Arca di Pura (popbali.com) |
DUMAI
- Salah satu
jenis destinasi wisata di Bali yang banyak dikunjungi oleh wisatawan adalah
Pura, entah yang berdiri sendiri seperti Pura Tanah Lot atau yang berkelompok
seperti komplek Pura Besakih. Dan obyek pemandangan yang selalu menarik bagi
pengunjung adalah patung-patung dan relief-relief yang ada di dalamnya.
Begitu banyak ragam patung dan relief
di berbagai pura di Bali hingga tak heran jika meninggalkan beragam kesan bagi
wisatawan. Namun jika dikelompok berdasarkan tampilan fisiknya, maka relief dan
patung-patung di Bali menampilkan 4 ragam bentuk/wujud, setidaknya dalam
pandangan penulis, yaitu:
1.
Rupawan dan Indah,
misalnya: Patung sosok Dewa yang rupawan atau Dewi yang cantik. Pokoknya serba
indah dan enak dipandang mata.
2.
Seram dan Menakutkan,
misalnya: patung dan relief bersosok raksasa atau hewan mistis seperti Naga
atau Garuda atau Macan yang juga tak kalah seramnya. Pokoknya bentuk-bentuk menakutkan.
3.
Biasa saja Namun Lucu dan Menghibur, misalnya: patung bersosok manusia (biasanya punakawan atau ‘parekan’ dalam bahasa Bali).
4.
Telanjang dan Vulgar,
misalnya: patung telanjang atau relief yang di dalamnya menampilkan sosok-sosok
bugil tanpa busana.
Pertanyaan yang paling sering muncul
sehubungan dengan ragam relief dan patung di Bali, terutama yang nampak aneh
dalam pandangan pengunjung, adalah:
“Mengapa
wujud/sosoknya seperti itu? Mengapa ada yang nampak nyeleneh? Apa itu
sesungguhnya?”
Ada pula yang bertanya dengan nada agak
ekstrim:
“Apakah
orang Bali menyembah batu-batu, dewa-dewa, sosok seram dan wujud-wujud bugil
itu?”
Jika bertanya kepada lebih dari satu
orang Bali maka jawaban atas pertanyaan di atas kemungkinan besar akan beragam.
Sebab masing-masing patung dan relief di Bali memang bukan sekedar benda fisik
yang bersifat hiasan semata. Melainkan simbul-simbul (baca: codex) yang
diekspresikan oleh orang-orang khusus yang disebut “undagi,” dan mengandung
“pesan” bermakna multi-dimensi.
Makna-makna multi-dimensi itu lah yang
membuat wujud patung dan relief di Bali bisa dijelaskan dalam berbagai versi.
Ada yang menjelaskan dari sudut pandang kejadian masa lampau yang oleh orang
Bali disebut “Babad,” ada yang menggunakan perspektif spiritual atau
kerohanian, dan ada pula yang memaparkannya dari aspek nilai filosofis alias
filsafat.
Penulis pribadi tidak meenguasai Babad
dengan baik. Sebagai gantinya, melalui artikel sederhana ini penulis akan
menyampaikan pandangan pribadi dari aspek spiritualitas (niskala) dan filosofi
(konsep) yang sudah barang tentu—sedikit/banyaknya—juga dipengaruhi oleh
pemahaman mengenai ragam sudut-pandang yang selama ini lumrah berkembang di Bali.
Patung
dan relief di Tiga Wilayah Spiritual
(Popbali.com) |
Suatu perbuatan baik—dalam sistim
kepercayaan umat Hindu di Bali—tidak boleh merusak tatanan yang ada. Dengan
kata lain, perbuatan baik tak cukup hanya menyenangkan Tuhan dan segala
manifestasinya saja, melainkan juga harus tetap menjaga hubungan harmonis
antara manusia dengan lingkungannya (manusia dan mahluk ciptaan Tuhan lainnya).
Sebab, membina hubungan yang harmonis dengan mahluk lain adalah satu-satunya cara yang bisa dilakukan
oleh manusia untuk membuktikan kesungguhannya dalam memuja Tuhan. Sedangkan
memuja Tuhan tanpa menajaga hubungan harmonis dengan mahluk ciptaanNYA yang
lain sama saja dengan kepalsuan.
