DUMAI -- Pemeo populer yang
sering diungkapkan oleh semeton Bali untuk menyindir fenomena Sosial-Ekonomi
yang sedang berlangsung, khususnya terkait alasan mengapa Orang Bali kian
tersisih di tanahnya sendiri. “Nak Bali ngadep tanah meli bakso, Nak Jawa
[pendatang] ngadep bakso meli tanah”. Maksudnya, Orang Bali jual tanah
untuk beli bakso, sementara Orang Jawa jualan bakso untuk beli tanah di Bali.
Meskipun pahit, tetap harus saya sampaikan bahwa pemeo di atas memang ada benarnya; ketersisihan orang Bali sedikit-banyak juga di pengaruhi oleh perilakunya sendiri, disamping faktor-faktor eskternal. Ungkapan “Nak Bali ngadep tanah meli bakso, Nak Jawa ngadep bakso meli tanah” jelas tidak dimaksudkan untuk menjatuhkan mental apalagi menjelek-jelekkan atau menghina orang Bali. Melainkan lebih dimaksudkan sebagai oto-kritik, agar sadar terus bisa melakukan koreksi-sendiri terhadap perilaku itu.
Seperti
dikutip Popbali.com, Selasa (5/5), menurut saya pribadi (penulis) ada 9 hal
yang bisa dicontoh oleh semeton pedagang Bali dari pendatang agar lebih mampu
bersaing, sebagai berikut:
1.
Ramah Pada Pembeli
Ilustrasi (ciricara.com)
Inilah
alasan mengapa istri saya ogah beli ikan laut pada puluhan pedagang lain di
pasar sana yang rata-rata semeton Bali. Menurut istri saya yang dibenarkan oleh
ibu-ibu tetangga, mereka rata-rata judes. Suatu ketika istri saya hendak
membeli ikan teri segar pada salah satu dari mereka.
Sebelum
beli tentu dia menanyakan harga per kilonya. Bukannya dikasih tahu berapa
harganya malah ibu itu dengan ketus berkata “Idih olas ampunang nawah! Nak maal jani be, keweh alih-alihane di pasih!”
(tolong jangan menawar harga! Sekarang ikan mahal, susah nangkep di laut),
padahal istri saya baru nanya berapa harga per kilonya, belum sempat nawar.
Tak
suka dengan sikap dagang itu, disamping anak saya ke-2 merengek mau jalan
terus, tanpa ba-bi-bu istri saya ngeloyor pergi. Namun ibu itu tak terima lalu
berteriak, “weeee buuukkk! Kone kal meli
be, nguda megedi?!” (eh buuuu! katanya mau beli ikan, koq ngeloyor pergi?).
Lalu
istri saya balik dan mengatakan ia pergi karena mengira ikannya tidak dijual.
Ibu itu pun akhirnya memberi tahu berapa harga ikannya. Karena terlalu mahal
istri sayapun ngeloyor lagi tanpa mengeluarkan satu patah katapun. Ya jelaslah
istri saya ngeloyor pergi tanpa berkata apa-apa, sebab sudah diperingatkan
untuk tidak menawar. Jika ditawar nanti pedagang ikannya ngomel lagi, sementara
untuk beli juga tak mungkin sebab harganya terlalu mahal.
Namun
ibu itu tak terima dan berteriak dengan kata-kata kasar, “Weee.. bang*at! Ba orahin harga masi megedi buin, kengken keneh nyine?!”
(Woi bang*at! Sudah dikasi harga ngeloyor juga, apa maumu?).
Karena
terlalu kasar, istri sayapun “membeli” sikap itu dengan mendatangi dan
memaki-maki balik pedagang ikan itu. Dan terjadilah keributan. Sejak saat itu,
istri saya ‘mesasat’ (semacam
bersumpah) untuk takkan pernah belanja ikan di pasar itu selain di lapaknya Bu
Nur.
Contoh
lainnya dialami oleh tetangga. Saat sang istri pulang kampung, Pak Putu membeli
Nasi Babi Guling di daerah Tanjung Bungkak (Denpasar) untuk dirinya sendiri dan
3 anaknya yang masih kecil. Tak mau anaknya kepedasan, maka saat memesan dia
minta agar tidak diisi lawar dan bumbu. Bukannya menyimak baik-baik apa yang di
pesan, ibu penjual nasi asik saja tek tek tek tek tek… mencincang lawar.
