Headlines News :
Home » , , , , » Apakah Menyembah Setan Dengan Ditempatkannya Sosok Seram di Pura?

Apakah Menyembah Setan Dengan Ditempatkannya Sosok Seram di Pura?

Written By Unknown on Saturday, July 26, 2014 | 3:10 PM

Sang Kala Boma
DUMAI – Sering kali umat Hindu Bali mendengar pertanyaan langsung atau tak langsung yang jamak dilontarkan oleh mereka yang belum memahami Bali, tentu saja dengan variasi kalimat yang berbeda-beda. Ada yang bilang menyembah iblis, ada yang bilang menyembah setan, ada yang bilang menyembah dedemit, hantu, gondoruwo, dan sebagainya. Memang terdengar kasar dan mungkin menyakitkan. Namun bagi penulis ini pertanyaan yang logis, meskipun tak enak didengar atau dibaca.

Memang logis, sebab memang fakta bahwa banyak patung dan ornament (relief) bersosok seram yang menghiasi pura-pura di Bali. Dan menjadi logis ketika orang yang tak tahu kemudian mengira sosok-sosok seram itu disembah oleh umat Hindu Bali.

Begini para pembaca semua (baik yang di Bali atau di luar). Hal pertama yang perlu dipahami, sekiranya masih ada ruang untuk itu adalah kenyataan umum bahwa rumah ibadah (apapun bentuknya, Masjid, Gereja, Kelenteng, Wihara, Sinagog) adalah tempat untuk melakukan pemujaan atau persembahyangan atau kebaktian atau shalawat, BUKAN obyek yang dipuja. Demikian halnya dengan Pura di Bali, juga berfungsi sebagai tempat pemujaan (bukan obyek yang dipuja).  Adapun patung (Arca/yang telah disucikan), relief dan ornament yang ada di dalamnya sebagiannya berfungsi sebagai hiasan, dan sebagian lainnya merupakan simbol.

Simbol adalah bahasa visual, media pengantar “pesan”  lewat gambar, ornament, relief atau patung/arca. Konkretnya, orang yang melihat simbol tertentu diharapkan dapat menangkap “pesan” yang ingin disampaikan. Ada pun pesan yang disampaikan, bisa berupa suatu peristiwa masa lampau atau konsep atau nilai filosofis tertentu. Simbul-simbul yang ada di pura, khususnya di Bali yang penulis ketahui, sebagian besarnya mengandung pesan peristiwa sekaligus konsep dan nilai folosofis. Termasuk ornament Sang Kala Boma yang ditempatkan pada candi kurung di Bali.

Khususnya semeton (umat) dari luar Bali mungkin belum tahu apa itu “Sang Kala” dalam filsofi orang Bali dan Hindu pada umumnya. “Sang Kala” (atau “Kala” saja) adalah reprensetasi dari Waktu atau Masa (kala = masa = waktu).

Lalu, apa itu waktu atau masa, mengapa diwujudkan dalam sosok seram?
Dalam logika manusia (awam), waktu adalah sesuatu yang memang seram, kejam, tak memberi ampun, tak kenal kompromi dan tak bisa dikalahkan. Faktanya:
     1.      Waktu Bersifat Tak Terbatas
Tidak bisa menemukan titik awal dan ujung akhir waktu secara keseluruhan. Yang mampu dipikirkan manusia hanya awal dan akhir suatu fase/periode/era. Waktu sudah ada sebelum alam semesta diciptakan. Dan waktu juga masih berlanjut setelah alam semesta hilang (kiamat). Waktu bersifat tak terbatas.

     2.      Waktu Bersifat Kekal
Agama muncul-hilang-muncul-hilang-muncul-hilang terus, waktu tetap ada. Para nabi hidup-mati-hidup-mati-hidup-mati, waktu tetap ada. Bahkan alam semesta raya ini, muncul-kiamat-muncul-kiamat-muncul-kiamat, waktu tetap ada. Anda suka atau benci dengan kenyataan ini, berani atau takut menghadapi kenyataan ini, waktu selalu hadir.

     3.      Tak Ada yang Bebas Dari Pengaruh Waktu
Waktu kematian adalah contoh yang paling konkret dalam hal ini. Siapa yang tidak takut menghadapi WAKTU kematian? Namun sebesar apapun ketakutan itu, Sang Waktu (Kala) tak mau ambil pusing, dia akan tetap datang begitu saja, tak bisa ditawar-tawar, tak kenal kompromi dan tak kenal ampun.

     4.      Waktu adalah Penguji Utama
Anda orang baik atau jahat, hanya waktu yang akan menguji. Anda orang kotor atau bersih, hanya waktu yang bisa menguji. Anda memuja Tuhan atau iblis, hanya waktu yang bisa menguji. Anda beriman atau tidak, hanya waktu yang mampu menguji. Apapun yang anda pikirkan-ucapkan-dan-lakukan, bukan apa-apa, sampai diuji oleh waktu.

Arca di Padmasana
Masih banyak lagi yang lainnya. Tetapi cukup itu saja dahulu. Nah, orang Hindu Bali pada umumnya BUKAN penyembah KALA, apalagi iblis. Umat Hindu Bali pada umumnya “sadar-waktu” atau “sadar-kala.”
Konkretnya:
   1.     Ketika memasuki Candi Kurung di sebuah Pura dengan ornament Sang Kala Boma di atasnya (seperti nampak pada foto), orang Bali menyadari bahwa diri mereka sedang memasuki wilayah spiritual yang tak terbatas. Konkretnya, merasa sangat kecil jika dibandingkan dengan sesuatu yang sifatnya tak terbatas; kelebihan diri samasekali tak berlaku di sini. Kesombongan harus dibuang sejauh-jauhnya.
  2.  Ketika memasuki Candi Kurung, orang Bali menyadari sepenuhnya akan keberadaan waktu, keabadiannya dan keperkasaannya, Misalnya: kelahiran-kehidupan-dan-kematian adalah keniscayaan yang tak bisa dikejar atau dihindari.
    3.     Ketika memasuki Candi Kurung, orang Bali menyadari bahwa, kebersihan rohani dan keimanannya akan diuji oleh waktu, bukan sesuatu yang perlu diklaim terlebih-lebih disombongkan.

Bisa dikatakan, orang Hindu Bali memilih untuk tidak memusuhi waktu. Sebagai gantinya, bersahabat dengan waktu, sembari memohon kepada Sang Pencipta, Ida Sanghyang Widhi Wasa, agar dilimpahi kesabaran dalam menjalani waktu.



Share this post :

Post Comment

Post a Comment

 
Support : Copyright © 2015. Hindu Damai - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger
UA-51305274-1