Upaya menjaga hubungan harmonis ini
dituangkan dalam tuntunan hidup praktikal yang disebut “Tri Hita Karana,” yakni
konsep 3 hubungan harmonis antara:
1.
Manusia
dengan Tuhan dan segala manifestasiNya (Parahiyangan);
2.
Manusia
dengan manusia lainnya (Pawongan); dan
3.
Manusia
dengan mahluk ciptaan Tuhan lainnya (Palemahan).
Agar upaya menjaga hubungan harmonis
bisa terlaksana secara efektif, sesuai dengan tuntunan Tri Hita Karana, maka
lingkungan yang ada dibagi menjadi 3 wilayah spiritual yang disebut “Mandala“.
Konsep pembagian lingkungan menjadi 3 wilayah ini, khususnya di areal Pura,
disebut dengan “Tri Mandala.” Masing-masing bagian dari 3 mandala ini
menunjukkan ciri khas tersendiri dalam penempatan bangunan beserta segala
isinya, termasuk patung dan relief, sesuai peruntukannya, yakni sbb:
1.
Jaba Mandala
Jaba
Mandala (=wilayah luar) adalah wilayah Palemahan, yakni ruang untuk membina
hubungan harmonis antara manusia dengan mahluk ciptaan Tuhan lainnya seperti
tumbuh-tumbuhan, hewan, termasuk para Buthakala (=entitas yang tak terlihat
secara kasat mata).
Nah,
patung dan relief yang ditempatkan di wilayah ini biasanya yang bersosok
SERAM/MENAKUTKAN yang merupakan representasi dari “mahluk ciptaan Tuhan
lainnya,” entah itu yang bersosok raksasa atau hewan mistis seperti
macan/ular/naga dan sejenisnya.
(Popbali.com) |
Misalnya: takut dibenci, takut
diabaikan, takut dispelekan, takut dihina, takut ditolak, takut rugi, takut gagal, takut miskian, takut
sakit, takut menderita, takut kehilangan, dan takut mati. Padahal semua yang
ditakuti itu adalah sisi lain dari apa yang manusia inginkan (dicintai,
disayangi, dihargai, dihormati, diterima, untung, sukses, sejahtera, sehat,
bahagia, menerima, hidup).
Ketakutan-ketakutan tersebut
kemudian mendorong manusia untuk bertindak semaunya tanpa etika dan moral thus
menyerupai karakter hewan, atau bertindak kejam tanpa rasa welas asih thus
menyerupai karakter raksasa, untuk sekedar mendapat keyakinan semu bahwa dirinya
bisa terhindar dari kondisi-kondisi menakutkan tersebut.
Lepas dari keyakinan ada atau
tidak adanya sosok menakutkan dalam kehidupan nyata, bentuk patung dan relief
bersosok menakutkan dan hewan mistis dalam wilayah ini mewakili kondisi gelap
(awidya) dan dominasi rasa takut yang dialami oleh manusia, sebelum memiliki
kesadaran spiritual.
Mereka yang belum mengenal atau
belum memahami konsep ini, tentunya memandang sosok di wilayah ini sebagai
sosok yang seram dan menakutkan. Sebagian diantaranya mungkin menyebutnya
sebagai sosok “Setan” atau “Iblis” dan yang sejenisnya. Padahal, hal-hal yang
menakutkan itu adalah bayangan gelap dari dirinya sendiri yang belum memiliki
kesadaran spiritual.
2.
Madya Mandala
Madia Mandala (=wilayah tengah)
adalah wilayah Pawongan, yakni ruang untuk membina hubungan harmonis antara
manusia dengan manusia lainnya.
Pada acara ‘Piodalan Ageng’
(=persembahyangan besar), oleh umat wilayah ini difungsikan sebagai tempat
untuk mempersiapan acara persembahyangan. Misalnya: membuat dan menyiapkan
peralatan sembahyang, memasak, makan dan istirahat. Sehingga yang terjadi di
wilayah ini adalah interaksi manusia dengan manusia lainnya, sesama umat di
Pura yang sama.
Patung dan relief yang
ditempatkan di wilayah ini biasanya jenis parekan (=punakawan) yang bersosok
manusia sepenuhnya atau patung-patung yang digambarkan sebagai sosok bertubuh
manusia namun masih berkepala raksasa.
