Headlines News :
Home » , » Polemik Desa Adat dengan Desa Dinas di Bali (Memahami Hakikat Rwabhineda)

Polemik Desa Adat dengan Desa Dinas di Bali (Memahami Hakikat Rwabhineda)

Written By Unknown on Friday, November 21, 2014 | 10:06 AM

DUMAI - Berlakunya UU No. 6/2014 tentang Desa menuai pro kontra di Bali. Persoalannya, yang didaftarkan harus satu, desa adat atau dinas. Dengan demikian masyarakat Bali harus memilih. Padahal status desa adat dan dinas bukanlah pilihan. Karena di Bali keduanya berjalan sinergis. Sebagaimana dikemukakan oleh seorang Antroplog Inggris, Mark Hobart (1975), yang dikutip oleh I Gde Parimartha dalam orasi ilmiah bertajuk “Memahami Desa Adat, Desa Dinas, dan Desa Pakraman” pada pengukuhannya sebagai guru besar dalam bidang sejarah di Universitas Udayana tahun 2003. Bahwa Bali dapat dijadikan contoh dari sebuah masyarakat, karena pembagian fungsi adalah jelas dalam jabatan-jabatan pemerintahan, dan peranan politik informal adalah penting. Bentuk ganda dari pemerintahan desa di Bali adalah sebagai wujud keharmonisan dari kehidupan masyarakatnya.
 
Ilustrasi ( www.kaskus.co.id)

Namun dalam perjalanannya kemudian, dengan keluarnya Perda No. 3/2001 tentang Desa Pakraman, yang terkesan tidak lebih hanya sebagai pengganti istilah desa adat, yang dipandang sebagai istilah usang dan dianggap sebagai warisan Belanda (penjajah). Seolah dengan perubahan itu bisa meniadakan fakta sejarah, bahwa Bali pernah menjadi tanah jajahan Belanda. Padahal istilah adat berasal dari kata Arab, sudah diterima luas sebelum Belanda menjajah Bali. Istilah adat sebagai unsur kata serapan memperkaya perbendaharaan kata, apalagi maknanya tidak berubah, semestinya tidak menjadi persoalan sehingga harus diganti.

Sementara pengganti katanya, pakraman, kini memiliki arti tambahan. Pakraman awalnya dipahami betul sebagai tata hubungan antarwarga (krama). Dalam orasi ilmianya itu, I Gde Parimartha mengemukakan bahwa istilah desa pakraman yang diharapkan memperbaiki citra, mengembalikan peran dan fungsi desa yang hilang itu, justru membuat bingung sebagian besar masyarakat Bali. Ada yang bisa menerima ada pula yang menolak, sementara pemerintah tidak dapat memaksakan ketentuan dari perda tersebut.

Perkembangan masyarakat Bali saat ini mengakibatkan perubahan sosial budaya yang signifikan. Sekarang tidak semua orang Bali beragama Hindu, namun mereka tidak bisa total meninggalkan budayanya. Padahal adat Bali merupakan warisan nilai-nilai tradisi dan budaya yang bersumber dari ajaran agama Hindu. Hal ini diperparah lagi oleh perilaku masyarakat adat Bali, yang kini makin rancu dalam mengejawantahkan warisan leluhurnya. Gagal membedakan yang mana urusan adat dan mana yang menjadi urusan dinas. Masyarakat cenderung mendinaskan urusan adat. Misalnya acara mendem padagingan oleh pejabat dinas, ada juga acara nganyarin oleh pemerintah kabupaten di Pura-pura sad/dang khayangan, sampai ke luar Bali.

Kemudian adanya perkembangan baru, masyarakat Bali ada yang berkelompok berdasarkan siwa-sisya, tidak lagi menganut hubungan kaula-gusti. Bahkan kini dengan bangganya para pengkapling lahan untuk perumahan menamakan kompleks perumahannya dengan nama ‘’Puri Anu’’ dan ‘’Griya Ini’’. Padahal mereka tahu betul istilah ‘’Puri’’ dan ‘’Griya’’ punya makna dan nilai khusus dalam tradisi Bali, bukan sekadar istilah yang mengacu pada pengertian rumah (jamak).