Saat
mulai membungkus Pak Putu berusaha mengingatkan kembali agar tidak diisi bumbu.
Namun bukannya menyimak, dagang nasi itu malah berbicara dengan pembantunya
sambil terus membungkus nasi. Selesai bungkus baru bertanya “Apa orahang pak mara?” (Tadi bapak
bilang apa?). Dengan sabar Pak Putu mengulangi permintaannya sambil menjelaskan
bahwa dirinya beli nasi untuk anak-anak yang masih kecil. Namun dengan ketus
dagang nasi lawarnya menjawab, “Tiyang
ten nerima pesanan khusus!” (saya tidak menerima permintaan khusus!).
Pak
Putu mengaku, sejak saat itu selalu berusaha menahan keinginannya untuk makan
nasi babi guling. Jika istri tak masak, katanya mendingan beli Soto Arema atau
Ayam Goreng Sari Laut Bang Edi yang kebetulan tak jauh dari rumahnya. Hal ini
tentu karena Pak Putu tak pernah menerima sikap tak ramah dari tukang Soto
Arema atau Sari Laut Bang Edi.
Sikap
kasar dagang ikan dan dagang nasi babi guling itu sudah pasti tak mewakili
perilaku semua pedagang Bali (nyatanya istri saya tetap membeli sayur, buah,
bumbu, canang dan barang keperluan lain pada pedagang Bali). Namun semeton
pedagang ikan di pasar itu kiranya perlu belajar cara bersikap baik pada
pembeli dari Bu Nur. Dan, dagang nasi babi guling di Tanjung Bungkak itu juga
perlu belajar dari warung soto Arema atau Sari Laut Bang Edi.
2. Sigap Melayani Pembeli
Ilustrasi (www.alfamartku.com)
Sigap
melayani pembeli adalah karakter berikutnya yang perlu dicontoh oleh pedagang
Bali dari pedagang pendatang. Ini hasil perbandingan antara rumah makan
(merangkap catering) yang dikelola oleh Orang Bali dan dan pendatang. Untuk
tidak merusak nama/merk tertentu saya tidak mau nyebut nama/merk. Namun
keduanya lumayan besar, sama-sama cukup dikenal, sama-sama punya gerai
dimana-mana, sama-sama punya ratusan pegawai dan keduanya pernah menjadi
langganan kantor dimana saya bekerja.
Rumah
makan milik orang Bali ini posisinya cukup strategis, dekat pusat bisnis
sekaligus pusat pemerintahan. Cukup sering wara-wiri, sehingga saya pun kadang
mampir untuk makan siang di sana. Masakannya enak, khas Bali, harganya juga
terjangkau. Satu-satunya masalah yang membuat saya selalu menahan nafas setiap
kali makan di sana adalah leletnya pelayanan. Mereka bersikap seolah tak butuh
konsumen, lebih suka mengobrol antar waitress dibandingkan melayani pembeli.
Apalagi saat melayani pesanan nasi kotak dalam jumlah banyak, pembeli yang
langsung makan di sana harus menunggu sampai mereka selesai membungkus. Karena
hal ini pula banyak yang urung makan di sana, termasuk saya.
Kontras
dengan rumah makan milik pendatang yang pernah jadi langganan kantor dimana
saya bekerja. Mereka begitu sigap dan gesit melayani pembeli. Meskipun
pembelinya 2x lebih ramai di bandingkan rumah makan milik orang Bali tadi,
dengan jumlah pegawai kurang-lebih sama, mereka bisa melayani pembeli dalam
waktu sangat singkat; antara 5 hingga 10 menit. Mereka juga melayani pesanan
nasi kotak dalam jumlah besar. Namun itu nampaknya tak pernah mengganggu
pelanggan yang langsung makan di tempat. Masakannya juga enak, khas, dan selalu
fresh. Harga per satu porsinya kurang lebih sama. Jadi tak heran jika rumah
makan ini selalu ramai. Dan dari kecepatan mereka menyajikan makanan saja sudah
jelas terlihat rumah makan kedua ini berdayasaing lebih tinggi.