Dari perspektif SPIRITUAL,
wilayah yang lumrah disebut “Jaba Tengah” ini mewakili fase kesadaran awal
manusia akan jatidirinya; mulai tahu bahwa dirinya adalah “roh yang memiliki
tubuh,” dan BUKAN “tubuh yang memiliki roh” seperti pada fase awidya di wilayah
Jaba Mandala.
Namun, kesadaran yang timbul
dalam fase tengah ini belum mampu membawa manusia keluar dari jebakan dualitas;
masih memandang gelap terpisah dari terang, penyakit terpisah dari kesehatan,
kegagalan terpisah dari keberhasilan, derita terpisah dari bahagia, duka
terpisah dari suka, dan kematian terpisah dari kelahiran. Padahal masing-masing
merupakan satu kesatuan; hanya berada di sisi yang berbeda.
Dengan kata lain, dalam fase
ini manusia telah memiliki kesadaran spiritual namun belum mampu
mengaplikasikannya ke dalam perilaku (pikiran-ucapan-dan-tindakan) sehari-hari.
Jikapun sudah mulai mampu, kondisinya masih belum stabil, belum konsisten,
masih angin-anginan; kadang ingat Tuhan kadang lupa, kadang rajin bersembahyang
kadang malas, bersukur saat beruntung namun mengeluh saat apes, kadang rajin
bermeditasi kadang malas, kadang ingat berpuasa kadang lupa, kadang sabar
kadang tak sabar, kadang penyayang kadang kejam, KADANG SADAR KADANG TAK SADAR,
dan KADANG WIDYA KADANG MASIH AWIDYA.
Kesadaran yang masih bersifat
fluktuatif inilah membuat seseorang sesekali masih menunjukkan perilaku hewani
yang tuna-moral atau perialku keraksasaan yang kejam-bengis tanpa welas asih.
Patung bertubuh manusia
berkepala raksasa di wilayah Jaba Tengah ini mewakili karakter dan perilaku
manusia yang masih cenderung berfluktuasi; kadang baik kadang jahat, kadang
berbuat kebajikan kadang berbuat kejahatan, kadang sadar kadang tak sadar, dan
kadang widya kadang awidya.
Umat manusia di muka Bumi ini,
mayoritas berada pada fase tengah ini dan berkesadaran fluktuatif. Itu sebabnya
fase ini juga diwakili oleh patung-patung dan relief-relief bersosok manusia
kebanyakan. Khusus di Bali, sosok manusia kebanyakan digambarkan sebagai sosok
“Parekan” (=punakawan).
3.
Utama Mandala
Utama Mandala (=wilayah utama)
adalah wilayah Parahiyangan, yakni ruang untuk membina hubungan harmonis antara
Manusia dengan Tuhan dan segala manifestasinya. Konkretnya, tempat untuk
melakukan aktivitas pemujaan terhadap Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan
segala manifestasinya. Patung dan relief yang banyak ditemukan di wilayah Utama
Mandala ini adalah yang bersosok DEWA-DEWI (=manifestasi Tuhan dalam
menjalankan fungsi tertentu), yang berparas RUPAWAN. Sosok laki-lakinya
berwajah tampan, sementara sosok wanitanya berparas cantik, lengkap dengan
gelung indahnya. Sosok yang nyaris sempurna.
(Popbali.com) |
Patung dan relief di wilayah
Utama Mandala, yang nampak INDAH dan RUPAWAN itu, mewakili keindahan dari fase
kesadaran spiritual yang mendekati kondisi sempurna.
CATATAN: Patung dan Relief
Telanjang
Diantara tiga ragam yang telah
disebutkan di atas, kadang ada (di sana-sini) patung atau relief yang TELANJANG
, TANPA BUSANA alias BUGIL. Patung dan relief seperti ini bisa ada dimana saja
diantara Jaba (luar), Madia (tengah) dan Utama (dalam) Mandala. Ini yang kerap
menarik perhatian sekaligus mengundang pertanyaan pengunjung.
