Suku Toraja |
DUMAI- Masyarakat Hindu Alukta dan etnis Toraja Barat di
Kabupaten Mamasa sampai saat ini masih “sering dianggap” sebagai penganut
Animisme dan Dinamisme, walaupun secara formal telah menyatakan dan diterima
sebagai bagian integral Hindu di Indonesia sejak 40 tahun silam. Keyakinan ini
dinyatakan bagian integral Hindu di Indonesia sejak Tahun 1964. Akibatnya,
banyak umat Hindu di daerah ini, terutama di bawah tahun 1980-an, melakukan
konversi religius, beralih ke agama lain terutama Agama Kristen.
Untuk memberikan pengetahuan dan sebagai langkah awal
pencerahan bagi umat Hindu, khususnya di Hindu etnis Toraja Barat itu sendiri
terhadap kenyataan-kenyataan seperti diatas maka penulis terdorong memaparkan
sekelumit persoalan Ketuhanan dalam masyarakat Hindu Alukta dan etnis Toraja
Barat di Kabupaten Mamasa. Tulisan ini lebih bersifat deskriptif-eksploratif
dalam arti mencoba mendeskripsikan secara sistematis sebagai upaya menggali
konsep-konsep lokal yang belum pernah tersentuh melalui pendekatan ilmiah.
Urgensi tulisan ini tidak terletak pada validitas
menurut kaidah ilmiah tetapi lebih bersifat informatif, selain kepada umat
Hindu Etnis Toraja Barat, juga kepada cendekiawan Hindu yang memiliki perhatian
besar pada Agama Hindu di Nusantara ini, untuk tergugah melakukan penelitian
yang lebih valid. Dalam tulisan ini akan dipaparkan satu hal pokok yang
menggambarkan bagaimana Tuhan dalam persepsi masyarakat Hindu Alukta dan etnis
Toraja Barat di Kabupaten Mamasa yakni Sumber ajaran Ketuhanan dalam persepsi
Masyarakat Hindu Alukta dari etnis Toraja Barat di Kabupaten Mamasa.
Sumber Ajaran
Ketuhanan
Agama merupakan suatu alat untuk menghayati
keberadaan Tuhan yang bertitik tolak dan kepercayaan, agama berkaitan dengan
usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dan keberadaannya sendiri dan
agama telah menimbulkan khayalan yang paling luas. Pendapat ini didukung oleh
Zenophanes yang menyatakan bahwa agama adalah khayalan manusia, kemudian
menciptakan dewadewa, yang merupakan Tuhan tidak bergerak dan kekal.
Dalam ajaran agama Hindu, keyakinan akan adanya
kuasa yang super natural (Tuhan) itu dijiwai oleh ajaran Veda. Satu-satunya
pemikiran tradisional adalah adanya pernyataan yang menyatakan bahwa Veda
adalah kitab suci agama Hindu. Sebagai kitab suci agama Hindu, maka Veda
diyakini dan dipedomani oleh umat Hindu sebagai satu-satunya sumber bimbingan
dan informasi yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari ataupun untuk
waktu-waktu tertentu.
Veda adalah kitab tertua dari perpustakaan umat
manusia. Kebenaran yang terkandung dalam semua agama berasal dari Veda yang
akhirnya kembali kepada Veda. Veda adalah sumber utama ajaran agama, sumber
tertinggi dan semua sastra agama berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Veda
diwahyukan pada permulaan, adanya pengertian tentang waktu serta tanpa adanya
akhir. Dari Weda inilah mengalir ajaran yang merupakan kebenaran agama Hindu.
Ajaran Weda dikutip kembali dan memberikan vitalitas terhadap kitab-kitab
susastra Hindu pada masa berikutnya, seperti Smrti, Itihasa, Purana Tantra,
Darsana dan Tattwa-Tattwa yang kitawarisi di Indonesia. Weda bukan sebuáh buku
yang tunggal seperti Tri Pitaka atau Injil tetapi keseluruhan susastra yang
muncul berabad-abad yang silam dan diturunkan serta diteruskan dari generasi ke
generasi melalui bahasa lisan. Ketika manusia mengenal peradaban tulisan maka
ajaran tersebut dituliskan sehingga muncullah sumber-sumber tertulis yang
bentuk dan jumlah yang banyak.
Penyebaran ajaran Veda melalui daerah yang luas
serta membutuhkan waktu yang sangat panjang. Menurut Drs. I Gede Sura, seorang
tokoh agama Hindu yang cukup mumpuni, karena luasnya daerah dan panjangnya
waktu yang dilaluinya, maka wajah Veda dapat saja berubah sesuai dengan ruang
dan waktu yang dilaluinya, tetapi esensinya tetap esensi Veda.