3. Menghargai Uang Kecil
Ilustrasi (www.vemale.com)
Di
dekat tempat tinggal saya, ada Toko lumayan besar (hampir sebesar mini market),
menempati bangunan ruko 2 lantai, dan menjual berbagai keperluan sehari-hari,
mirip mini market lah. Dari pelangkiran di atas meja kasirnya saya tahu
pemiliknya orang Bali.
Tak
jauh dari toko itu ada toko kelontong kecil, hanya menempati bangunan semi
permanen dengan tembok batako yang masih telanjang, dan juga jualan barang
kebutuhan sehari-hari. Yang nungguin toko kelontong kecil ini sepasang
suami-istri berusia 50-an, dan dari pengakuannya mereka asli Jawa Timur, namun
jadi PNS di Bali sejak muda hingga pensiun.
Biasanya
toko kelontong kecil akan sepi jika di sebelahnya ada toko besar dengan barang
dagangan yang kurang lebih sama. Ini yang terjadi malah sebaliknya; sementara
toko kelontong milik pasutri dari Jatim itu selalu ramai, toko besar yang milik
Orang Bali bisa dibilang sepi pembeli. Setiap hari melewati toko itu, sangat
jarang saya melihat ada sepeda motor parkir di sana.
Suatu
Sore, sudah agak lama mungkin 2-3 tahun lalu, saya mampir di toko milik orang
Bali itu untuk membeli sebungkus rokok. Sambil bilang mau beli rokok merk
tertentu saya sodorkan selembar uang Rp 100 ribu. “Nggak ada” kata si pedagang
singkat tanpa ekspresi. Sementara dari kejauhan saya lihat ada banyak merk itu
berjejer-jejer di rak khusus rokok. Lalu saya dekati rak rokok itu untuk
memastikan saya tak salah lihat. Benar, memang ada berbungkus-bungkus. Sambil
menunjuk rak saya katakan “Ini ada lho bu….” Tahu apa jawaban ibu pedagan itu?
“Nggak ada susuk, beli di sebelah aja” ujarnya singkat masih tanpa eskpresi.
Belanja Rp 14000 diberi Rp 100ribu nggak ada kembalian, gila nggak? Kalau nggak
gila ya berarti tak menghargai uang kecil.
Ya,
bisa ditebak. Akhirnya saya beli rokok di toko kelontong milik pasutri asal
Banyuwangi itu. Naggak usah belanja Rp 14ribu, beli bensin se liter dikasi uang
100-an pun disusuki tanpa masalah. Sejak saat itu saya tak pernah mencoba untuk
belanja di toko milik semeton Bali itu—sepanjang masih ada toko lain yang buka.
Jadi tak heran jika toko itu nampak selalu sepi.
Sebagai
pembanding yang lebih ekstrim. Saya pernah beli tas plastik (kresek) di sebuah
toko milik saudara Tionghua di daerah Imam Bonjol. Saya hanya mau beli
selembar, ya tahu sendirilah berapa harga tas kresek selembar, tapi dicarikan
diantara tumpukan barang yang memenuhi ruangan toko itu. Sadar hanya belanja
kecil namun merepotkan, saya bilang nggak jadi. Tapi dengan ramah engkoh
pemilik toko bilang, “tolong tunggu sebentar masih dicarikan.”
Artinya
apa, uang Seribu perakpun sangat berarti bagi seorang pedagang. Pedagang
semeton Bali seperti pemilik toko di atas perlu belajar menghargai uang kecil.
Perlu belajar memahami, terlepas dari berapapun nilai pembeliannya, yang
namanya pembeli tetap berharga.
4.
Kualitas Barang
Ilustrasi (m.kaskus.co.id)
Pernah
makan Nasi Babi di pasar senggol Kreneng? Dagang babi guling di sini semuanya
semeton Bali. Babi guling yang dipajang kelihatan sangat segar, dengan kulit
empuk merekah. Sungguh merangsang selera setiap penyuka babi guling, termasuk
saya.
