Ilustrasi (popbali.com ) |
DUMAI-
Hampir setiap orang baik dari semua jenis keyakinan/agama, mempunyai tradisi mencium
kening seseorang yang sangat dikasihinya. Misalnya anak dengan orangtuanya, suami-istri,
saat berstatus “calon” ciuman pipi, setelah menikah ciuman bibir, dan saat
asmara berubah menjadi ‘Kasih-Sayang-Total’ ciuman bibirpun pindah ke kening.
Model
ciuman yang mendarat di kening ini, lumrah disebut CIUMAN KASIH SAYANG. Sebab sensasi yang ditimbulkan adalah rasa
kasih bercampur sayang yang sungguh mendamaikan. Beda dengan ciuman yang
didaratkan pada bagian tubuh lainnya.
Yang
sedikit menarik, entah dapat teori darimana, para istri yang sedang mengalami
menstruasi biasanya mencium kening sang suami di atas tempat tidur, sebagai
‘kode’ bahwa dirinya sedang tidak siap untuk melayani hasrat sang suami.
Mungkin maksudnya untuk mendamaikan, agar suami tercinta bisa tidur dengan
lelap tanpa mengeluh.
Titik
sasaran ciuman ini sesungguhnya BUKAN DI
KENING, melainkan diantara alis mata. Mengapa ciuman kening, diantara alis
mata persisnya? Ada apa dengan ciuman ini? Mengapa menimbulkan sensasi rasa
damai (bukan gairah)? Apa hubungannya dengan Bija dan Bhasma?
AJNA DAN VITALITAS KENING
Selain
alat vital berupa 5 indera yang sudah kita kenal selama ini. Ada satu indra
yang bahkan lebih vital dibandingkan kelima indra tersebut. Tambahan indera ini
sering disebut “Indera Keenam.” Indera keenam ini berupa indera penglihatan.
Namun tidak sama dengan sepasang mata yang kita miliki. Letaknya di kening, persisnya
diantara 2 alis mata.
Dua
pasang mata yang kita pakai sehari-hari adalah mata fisik yang berfungsi
sebagai jendela bagi jiwa (roh) untuk melihat alam material (alam semesta yg
kita diami). Namun karena digunakan secara sembrono dan jarang dibersihkan,
jendela ini kerap tertutup debu dan kotoran lainnya. Untungnya, sang roh punya
jendela khusus anti-debu. Jendela khusus itu disebut “Ajna” atau lumrah disebut “Mata
Ketiga.”
Sayangnya,
kebanyakan orang tak sadar (persisnya lupa) akan hal ini, terlalu sibuk
mengurus ego sehingga jendela ini pun lupa dibuka, bahkan bisa jadi sudah
karatan saking tak pernah dibuka.
Dalam
kondisi terbuka dan dapat digunakan, Ajna berada persis diantara 2 alis kita.
Seseorang yang sadar, membuka jendela ini, dan mampu menggunakannya DENGAN BIJAK, sekali lagi DENGAN BIJAK, dalam artian hanya untuk
tujuan Dharma (kebaikan dan kebenaran), disebut telah memiliki “kesadaran Ajna.”
Seseorang
yang memiliki kesadaran Ajna, mampu menggunakan mata ketiga untuk tujuan
Dharma, dapat mengetahui hal-hal yang tak lumrah diketahui oleh orang belum
memiliki kesadaran Ajna. Dalam ajaran Hindu, yang dikenal sebagai Dewa
berpengetahuan tanpa batas adalah Dewa atau Bathara Siwa. Oleh sebab itu
kemampuan menggunakan mata ketiga untuk tujuan Dharma, selain disebut memiliki
“kesadaran Ajna” juga sering disebut memiliki “kesadaran Siwa.”
BIJA (WIJA) DAN BHASMA DI KENING
Semeton
penganut Hindu di Bali, usai ‘mathirta’
(diperciki air suci) di penghujung acara persembahyangan, menempelkan biji
beras (disebut “bija” atau “wija”) diantara kedua alisanya.
Bukan
sembarang bijih beras. Bija adalah biji beras yang dicuci dengan air bersih
atau air cendana. Kadangkala juga dicampur kunyit sehingga berwarna kuning,
maka disebutlah “bija kuning”. Bila dapat supaya diusahakan beras “galih” yaitu
beras yang utuh (ksata), tidak patah
(aksata).
Dewa Siva |
Dalam
kepercayaan Hindu, Bija adalah lambang Kumara, yakni ‘wija’ (benih) dari Dewa Siwa. Pada berbagai lontar disebutkan, yang
dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an yang bersemayam dalam diri
setiap orang. Sehingga “mabija atau “mawija,” bagi umat Hindu di Bali,
mengandung makna menumbuh-kembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri.
Dalam
diri manusia terdapat sifat kedewataan dan sifat keraksasaan yang disebut “Daivi-sampat” dan “Asuri-sampat.” Menumbuh-kembangkan benih ke-Siwa-an berarti
menumbuhkembangkan sifat kedewataan tersebut agar dapat mengatasi sifat
keraksasaan. Kedua sifat itu bersemayam dalam pikiran dan lubuk hati manusia.