Dari perspektif SPIRITUAL, tanpa busana atau telanjang atau bugil
adalah suatu kondisi dimana seseorang melepaskan atribut-atribut/label-label/jabatan-jabatan/strata-strata
dan hal-hal yang sifatnya hanya ‘bungkus’ luar, hingga yang tersisa hanya diri
yang sejati, yakni roh/spirit murni yang bebas dari kontaminasi materialitas
atau keduniawian. Melapaskan ‘bungkus’ adalah hal paling fundamental yang harus
dilakukan oleh siapa saja yang menapaki jalan spiritual. Pesan inilah yang disampaikan lewat patung
atau relief bersosok telanjang yang ada entah di dalam Pura atau dindingnya.
Lalu, bagaimana pesan-pesan spiritual itu dilaksanakan?
Aktivitas spiritual di Bali
dilaksanakan secara berkala atau terjadwal, dan secara harian. Secara terjadwal
persembahyangan dilakukan di berbagai pura pada hari-hari (suci) tertentu yang
disebut “rerainan” ATAU pada bulan tertentu yang disebut “piodalan.”
Saat bersembahyang di Pura,
seseorang diharapkan bisa membedakan mana wilayah Jaba, Madia dan Utama Mandala
Pura. Konkretnya sbb:
Saat masih berada di luar areal
Pura (Jaba Mandala/Jaba Pura), mungkin dia masih dipengaruhi oleh
karakter/pemikiran yang cenderung bersifat hewani dan keraksasaan (awidya).
Begitu akan memasuki wilayah tengah (Madia Mandala/Jaba Tengah) Pura, dia
diperciki ‘Tirta’ (=air suci) dan ‘tepung tawar,’ maksudnya untuk mengingatkan
agar melepaskan sifat-sifat hewani dan keraksasaannya guna menjadi manusia
seutuhnya. Dan ketika akan memasuki wilayah Utama Mandala (Jeroan) Pura, dia
harus melewati ‘candi kurung’ sebagai penanda sekaligus pengingat bahwa wilayah
yang akan dimasuki adalah wilayah suci, wilayah dimana seseorang diharapkan sudah
benar-benar terbebas samasekali dari karakter/pemikiran yang bersifat awidya
guna bisa membina hubungan yang harmonis dengan Tuhan dan segala
manifestasinya.
(popbali.com) |
Apakah itu benar-benar bisa dilaksanakan?
Tak jauh berbeda dengan
ajaran-ajaran lainnya, spirtualitas Hindu juga mudah diucapkan namun tak mudah
dalam pelaksanaannya; melepaskan diri dari jebakan dualitas bukan sesuatu yang
mudah. Menerima realitas (kebenaran) sebagai sesuatu yang telah sempurna—thus
tak perlu dikeluhkan—juga tidak gampang.
Namun, setidaknya, itulah
pesan-pesan spiritual yang ingin disampaikan lewat ragam patung dan relief yang
ada di berbagai Pura di Bali. Itulah arah jalan spiritual yang ditunjukkan.
Perkara percaya simbul (codex) dan petunjuk yang disampaikan atau tidak,
perkara mengikuti petunjuk itu atau tidak, tentunya dikembalikan pada individu
masing-masing.
Apakah menurut anda, penjelasan di atas masuk-akal?
Bagi anda, semeton, yang lebih
percaya pada akal (dan proses pencarian sendiri) dibandingkan simbul dan pesan
sepiritual, saya ingin mengajak anda untuk melihat ragam patung dan relief ini
dalam perspektif yang agak berbeda, yaitu dari “pemikiran” filosofis (baca yang
berikut ini.)
Patung dan Relief Sebagai Representasi Wajah Kebenaran
Sebelum lebih jauh, kiranya
perlu saya sampaikan bahwa apa yang akan saya uraikan pada bagian ini adalah
murni hasil pemikiran dan kontemplasi saya pribadi. Jadi mohon untuk tidak
repot-repot memikirkan rujukan atau referensi. Silahkan gunakan jika dirasa
cocok dan abaikan jika sebaliknya.
Dalam pandangan saya pribadi,
ragam patung dan relief yang ada di berbagai Pura di Bali merupakan
representasi dari “wajah kebenaran.”
Apa itu kebenaran?