Tak
tahan godaan itu, saya bersama istri dan anak yang awalnya hanya mau cari
barang tertentu pun mampir makan di salahsatu warung di sana. Sungguh di luar
dugaan; yang disajikan ke meja kami ternyata daging babi yang sudah sangat
kering, nampaknya sudah digoreng berkali-kali. Kulitnya hanya selebar 2 cm
persegi pun tipis dan tidak diambil dari babi guling yang mereka pajang.
Bumbunya pun sudah terasa agak-agak basi. Ini kan tergolong pengelabuan, jika
tak mau menyebut penipuan.
Saya
pikir siapapun akan kecewa terhadap pedagang yang berperilaku seperti demikian.
Jadi jangan salahkan jika kemudian semeton Bali pun lebih memilih makan bakso,
soto, dan gule kambing di warung sebelah.
Di luar
perilaku mengelabui pembeli, menjaga kualitas barang dagangan sangatlah
penting. Khusus makanan, kesegaran (freshness) mungkin menjadi hal yang paling
utama selain cita rasa. Kecuali yang memang jenis instant, tidak ada orang yang
mau mengkonsumsi makanan yang sudah tidak segar, apalagi sudah basi.
Kecenderungan pedagang menjual kembali makanan yang tak laku di hari sebelumnya
memang sulit dihindari. Namun saya kira hal ini bisa disiasati. Misalnya dengan
tidak memasak dalam volume yang berlebih—mungkin dengan mengira-ngira tingkat
keterjualan barang. Contohlah cara pedagang pendatang dalam mengelola barang
dagangannya, agar kualitas tetap terjaga.
5. Ketersediaan Barang
Ilustrasi (www.coretankecil.com)
Untuk
mengembangkan kreatifitasnya, tempo hari istri saya memesan meja kerja yang
permukannya ditutup kaca. Saat mejanya datang, dan diterima pembantu, eh
ternyata kacanya tidak pakai stopper pada keempat pojoknya; kaca hanya diletakkan
begitu saja di atas meja. Terpaksa saya carikan stopper untuk dipasang sendiri.
Kemarin
saya keliling ke toko bahan bangunan. Mulai dari yang terdekat; kebetulan
pemiliknya orang Bali. Saat saya tanya apakah jual stopper kaca untuk meja,
jawaban dagangnya “tidak ada, coba di tukang kaca.” Mendengar jawaban itu,
langsung kebayang sulitnya mencari tukang kaca yang setahu saya jumlahnya tak
banyak.
Sambil
mencari tukang kaca, kebetulan saya melewati toko bangunan (ke-2) saya coba
masuk menanyakan barangkali mereka menjual barang yang saya cari. Kali ini
pemiliknya orang Arab dan jawabannya berbeda dengan toko bangunan pertama.
Pemilik toko bilang “Maaf barangnya kosong,” seolah-olah dia mau bilang “biasanya
ada namun kebetulan stocknya habis.” Disamping mendapat harapan baru
(kemungkinan toko bangunan berikutnya jual), saya juga mendapat kesan bahwa
kalau lain kali nyari stopper mungkin bisa coba cari di sana lagi, siapa tahu
stocknya lagi ada.
Selanjutnya
saya masuk ke toko bangunan ketiga yang ditunggui oleh pasutri Tionghua. Saat
saya katakan cari stopper kaca meja, cece nya bilang “Ada. Tolong tunggu
sebentar, kita ambilin ke gudang dulu.” Kokonya pun nampak keluar naik sepeda
motor untuk mencarikan barangnya. Tak sampai 15 menit, koko itu pun membawa
barang yang saya cari. Tahu berapa harganya satu stopper beserta skrupnya?
Hanya Rp 4000, sementara saya hanya beli 4 biji, artinya saya hanya belanja Rp
16000!
Saya
pulang membawa stopper dan merasa sangat terbantu karena tak harus keliling
lagi ke toko-toko bangunan lainnya atau tukang kaca. Dalam perjalanan pulang
saya teringat cerita kawan lama yang kebetulan juga Tionghua. Katanya, pedagang
Cina selalu berusaha membuat pembeli berbelanja di tokonya. Jika mereka tak
punya barangnya, dia akan membeli di toko sebelah, meskipun untungnya sangat
tipis. Hal ini, katanya, penting agar pembeli yakin tokonya selalu punya barang
apapun yang dibutuhkan. Bila sampai berkali-kali terpaksa beli di toko sebelah
untuk dijual kembali, itu berarti sudah saatnya dia membeli dari distributor
atau pabrik untuk distock sendiri. Dia jadi punya komoditi baru yang pangsa
pasarnya sudah pasti ada. Begitu terus. Sehingga toko milik orang Cina
rata-rata berkembang.