Tempat
tumbuh dan berkembangnya sifat kedewataan atau benih ke-Siwa-an itu adalah hati
dan pikiran (mind), maka tempat
memuja yang terpenting itu di dua tempat, yaitu pada pikiran dan hati itu
sendiri. Itu sebabnya mawija atau mabija dilakukan cara menempelkan di
tengah-tengah kedua kening dan dengan menelannya.
Benih
itu bisa tumbuh dan berkembang apabila ladangnya bersih dan suci. Oleh sebab
itu ‘mewija’ dilakukan setelah ‘mathirta’. Pun demikian, kebersihan pikiran dan
bathin saja tidaklah cukup, perlu dilandasi oleh niat tulus untuk mengabdi
(bhakti) kepada Siwa.
Perlu
diingat bahwa selain berpengetahuan luas, salah satu karakter Siwa yang
menonjol adalah sifat welas-asihnya. Bhakti kepada Siwa diwujudkan dengan 2
cara, yaitu memuja Siwa dan meneladani sifat-sifat Siwa yang penuh welas-asih.
Bija
atau Wija, di Bali, sering ditukar istilahkan. Tidak salah, hanya kurang tepat.
Sementara Wija/Bija adalah biji beras, Bhasma terbuat dari serbuk cendana yang
diperoleh dengan cara menggosok-gosokkan kayu cendana. Serbuk cendana dicampur
sedikit air di atas sebuah periuk (Jun) atau dulang dari tanah liat. Kemudian
hasil gosokan berwarna merah kecoklatan itu diendapkan. Nah, endapan inilah
yang disebut “Bhasma,” ( berasal dari
kata ‘bhas’ sansekerta yang artinya abu atau serbuk).
Bhasma
di India, digunakan oleh hampir semua penganut Hindu, tua-muda, laki-perempuan,
sama seperti penggunaan Wija atai Bija di Bali.
Khusus
di Bali, Bhasma hanya digunakan oleh mereka yang telah menjalani ritual ‘Madwijati’ utamanya para sulinggih dan
Pedanda. Sedangkan yang masih berstatus ‘Walaka’
(belum madwijati) hanya menggunakan Bija atau Wija dari biji beras. Hal ini,
karena kata Wija memiliki kedekatan makna dengan “Walaka” dan “Kumara” yang
berarti biji benih atau putera.
Penggunaan
Bhasma oleh para Sulinggih disebut “Bhasma
Sesa,” tujuannya sedikit berbeda jika dibandingkan dengan Mawija atau
Mabija. Jika Mawija bertujuan untuk menumbuh kembangkan benih sifat ke-Siwa-an,
Mebhasma oleh para Sulinggih dimaksudkan untuk membulatkan tekad mengabdi
kepada Siwa. Dewa Siwa sendiri sering disebut sebagai “Sunya” (suwung, dalam
Bahasa Bali). Para sulinggih yang melakukan Bhasma Sesa (menggunakan Bhasma)
juga bisa dipandang sebagai kebulatan tekad untuk menajalani khidupan Sunya
atau lumrah disebut “Kesunyatan.”
Kembali
ke persoalan cium kening atau cium kasih sayang. Pertanyaannya: mengapa cium
kening?
MENGAPA CIUMAN KASIH SAYANG DI
KENING?
Ciuman
ini, dalam perspektif spiritual, adalah ketertarikan kemistri antara 2 jiwa
(roh anak-roh ortu atau roh suami-istri) yang memiliki keterikatan masa lalu
(karma) dan ingin berdamai, ingin saling mendamaikan, namun terhalang oleh
jasmani (badan kasar).
Kesadaran
untuk berdamai yang datang dari lubuk hati paling dalam (jiwa/roh) adalah wujud
nyata dari kebangkitan karakter Siwa yang welas-asih di dalam diri manusia.
Sehingga, untuk sementara, penulis menyimpulkan bahwa ada kemiripan efek antara
mebija dengan ciuman di kening, yakni sama-sama menumbuh-kembangkan ke-Siwa-an,
setidaknya karakter welah-asih Siwa. Oleh sebab itu, penulis rasa, tak salah
jika ibu-ibu berusaha mendamaikan suaminya dengan cara menciumnya di kening,
ciuman itu ciuman welah-asih, bukan ciuman rasa bersalah belaka.
Para
spiritualis tersohor seperti OSHO,
Deepak Chopra, dan lain-lainnya menyebutkan bahwa, ciuman kasih-sayang spontan
pada “Ajna,” yakni pada titik diantara dua alis mata, yang terjadi karena
memang panggilan jiwa (bukan suruhan otak/logika), konon dapat membuka jendela
khusus anti-debu yang disebut “Ajna” atau “Mata Ketiga” atau “Indera Keenam.”
Post Comment
Post a Comment