Begitu sering kita mendengar
kata “kebenaran.” Dan, begitu banyak orang dari berbagai macam latarbelakang
(yang tentu memiliki motivasi berberbeda-beda) mengungkapkan definisinya.
Ada 2 model kebenaran yang
paling banyak digunakan sampai saat ini, yaitu:
1. Kebenaran atas dasar keyakinan (baca: kebenaran iman), dimana
sesuatu menjadi benar semata-mata karena DIYAKINI. Model kebenaran ini berasal
dari konsep-konsep sistim keperayaan, terutama sistim kepercayaan dunia barat
yang menarik garis pembatas antara “benar” dengan “salah” secara tegas
berdasarkan doktrin dan dalil-dalil agama. Sesuatu disebut kebenaran bila
sesuai dengan doktrin dan dalil agama, dan disebut ketidakbenaran bila
bertentangan.
2. Kebenaran atas dasar konsensus (baca: kebenaran konsensus),
dimana sesuatu menjadi benar semata-mata karena DISEPAKATI. Model kebenaran ini
berasal dari konsep-konsep sistim sosial-politik yang menarik garis pembatas
antara “benar” dan “salah” secara tegas berdasarkan dalil-dalik hukum dan
kesepakatan-kesepakatan (Konvensi, Undang-Undang, Kepres, Kepmen, Perda, Awig
Adat, dlsb). Sesuatu disebut kebenaran bila sesuai dengan UU atau peraturan,
dan disebut ketidakbenaran bila bertentangan.
Meskipun sumber dan landasannya
berbeda, kedua model kebenaran ini memiliki persamaan pola, yakni: kebenaran
dipandang sebagai sesuatu yang bersifat “baik” thus harus dipatuhi dan
ditegakkan. Sedangkan ketidakbenaran bersifat “buruk” thus harus dicegah,
dibuang jauh-jauh, dihindari, diberantas. Dan dalam kondisi tertentu, jika
perlu, kebenaran harus dibela agar jangan sampai dikalahkan oleh
ketidakbenaran.
Kelemahan dari kedua model ini,
setidaknya dari sudut pandang filsafat, adalah sama-sama hanya bersumber dari
konsepsi dan persepsi belaka. Sementara, konsepsi dan persepsi masing-masing
individu bisa berbeda antara satu dengan yang lainnya, sesuai dengan
latarbelakang pengalamannya. Hal inilah yang kemudian membuat kedua model
kebenaran ini tidak bersifat unviversal; nilai kebenarannya hanya berlaku di
suatu komunitas/wilayah tertentu saja.
Ilustrasi: pembantaian oleh ISIS (Dailysurge.com) |
Masalah utama dari kedua model
kebenaran di atas adalah sama-sama bisa menjadi pemicu konflik ketika suatu
model kebenaran berbenturan dengan model kebenaran lainnya. Di sepanjang
sejarah manusia, setidaknya sejak tahun 1 Masehi hingga sekarang, konflik model
kebenaran iman (agama)-dan-konsensus (politik)-lah yang paling banyak
menimbulkan chaos, huru-hara, dan bentuk kekecauan lainnya yang menelan banyak
korban.
Yang sedikit lebih universal
dibandingkan kebenaran iman dan konsensus adalah kebenaran atas dasar SAINS,
dimana sesuatu dikatakan sebuah kebenaran hanya bila telah melalui UJI KEILMUAN
(sains). Model kebenaran ini berasal dari observasi-observasi dan pengumpulan
bukti (baca: data) yang kemudian diuji dengan menggunakan metode ilmiah
tertentu. Kelemahan terbesar dari model kebenaran sains adalah adanya
generalisasi dalam proses penyimpulannya, sementara setiap entitas di alam
semesta bersifat unik (tidak bisa digeneralisasi). Kelemahan berikutnya dari
model ini adalah sifatnya yang temporal (hanya benar sampai muncul temuan baru
beserta pengujian yang menunjukkan hal berbeda.)
Adakah model kebenaran yang bersifat universal dan absolut?
Satu-satunya model kebenaran
yang sungguh-sungguh bersifat universal dan absolut adalah kebenaran REALITAS,
dimana sesuatu dipandang sebagai sebuah kebenaran bila berupa realitas murni
yang tidak atau belum terkontaminasi oleh persepsi, konsepsi, atribut dan
pemikiran-pemikiran subyektif.