Ketersediaan
barang dagangan sangatlah penting. Sebaliknya, ketidaktersediaan jelas
memperkecil kemungkinan pembeli datang kembali di lain waktu. Menjadi semakin
kecil kans itu bila respon yang diberikan kepada pembeli tidak simpatik,
seperti hanya mengatakan “tidak ada” dengan eskpresi tak bersahabat, dan
menurut pengamatan saya respon inilah yang seringkali ditunjukkan oleh pedagang
semeton Bali. Dalam hal ini saya pikir semeton Bali bisa belajar dari
pendatang, entah itu Orang Jawa, Sumatera, Lombok atau Tionghua.
6. Jarang Tutup
Ilustrasi (malakayuara.wordpress.com)
Disamping
barang dagangan, ketersediaan tokonya itu sendiri bahkan jauh lebih penting
lagi. Tak peduli sebagus apapun kualitas barangnya, sesegar apapun makanannya,
seenak apapun cita rasanya, semurah apapun harganya dan sebagus apapun
layanannya, bila warung/tokonya sendiri sering tutup tetap saja tak mampu
bersaing dengan toko yang selalu buka. Inilah yang banyak terjadi pada warung
dan toko-toko milik semeton Bali, termasuk warung ‘tipat cantok’ yang pernah
jadi langganan saya.
Awalnya,
tahun-tahun pertama, warung tipat cantok ini selalu ramai; murid, pegawai
swasta, pegawai pemerintah, entah darimana datangnya, selalu berkerumun di
sana. Tipat cantoknya memang enak, banyak sayur dan bumbunya, segar, warungnya
juga bersih. Yang jualan cantik, cekatan, dan ehemmm…murah senyum. Harganya pun
tergolong murah. Tak heran jika mereka bisa menyulap rumah tinggal tempatnya
berjualan menjadi rumah besar berdinding marmer Citatah dalam waktu singkat.
Namun entah mengapa belakangan ini sering tutup.
Karena
sudah ‘kebelet’ ingin tipat cantok, terpaksa keliling cari warung lain. Untung
nemu pedagang tipat cantok lain di dekat pasar; tak kalah enaknya; dan yang
pasti selalu buka antara jam 10 s/d 5 sore, nama dagangnya Mbak Umi. Jika
ditanya “de rema Mbak Umi?” jawabannya selalu “Tak De rema-rema Pak Gusti,”
sambil ketawa cekikikan. Saya yakin warung Mbak Umi yang sekarang berdinding
triplek itu akan segera berubah menjadi bangunan permenan, karena kian hari
kian ramai saja.
Ada hal
yang perlu dipelajari oleh warung tipat cantok dan warung-warung milik semeton
Bali kalau ingin memenangkan persaiangan selain menjaga kualitas barang dan
menawarkan harga yang masuk akal, yakni belajar menjaga konsistensi jam dan
hari buka. Perlu disadari bahwa, warung/toko yang sering-sering tutup
menimbulkan kesan “tidak bisa diharapkan,” lama-lama orang tak peduli apakah
toko itu buka atau tutup, alias dianggap tak ada. Akibatnya, saat buka pun akan
tetap sepi.
Salahsatu
hal yang membuat minimarket selalu bisa mengalahkan warung dan toko kelontong
disamping ketersediaan dan harga pasti adalah jam dan hari buka yang pasti.
Minimarket selalu buka bahkan di hari libur sekalipun. Hal ini menimbulkan
keyakinan bawah-sadar pada pembeli bahwa mereka pasti bisa berbelanja kapanpun
mereka butuh. Dengan kata lain, “bisa diandalkan” dan ini sangat penting.