Satu hal yang mencolok adalah makin langkanya penutur berbahasa Bali. Masyarakat Bali sekarang sudah makin jarang menggunakan sor-singgih dalam bahasa Bali.

Berdasarkan perkembangan tersebut, berarti ada kecenderungan masyarakat Bali sendiri untuk melebur desa adatnya dalam desa dinas. Namun dalam batas-batas tertentu masih menyisakan kekhawatiran yang sulit diungkapkan, mungkin ada ketakutan terhadap leluhurnya, sehingga menimbulkan sikap ragu-ragu dalam menentukan pilihan. Bagaimana sebaiknya, apakah desa dinas ataukah desa adat?

Ketika harus memilih antara desa adat dan dinas, maka masyarakat Bali hendaknya mempertimbangkan memilih istilah desa saja. Karena di Bali tidak seharusnya ada dikotomi desa adat dan dinas, keduanya bersinergi (berperan ganda) dalam membangun kesejahteraan masyarakatnya. Bila orang memahami hakikat dari rwabhineda, maka desa adat dan dinas ini adalah manifestasi dari filosofi rwabhineda. Sederhananya, seperti kehidupan seseorang, ketika berada di kantor dia adalah pejabat negara, ketika berada di rumah dia adalah anggota keluarga yang berkedudukan, kalau bapak, sebagai kepala keluarga. Yang harus tetap dijaga adalah jangan sampai jabatan di kantor digunakan di rumah, demikian pula sebaliknya.

Masyarakat Bali juga mengenal istilah desa, kala, patra dan ilikita. Demikian pula dengan istilah desa mawa cara. Nilai-nilai tersebut menunjukkan bagaimana konsep rwabhineda itu diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat di Bali. Persoalannya apakah nilai-nilai tersebut dianggap masih relevan dengan dinamika kehidupan masyarakat Bali sekarang. Kalau tidak, lalu dengan apa dan bagaimana masyarakat Bali melestarikan budayanya? Kalau tradisi dan budaya Bali sulit dipahami sekarang, bukan berarti nilai-nilai itu tidak sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakatnya. Jangan sampai seperti kata pepatah, karena tidak mahir menari, maka tukang tabuh gamelan tidak bisa menabuh, dan panggungnya kekecilan. Perilaku seperti itu lebih parah dari sikap, buruk muka cermin dibelah.

Coba direnungkan, bila adat di-dinas-kan, maka bupati atau wali kota yang mendapat tugas mendem padagingan bisa menjadi tugas yang runyam. Karena bisa saja bupati atau wali kota yang terpilih secara demokratis, baik secara langsung maupun tak langsung, ternyata menganut agama non-Hindu. Apakah dia masih bertugas mendem padagingan? Demikian pula dengan tugas dan fungsi pecalang, ada yang jadi juru parkir, mengatur lalu lintas, tukang pungut “pajak” tidak resmi, bahkan mengawal orang demo. Fenomena ini tentu menimbulkan pertanyaan, sebenarnya apakah tugas pokok dan fungsi pecalang dalam desa adat? Inilah persoalan yang belum dipikirkan sebelumnya. Oleh sebab itu, kembalikan peranan dan fungsi adat Bali seperti dulu, tentu dengan kesadaran penuh akan manfaat dari pelestariannya bagi masyarakat Bali. Sebab, tanpa manfaat yang lebih besar, baik secara ekonomi, sosial dan budaya sebagai perwujudan bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, maka akan sulit mengajak masyarakat Bali mempertahankan adat Balinya.



Share this post :

Post Comment

Post a Comment

 
Support : Copyright © 2015. Hindu Damai - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger
UA-51305274-1