Misalnya: Apa kebenaran Anda?
Dalam pandangan filsafat, Anda
adalah “Anda sendiri sebagaimana adanya” yang samasekali bebas dari embel-embel
nama/senioritas/profesi/kasta/strata-ekonomi/latarbelakang-pendidikan/gender/orientasi-seks/suku/etnis/agama/kepercayaan/ras/golongan/bangsa/dll,
samasekali tidak termanipulasi oleh persepsi dan konsepsi. Lepaskan “topeng”
yang melekat, suka-atau-tidak, baaik-atau-buruk, itulah sejatinya Anda yang
sebenar-benarnya.
Model kebenaran ini lah yang
digunakan dalam Filsafat, termasuk Filsafat Hindu.
Kebenaran dalam filsafat Hindu
adalah REALITAS MURNI (sebagaimana adanya). Sedangkan embel-embel atribut yang
nampak dalam pandangan manusia bukanlah bagian dari kebenaran itu sendiri,
melainkan hanya “WAJAH KEBENARAN” yang berasal dari persepsi dan konsepsi yang
dihasilkan oleh logika dan ego manusia.
Ilustrasi: Topeng (Balinesedans.nl) |
Nah, wajah kebenaran inilah yang bersifat relative thus nampak
sebagai wujud/sosok yang beragam dalam pandangan manusia, sesuai dengan
kesadaran spiritualnya masing-masing, seperti wujud/sosok patung dan relief
yang ada di berbagai pura di Bali yang juga beragam.
Di mata manusia yang telah
terbebas dari jebakan dualitas, realitas (baca: kebenaran) nampak INDAH DAN
RUPAWAN, seindah dan serupawan patung-patung dan relief-relief yang ada di
berbagai Pura di Bali. Bagi mereka, realitas tetaplah realitas, kebenaran
tetaplah kebenaran, maha karyaNYA yang telah sempurna, thus nampak indah
seindah patung dan relief yang ada di berbagai pura di Bali, terlepas dari
apapun wujudnya; baik itu keberhasilan-atau-kegagagalan, kaya-atau-miskin,
suka-atau-duka, bahagia-atau-derita, hidup-atau mati, keduanya sama-sama
realitas, keduanya sama-sama beneran yang telah sempurna . Pribadi seperti
inilah yang disebut sebagai orang yang “sudah mampu melihat kebenaran.”
Sebaliknya, bagi mereka yang
tak berani menghadapi realitas, sebagian dari kebenaran (terutama yang tidak
diinginkan) nampak SERAM, seseram patung dan relief yang ada di berbagai pura
di Bali. Bagi mereka, kebenaran itu adalah mimpi buruk, momok yang sungguh
menakutkan. Begitu menakutkan sehingga ada yang sampai lari terbirit-birit, menjauh
dari kebenaran, bahkan ada yang sampai stroke ketika dihadapkan pada kebenaran,
saking takutnya.
Lalu, di mata mereka yang tak
tahu atau tak mau tahu, kebenaran hanyalah PERMAINAN, permainan pikiran atau
kata-kata, sekadar LELUCON untuk ditertawakan.
Terakhir, bagi mereka yang
merasa bermoral tinggi, realitas adalah sesuatu yang VULGAR bahkan PORNO,
sehigga di mata mereka kebenaran yang TELANJANG BULAT adalah sesuatu yang
memalukan. Mungkin itu sebabnya mengapa mereka buru-buru menutupi setiap kebenaran
hadir, sebelum sempat mempermalukan dirinya.
Begitulah ragam wajah kebenaran di mata manusia, sama seperti
ragam patung dan relief yang ada diberbagai pura di Bali; ada yang nampak indah
nan rupawan, ada yang nampak menakutkan, ada yang nampak jenaka, dan ada pula
yang terlihat telanjang bulat, vulgar thus dinilai porno oleh sebagian manusia.
Namun bagiamanapun juga, setidaknya dalam pandangan filsafat Hindu, kebenaran
tetaplah kebenaran, sebuah realitas murni “sebagaimana adanya” terlepas dari
apapun persepsi dan konsepsi manusia.
Post Comment
Post a Comment