7. Bersih
Ilustrasi (annienugraha.wordpress.com)
Terutama
warung makan, milik semeton Bali seringkali kurang bersih. Seenak apapun
masakannya, semurah apapun harganya, seramah apapun dagangnya, orang tetap saja
enggan makan di warung nasi yang jorok. Jika tidak sangat terpaksa, pasti
memilih makan di warung yang bersih.
Saya
pikir ini bukan sesuatu yang sulit, hanya persoalan kebiasaan saja. Jika warung
makan pendatang bisa bersih meskipun di bedeng, mengapa warung semeton Bali
tidak bisa? Harus bisa jika ingin mampu bersaing.
8. Terang
Ilustrasi (pandji.com)
Saat
masuk ke kompleks pertokoan seperti di jalan Thamrin atau Gajahmada atau
Diponegoro (Denpasar) malam hari, saya bahkan bisa membedakan mana toko milik
semeton Bali mana yang bukan, hanya dengan melihat lampu di dalam tokonya.
Entah mengapa, toko milik semeton Bali biasanya redup cenderung remang-remang.
Bisa jadi karena ingin mengirit biaya listrik.
Saat
tinggal di luar Bali saya banyak bergaul dengan teman-teman Tionghua. Dari
mereka saya tahu alasan mengapa toko milik orang Cina selalu terang-benderang.
Menjaga toko agar selalu dalam kondisi “teng
lang” (terang) sangatlah penting.
Disamping
bisa mengangkat hokki (terkait feng-sui), katanya, toko yang terang benderang
juga mengirimkan pesan kepada calon pembeli “kami selalu beruntung dan dalam
kondisi prima, modal kami masih fresh, biaya listrik sama-sekali tak masalah,
barang kami bersih dan baru, silahkan liat-liat.”
Sebaliknya,
toko berpenerangan minim seolah mengirim pesan “kami sudah lelah dengan
ketidakberuntungan, kami sepi pembeli, barang-barang kami kotor dan sudah
kedaluarsa semua, dan kami tak peduli sebab saat ini sedang sekarat, sebentar
lagi bangkrut, tak usah mampir tak masalah.”
Semeton
Bali pemilik warung/toko, terutama yang masih buka di malam hari, kiranya perlu
memahami hal ini jika ingin mampu bersaing. Saya sangat mengerti akan
pentingnya menghemat biaya listrik guna mengangkat laba pada akhirnya. Namun
perlu disadari bahwa cost-cutting (penghematan) hanya satu sisi saja, pun
sifatnya sangat terbatas. Di sisi lainnya, laba juga bisa diangkat dengan cara
meningkatkan penjualan, dan ini sifatnya tak terbatas.
9. Tidak Tamak
Ilustrasi (bisnis.liputan6.com)
Salah satu
penyakit purba manusia pada umumnya (dari semua etnik dan suku bangsa) adalah ‘Rajasika’ (=tamak). Turunan sifat tamak
yang paling sering muncul ke permukaan adalah “ingin cepat kaya dengan upaya
minimal.” Khusus pada pedagang, perilaku “ingin cepat kaya” ini biasanya
tercermin dari harga barang dagangannya yang di atas harga pasar.
Menjual
barang di atas harga pasar adalah tindakan “bunuh diri” ketika dilakukan pada
komoditi yang berupa barang konsumsi pabrikan; sabun, shampoo, odol, snack,
kecap, mie instant, rokok, dlsb. Dan ini kerap dilakukan oleh semeton pedagang
kecil di Bali.
Sudah
tak terhitung kasus yang pernah saya alami terkait hal ini. Yang paling sering
adalah rokok dan minuman dikemas botolan yang dijual dengan harga di atas harga
pasar normal. Barang ini harganya sudah sangat standar, namun entah mengapa
banyak pedagang kecil yang nekat menjual lebih mahal, bahkan tak
tanggung-tanggung selisihnya bisa seribu rupiah!
Uang
seribu rupiah terlebih hari gini memanglah tak besar. Namun tetap saja
menimbulkan kejengkelan pada pembeli. Setidaknya terkesan tamak, “ingin cepat
kaya.”
Saya
pribadi tidak apa-apa. Palingan saya beli sebotol untuk diminum langsung di
sana karena kehausan. Namun untuk kebutuhan sebulan (stock di kulkas) pastilah saya
memilih untuk belanja di supermarket atau setidaknya minimarket guna mendapat
harga pasar yang standar. Semeton Bali yang kebetulan punya warung, kiranya
sangat perlu memperhatikan hal ini jika ingin mampu bersaing dengan pegadang
pendatang.
