kita miliki. Letaknya di kening, persisnya diantara 2 alis mata.

Dua pasang mata yang kita pakai sehari-hari adalah mata fisik yang berfungsi sebagai jendela bagi jiwa (roh) untuk melihat alam material (alam semesta yg kita diami). Namun karena digunakan secara sembrono dan jarang dibersihkan, jendela ini kerap tertutup debu dan kotoran lainnya. Untungnya, sang roh punya jendela khusus anti-debu. Jendela khusus itu disebut “Ajna” atau lumrah disebut “Mata Ketiga.”

Sayangnya, kebanyakan orang tak sadar (persisnya lupa) akan hal ini, terlalu sibuk mengurus ego sehingga jendela ini pun lupa dibuka, bahkan bisa jadi sudah karatan saking tak pernah dibuka.

Dalam kondisi terbuka dan dapat digunakan, Ajna berada persis diantara 2 alis kita. Seseorang yang sadar, membuka jendela ini, dan mampu menggunakannya DENGAN BIJAK, sekali lagi DENGAN BIJAK, dalam artian hanya untuk tujuan Dharma (kebaikan dan kebenaran), disebut telah memiliki “kesadaran Ajna.”

Seseorang yang memiliki kesadaran Ajna, mampu menggunakan mata ketiga untuk tujuan Dharma, dapat mengetahui hal-hal yang tak lumrah diketahui oleh orang belum memiliki kesadaran Ajna. Dalam ajaran Hindu, yang dikenal sebagai Dewa berpengetahuan tanpa batas adalah Dewa atau Bathara Siwa. Oleh sebab itu kemampuan menggunakan mata ketiga untuk tujuan Dharma, selain disebut memiliki “kesadaran Ajna” juga sering disebut memiliki “kesadaran Siwa.”

BIJA (WIJA) DAN BHASMA DI KENING
Semeton penganut Hindu di Bali, usai ‘mathirta’ (diperciki air suci) di penghujung acara persembahyangan, menempelkan biji beras (disebut “bija” atau “wija”) diantara kedua alisanya.

Bukan sembarang bijih beras. Bija adalah biji beras yang dicuci dengan air bersih atau air cendana. Kadangkala juga dicampur kunyit sehingga berwarna kuning, maka disebutlah “bija kuning”. Bila dapat supaya diusahakan beras “galih” yaitu beras yang utuh (ksata), tidak patah (aksata).

Dewa Siva
Dalam kepercayaan Hindu, Bija adalah lambang Kumara, yakni ‘wija’ (benih) dari Dewa Siwa. Pada berbagai lontar disebutkan, yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an yang bersemayam dalam diri setiap orang. Sehingga “mabija atau “mawija,” bagi umat Hindu di Bali, mengandung makna menumbuh-kembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri.

Dalam diri manusia terdapat sifat kedewataan dan sifat keraksasaan yang disebut “Daivi-sampat” dan “Asuri-sampat.” Menumbuh-kembangkan benih ke-Siwa-an berarti menumbuhkembangkan sifat kedewataan tersebut agar dapat mengatasi sifat keraksasaan. Kedua sifat itu bersemayam dalam pikiran dan lubuk hati manusia.

Tempat tumbuh dan berkembangnya sifat kedewataan atau benih ke-Siwa-an itu adalah hati dan pikiran (mind), maka tempat memuja yang terpenting itu di dua tempat, yaitu pada pikiran dan hati itu sendiri. Itu sebabnya mawija atau mabija dilakukan cara menempelkan di tengah-tengah kedua kening dan dengan menelannya.

Benih itu bisa tumbuh dan berkembang apabila ladangnya bersih dan suci. Oleh sebab itu ‘mewija’ dilakukan setelah ‘mathirta’. Pun demikian, kebersihan pikiran dan bathin saja tidaklah cukup, perlu dilandasi oleh niat tulus untuk mengabdi (bhakti) kepada Siwa.

