Sang Kala Boma |
DUMAI – Sering kali umat Hindu Bali mendengar pertanyaan
langsung atau tak langsung yang jamak dilontarkan oleh mereka yang belum
memahami Bali, tentu saja dengan variasi kalimat yang berbeda-beda. Ada yang
bilang menyembah iblis, ada yang bilang menyembah setan, ada yang bilang menyembah
dedemit, hantu, gondoruwo, dan sebagainya. Memang terdengar kasar dan mungkin
menyakitkan. Namun bagi penulis ini pertanyaan yang logis, meskipun tak enak
didengar atau dibaca.
Memang logis, sebab memang fakta bahwa banyak patung
dan ornament (relief) bersosok seram yang menghiasi pura-pura di Bali. Dan
menjadi logis ketika orang yang tak tahu kemudian mengira sosok-sosok seram itu
disembah oleh umat Hindu Bali.
Begini para pembaca semua (baik yang di Bali atau di
luar). Hal pertama yang perlu dipahami, sekiranya masih ada ruang untuk itu
adalah kenyataan umum bahwa rumah ibadah (apapun bentuknya, Masjid, Gereja,
Kelenteng, Wihara, Sinagog) adalah tempat untuk melakukan pemujaan atau
persembahyangan atau kebaktian atau shalawat, BUKAN obyek yang dipuja. Demikian halnya dengan Pura di Bali, juga
berfungsi sebagai tempat pemujaan (bukan
obyek yang dipuja). Adapun patung
(Arca/yang telah disucikan), relief dan ornament yang ada di dalamnya
sebagiannya berfungsi sebagai hiasan, dan sebagian lainnya merupakan simbol.
Simbol adalah bahasa visual, media pengantar
“pesan” lewat gambar, ornament, relief
atau patung/arca. Konkretnya, orang yang melihat simbol tertentu diharapkan
dapat menangkap “pesan” yang ingin disampaikan. Ada pun pesan yang disampaikan,
bisa berupa suatu peristiwa masa lampau atau konsep atau nilai filosofis
tertentu. Simbul-simbul yang ada di pura, khususnya di Bali yang penulis
ketahui, sebagian besarnya mengandung pesan peristiwa sekaligus konsep dan
nilai folosofis. Termasuk ornament Sang Kala Boma yang ditempatkan pada candi
kurung di Bali.
Khususnya semeton
(umat) dari luar Bali mungkin belum tahu apa itu “Sang Kala” dalam filsofi orang Bali dan Hindu pada umumnya. “Sang Kala”
(atau “Kala” saja) adalah
reprensetasi dari Waktu atau Masa (kala = masa = waktu).
Lalu, apa itu
waktu atau masa, mengapa diwujudkan dalam sosok seram?
Dalam logika manusia (awam), waktu adalah sesuatu
yang memang seram, kejam, tak memberi ampun, tak kenal kompromi dan tak bisa
dikalahkan. Faktanya:
1.
Waktu Bersifat Tak Terbatas
Tidak bisa
menemukan titik awal dan ujung akhir waktu secara keseluruhan. Yang mampu
dipikirkan manusia hanya awal dan akhir suatu fase/periode/era. Waktu sudah ada
sebelum alam semesta diciptakan. Dan waktu juga masih berlanjut setelah alam
semesta hilang (kiamat). Waktu bersifat tak terbatas.
2.
Waktu Bersifat Kekal
Agama muncul-hilang-muncul-hilang-muncul-hilang
terus, waktu tetap ada. Para nabi hidup-mati-hidup-mati-hidup-mati, waktu tetap
ada. Bahkan alam semesta raya ini, muncul-kiamat-muncul-kiamat-muncul-kiamat,
waktu tetap ada. Anda suka atau benci dengan kenyataan ini, berani atau takut menghadapi
kenyataan ini, waktu selalu hadir.
3.
Tak Ada yang Bebas Dari Pengaruh Waktu
Waktu
kematian adalah contoh yang paling konkret dalam hal ini. Siapa yang tidak
takut menghadapi WAKTU kematian? Namun sebesar apapun ketakutan itu, Sang Waktu
(Kala) tak mau ambil pusing, dia akan tetap datang begitu saja, tak bisa
ditawar-tawar, tak kenal kompromi dan tak kenal ampun.
4.
Waktu adalah Penguji Utama
Anda orang baik atau jahat, hanya waktu yang akan
menguji. Anda orang kotor atau bersih, hanya waktu yang bisa menguji. Anda
memuja Tuhan atau iblis, hanya waktu yang bisa menguji. Anda beriman atau
tidak, hanya waktu yang mampu menguji. Apapun yang anda
pikirkan-ucapkan-dan-lakukan, bukan apa-apa, sampai diuji oleh waktu.
Arca di Padmasana |
Masih banyak lagi yang lainnya. Tetapi cukup itu
saja dahulu. Nah, orang Hindu Bali pada umumnya BUKAN penyembah KALA,
apalagi iblis. Umat Hindu Bali pada
umumnya “sadar-waktu” atau “sadar-kala.”
Konkretnya:
1. Ketika memasuki Candi Kurung di sebuah Pura dengan
ornament Sang Kala Boma di atasnya
(seperti nampak pada foto), orang Bali menyadari bahwa diri mereka sedang
memasuki wilayah spiritual yang tak terbatas. Konkretnya, merasa sangat kecil
jika dibandingkan dengan sesuatu yang sifatnya tak terbatas; kelebihan diri
samasekali tak berlaku di sini. Kesombongan harus dibuang sejauh-jauhnya.
2. Ketika memasuki Candi Kurung, orang Bali menyadari sepenuhnya akan keberadaan
waktu, keabadiannya dan keperkasaannya, Misalnya:
kelahiran-kehidupan-dan-kematian adalah keniscayaan yang tak bisa dikejar atau
dihindari.
3. Ketika memasuki Candi Kurung, orang Bali menyadari bahwa, kebersihan rohani dan
keimanannya akan diuji oleh waktu, bukan sesuatu yang perlu diklaim
terlebih-lebih disombongkan.
Bisa dikatakan, orang Hindu Bali memilih untuk tidak
memusuhi waktu. Sebagai gantinya, bersahabat dengan waktu, sembari memohon
kepada Sang Pencipta, Ida Sanghyang Widhi Wasa, agar dilimpahi kesabaran dalam
menjalani waktu.
Post Comment
Post a Comment