Saran dan Masukan
Tambahan
Ilustrasi (solusiriba.com)
Itulah
9 hal yang bisa semeton pedagang Bali pelajari untuk bisa bersaing dengan
pendatang. Saya sangat berharap agar semua orang Bali mampu bersaing dan tetap
memimpin di tanahnya sendiri. Agar hal itu bisa terwujud, perlu kesadaran
tinggi dan tekad kuat untuk membuang kebiasaan-kebiasan kontra produktif dan
memperbanyak hal-hal sebaliknya. Jika hal-hal positif yang bisa dicontoh dari
pendatang saya pikir tak ada salahnya untuk dilakukan. Bagaimanapun juga,
memperbaiki diri sendiri jauh lebih berguna dibandingkan menyalahkan persaingan
yang terjadi.
Saya
paham bahwa ada hal-hal fundamental yang membuat tantangan persaingan menjadi
lebih besar di sisi semeton jika dibandingkan dengan pendatang. Aktivitas adat
misalnya; wajib dipenuhi oleh semeton Bali, sementara samasekali tidak bagi
pendatang. Hal ini membuat warung/toko semeton Bali menjadi lebih sering tutup
dibandingkan milik pendatang. Dan, secara keseluruhan, membuat upaya yang
dibutuhkan juga lebih keras.
Namun,
saya pikir hal itu masih bisa disiasati. Misalnya dengan menugaskan
anak/ponakan/adik/anggota keluarga lainnya untuk jaga warung atau toko. Kalau
perlu mungkin bisa angkat pegawai seperti yang dilakukan oleh
minimarket-minimarket. Sedangkan untuk “menyamabraya” mungkin tetap bisa
dilakukan oleh salah satu anggota keluarga saja, misalnya: ayah saja atau ibu
saja atau anak tertua saja.
Bagaimanapun
juga, perlu fleksibilitas di sisi awig adatnya itu sendiri. Sebab jika tidak,
suatu saat nanti ketika persaingan hidup makin ketat akan sampai pada titik
pilihan antara: tetap mempertahankan adat ATAU meninggalkannya. Agar hal itu
tidak terjadi, perlu perubahan gradual, sehingga masih punya kesempatan untuk
memilah mana yang prinsipiil thus harus dipertahankan, dan mana yang tidak
prinsipiil thus boleh fleksibel.
Di luar
beban kewajiban adat, berada di zona aman karena merasa berada di daerah
sendiri, apalagi jika masih punya tanah warisan, mungkin juga membuat
daya-juang menjadi kurang maksimal. Namun yang namanya harta, sebanyak apapun,
jika tak dikelola dengan baik lama-lama juga habis, lalu tanpa disadari
tahu-tahu “permukaan air sudah nyaris menyentuh hidung,” jika tak segera
bangkit sebentar lagi bisa tenggelam. Ayo bangkit semeton Bali, dan jadilah
tuan di tanah sendiri!
Post Comment
+ komentar + 5 komentar
AJOQQ menyediakan 8 permainan yang terdiri dari :
Poker,Domino99 ,BandarQ,BandarPoker,Capsa,AduQ,Sakong,Bandar66 ( NEW GAME )
Ayo segera bergabung bersama kami di AJOQQ :)
Bonus : Rollingan 0.3% dan Referral 20% :)
agen365 menyediakan game : sbobet, ibcbet, casino, togel dll
ayo segera bergabung bersama kami di agen365*com
pin bbm :2B389877
Pasang Taruhanmu Malam Ini Hanya Di www(dot)updatebetting(dot)co
Untuk Info Cara Daftar Silahkan Hubungi CS Kami Di Bawah Ini :
BBM 7ACD8560, Whatsapp (+855) 979542957, Line Updatebetting
mari bergabung dengan kami di ionqq_C0M
menangkan uang jutaan rupiah
ditunggu apa lagi segera bergabung yuk dengan kami ^^
informasi yang menarik...
Aplikasi Kasir Android Offline
Post a Comment