DUMAI
- Berlakunya
UU No. 6/2014 tentang Desa menuai pro kontra di Bali. Persoalannya, yang
didaftarkan harus satu, desa adat atau dinas. Dengan demikian masyarakat Bali
harus memilih. Padahal status desa adat dan dinas bukanlah pilihan. Karena di
Bali keduanya berjalan sinergis. Sebagaimana dikemukakan oleh seorang Antroplog
Inggris, Mark Hobart (1975), yang dikutip oleh I Gde Parimartha dalam orasi
ilmiah bertajuk “Memahami Desa Adat, Desa Dinas, dan Desa Pakraman” pada
pengukuhannya sebagai guru besar dalam bidang sejarah di Universitas Udayana
tahun 2003. Bahwa Bali dapat dijadikan contoh dari sebuah masyarakat, karena
pembagian fungsi adalah jelas dalam jabatan-jabatan pemerintahan, dan peranan
politik informal adalah penting. Bentuk ganda dari pemerintahan desa di Bali
adalah sebagai wujud keharmonisan dari kehidupan masyarakatnya.
Namun
dalam perjalanannya kemudian, dengan keluarnya Perda No. 3/2001 tentang Desa Pakraman,
yang terkesan tidak lebih hanya sebagai pengganti istilah desa adat, yang
dipandang sebagai istilah usang dan dianggap sebagai warisan Belanda
(penjajah). Seolah dengan perubahan itu bisa meniadakan fakta sejarah, bahwa
Bali pernah menjadi tanah jajahan Belanda. Padahal istilah adat berasal dari
kata Arab, sudah diterima luas sebelum Belanda menjajah Bali. Istilah adat
sebagai unsur kata serapan memperkaya perbendaharaan kata, apalagi maknanya
tidak berubah, semestinya tidak menjadi persoalan sehingga harus diganti.
Sementara
pengganti katanya, pakraman, kini memiliki arti tambahan. Pakraman awalnya
dipahami betul sebagai tata hubungan antarwarga (krama). Dalam orasi ilmianya
itu, I Gde Parimartha mengemukakan bahwa istilah desa pakraman yang diharapkan
memperbaiki citra, mengembalikan peran dan fungsi desa yang hilang itu, justru
membuat bingung sebagian besar masyarakat Bali. Ada yang bisa menerima ada pula
yang menolak, sementara pemerintah tidak dapat memaksakan ketentuan dari perda
tersebut.
Perkembangan
masyarakat Bali saat ini mengakibatkan perubahan sosial budaya yang signifikan.
Sekarang tidak semua orang Bali beragama Hindu, namun mereka tidak bisa total
meninggalkan budayanya. Padahal adat Bali merupakan warisan nilai-nilai tradisi
dan budaya yang bersumber dari ajaran agama Hindu. Hal ini diperparah lagi oleh
perilaku masyarakat adat Bali, yang kini makin rancu dalam mengejawantahkan
warisan leluhurnya. Gagal membedakan yang mana urusan adat dan mana yang
menjadi urusan dinas. Masyarakat cenderung mendinaskan urusan adat. Misalnya
acara mendem padagingan oleh pejabat dinas, ada juga acara nganyarin oleh
pemerintah kabupaten di Pura-pura sad/dang khayangan, sampai ke luar Bali.
Kemudian
adanya perkembangan baru, masyarakat Bali ada yang berkelompok berdasarkan
siwa-sisya, tidak lagi menganut hubungan kaula-gusti. Bahkan kini dengan
bangganya para pengkapling lahan untuk perumahan menamakan kompleks
perumahannya dengan nama ‘’Puri Anu’’ dan ‘’Griya Ini’’. Padahal mereka tahu
betul istilah ‘’Puri’’ dan ‘’Griya’’ punya makna dan nilai khusus dalam tradisi
Bali, bukan sekadar istilah yang mengacu pada pengertian rumah (jamak).
Satu
hal yang mencolok adalah makin langkanya penutur berbahasa Bali. Masyarakat
Bali sekarang sudah makin jarang menggunakan sor-singgih dalam bahasa Bali.
Berdasarkan
perkembangan tersebut, berarti ada kecenderungan masyarakat Bali sendiri untuk
melebur desa adatnya dalam desa dinas. Namun dalam batas-batas tertentu masih
menyisakan kekhawatiran yang sulit diungkapkan, mungkin ada ketakutan terhadap
leluhurnya, sehingga menimbulkan sikap ragu-ragu dalam menentukan pilihan.
Bagaimana sebaiknya, apakah desa dinas ataukah desa adat?
Ketika
harus memilih antara desa adat dan dinas, maka masyarakat Bali hendaknya
mempertimbangkan memilih istilah desa saja. Karena di Bali tidak seharusnya ada
dikotomi desa adat dan dinas, keduanya bersinergi (berperan ganda) dalam
membangun kesejahteraan masyarakatnya. Bila orang memahami hakikat dari
rwabhineda, maka desa adat dan dinas ini adalah manifestasi dari filosofi
rwabhineda. Sederhananya, seperti kehidupan seseorang, ketika berada di kantor
dia adalah pejabat negara, ketika berada di rumah dia adalah anggota keluarga
yang berkedudukan, kalau bapak, sebagai kepala keluarga. Yang harus tetap
dijaga adalah jangan sampai jabatan di kantor digunakan di rumah, demikian pula
sebaliknya.
Masyarakat
Bali juga mengenal istilah desa, kala, patra dan ilikita. Demikian pula dengan
istilah desa mawa cara. Nilai-nilai tersebut menunjukkan bagaimana konsep
rwabhineda itu diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat di Bali.
Persoalannya apakah nilai-nilai tersebut dianggap masih relevan dengan dinamika
kehidupan masyarakat Bali sekarang. Kalau tidak, lalu dengan apa dan bagaimana
masyarakat Bali melestarikan budayanya? Kalau tradisi dan budaya Bali sulit
dipahami sekarang, bukan berarti nilai-nilai itu tidak sesuai dengan dinamika
perkembangan masyarakatnya. Jangan sampai seperti kata pepatah, karena tidak
mahir menari, maka tukang tabuh gamelan tidak bisa menabuh, dan panggungnya
kekecilan. Perilaku seperti itu lebih parah dari sikap, buruk muka cermin
dibelah.
Coba
direnungkan, bila adat di-dinas-kan, maka bupati atau wali kota yang mendapat
tugas mendem padagingan bisa menjadi tugas yang runyam. Karena bisa saja bupati
atau wali kota yang terpilih secara demokratis, baik secara langsung maupun tak
langsung, ternyata menganut agama non-Hindu. Apakah dia masih bertugas mendem
padagingan? Demikian pula dengan tugas dan fungsi pecalang, ada yang jadi juru
parkir, mengatur lalu lintas, tukang pungut “pajak” tidak resmi, bahkan
mengawal orang demo. Fenomena ini tentu menimbulkan pertanyaan, sebenarnya
apakah tugas pokok dan fungsi pecalang dalam desa adat? Inilah persoalan yang
belum dipikirkan sebelumnya. Oleh sebab itu, kembalikan peranan dan fungsi adat
Bali seperti dulu, tentu dengan kesadaran penuh akan manfaat dari
pelestariannya bagi masyarakat Bali. Sebab, tanpa manfaat yang lebih besar,
baik secara ekonomi, sosial dan budaya sebagai perwujudan bakti kepada Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, maka akan sulit mengajak masyarakat Bali mempertahankan adat
Balinya.
Post Comment
Post a Comment