Perlu diingat bahwa selain berpengetahuan luas, salah satu karakter Siwa yang menonjol adalah sifat welas-asihnya. Bhakti kepada Siwa diwujudkan dengan 2 cara, yaitu memuja Siwa dan meneladani sifat-sifat Siwa yang penuh welas-asih.

Bija atau Wija, di Bali, sering ditukar istilahkan. Tidak salah, hanya kurang tepat. Sementara Wija/Bija adalah biji beras, Bhasma terbuat dari serbuk cendana yang diperoleh dengan cara menggosok-gosokkan kayu cendana. Serbuk cendana dicampur sedikit air di atas sebuah periuk (Jun) atau dulang dari tanah liat. Kemudian hasil gosokan berwarna merah kecoklatan itu diendapkan. Nah, endapan inilah yang disebut “Bhasma,” ( berasal dari kata ‘bhas’ sansekerta yang artinya abu atau serbuk).

Bhasma di India, digunakan oleh hampir semua penganut Hindu, tua-muda, laki-perempuan, sama seperti penggunaan Wija atai Bija di Bali.

Khusus di Bali, Bhasma hanya digunakan oleh mereka yang telah menjalani ritual ‘Madwijati’ utamanya para sulinggih dan Pedanda. Sedangkan yang masih berstatus ‘Walaka’ (belum madwijati) hanya menggunakan Bija atau Wija dari biji beras. Hal ini, karena kata Wija memiliki kedekatan makna dengan “Walaka” dan “Kumara” yang berarti biji benih atau putera.

Penggunaan Bhasma oleh para Sulinggih disebut “Bhasma Sesa,” tujuannya sedikit berbeda jika dibandingkan dengan Mawija atau Mabija. Jika Mawija bertujuan untuk menumbuh kembangkan benih sifat ke-Siwa-an, Mebhasma oleh para Sulinggih dimaksudkan untuk membulatkan tekad mengabdi kepada Siwa. Dewa Siwa sendiri sering disebut sebagai “Sunya” (suwung, dalam Bahasa Bali). Para sulinggih yang melakukan Bhasma Sesa (menggunakan Bhasma) juga bisa dipandang sebagai kebulatan tekad untuk menajalani khidupan Sunya atau lumrah disebut “Kesunyatan.”

Kembali ke persoalan cium kening atau cium kasih sayang. Pertanyaannya: mengapa cium kening?

MENGAPA CIUMAN KASIH SAYANG DI KENING?
Ciuman ini, dalam perspektif spiritual, adalah ketertarikan kemistri antara 2 jiwa (roh anak-roh ortu atau roh suami-istri) yang memiliki keterikatan masa lalu (karma) dan ingin berdamai, ingin saling mendamaikan, namun terhalang oleh jasmani (badan kasar).

Kesadaran untuk berdamai yang datang dari lubuk hati paling dalam (jiwa/roh) adalah wujud nyata dari kebangkitan karakter Siwa yang welas-asih di dalam diri manusia. Sehingga, untuk sementara, penulis menyimpulkan bahwa ada kemiripan efek antara mebija dengan ciuman di kening, yakni sama-sama menumbuh-kembangkan ke-Siwa-an, setidaknya karakter welah-asih Siwa. Oleh sebab itu, penulis rasa, tak salah jika ibu-ibu berusaha mendamaikan suaminya dengan cara menciumnya di kening, ciuman itu ciuman welah-asih, bukan ciuman rasa bersalah belaka.


Para spiritualis tersohor seperti OSHO, Deepak Chopra, dan lain-lainnya menyebutkan bahwa, ciuman kasih-sayang spontan pada “Ajna,” yakni pada titik diantara dua alis mata, yang terjadi karena memang panggilan jiwa (bukan suruhan otak/logika), konon dapat membuka jendela khusus anti-debu yang disebut “Ajna” atau “Mata Ketiga” atau “Indera Keenam.”


Share this post :

Post Comment

Post a Comment

 
Support : Copyright © 2015. Hindu Damai - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger
UA-51305274-1