Sampai disini, mungkinkah apa yang dipedomani umat
Hindu etnis Toraja Barat merupakan bagian dan Veda. Untuk menjawab ini, tentu
sangat sukar. Data sejarah yang otentik pun tentang bagaimana pengaruh dan
penyebaran agama Hindu seperti yang terjadi di Kutai, Kalimantan Timur,
Tarumanegara di Jawa Barat atau bagaimana pengaruh Kerjaaan Majapahit yang
dikenal Kerajaan Nusantara Kedua setelah Sriwijaya sebagaimana halnya terjadi
di Bali, sepengetahuan penulis belum pernah terungkap. Sumber ajaran Ketuhanan
dalam masyarakat Hindu Etnis Toraja Barat disebut Sukaran Aluk. Kata “Sukaran”
bisa berarti ukuran, patokan, dan pedoman/tuntunan, sedangkan Aluk
berarti : Ajaran Agama, kewajiban, sopan santun/norma-norma, atau aktivitas;
tergantung konteks kalimatnya. Segala aktivitas agama bersumber dan berpedoman
pada sukaran aluk. Jika tidak, maka dianggap utte’kaialuk yaitu secara
harfiah berarti melangkahi aturan agama (aluk) yang maksudnya melanggar aturan
agama.
Sukaran Aluk
diyakini pemeluknya sebagai wahyu Puang Matua. Menurut Bero bahwa salah satu
ciptaan Puang Matua adalah Sukaran Aluk. “Kumombong
Tosanda Sangka‘na untampa lalanna aluk, kumombong pemali sanda saratu”.
Artinya : lahirlah Beliau yang paling
sempurna (baca Puang Matua/Tuhan) untuk menciptakan aturan agama (Aluk),
membuat larangan agama (pemali) yang demikian banyak dan lengkap atau sempurna
(Ungkapan Sanda Saratu’ artinya harfiahnya: serba seratus).
Tarian Toraja "ma'badong" |
Karena Sukaran Aluk adalah wahyu dan Puang Matua
yang merupakan sumber kebenaran tertinggi maka kebenarannyapun tak diragukan
lagi. “Tumompa sanda salunna (dibuat
aturan yang sempurna), Kumombong Sanda
Tonganna (diciptakan dengan kebenaran yang sempurna), demikian keyakinan
umat Hindu terhadap Sukaran Aluk. Karena itu, anggapan-anggapan yang keliru
bahwa apa yang menjadi keyakinan umat Hindu di Kabupaten Mamasa yang lazim
dikenal Aluk To Matua adalah bukan agama wahyu tetapi kebudayaan
manusia semata, dalam arti, agama buatan manusia, tentu tidak beralasan. Hal
yang sama juga pernah dialami masyarakat Hindu pada umumnya. Karena itu, Wiana
berpendapat bahwa orang yang berpendapat demikian sesungguhnya ada dua
kemungkinan. Pertama, tidak mengetahui apalagi memahami, dan kedua menghina
agama Hindu.
Sukaran Aluk sebagai sumber ajaran Agama yang dipedomani
masyarakat Hindu etnis Toraja Barat yang begitu luas, dalam konteks upacara,
pada dasarnya diklasifikasikan menjadi lima bagian. Kelima bagian tersebut
diistilahkan Aluk Limo Raidanna yang terdiri dari :
(1) Aluk Bannne Tau,
(2) Aluk Pandanan Lettong,
(3) Aluk Pa ‘taunan,
(4) Aluk Rambu Solo, dan
(5) Aluk Manuk A’pak.
Kadang-kadang istilah Aluk dalam konsep ini disebut
Pemala, walaupun keduanya memiliki makna yang berbeda. Pemala lebih identik
dengan upacara yadnya, yaitu bentuk pelaksanaan kongkrit dan Aluk. Menurut Mas
Putra bahwa upacara adalah pelaksanaan yadnya sehingga disebut upacara yadnya.
Selanjutnya Sukaran Aluk yang terurai menjadi
Aluk Lima Randanna seperti di atas masih disederhanakan lagi menjadi dua
kategori, yaitu :
(1) Aluk Rambu Tuka, dan
(2) Aluk Rambu Solok.
Empat bagian dalam Aluk Limo Randanna yaitu Aluk Banne Tau, Aluk Pandanna Lettong, Aluk
Pa ‘taunan, dan Aluk Manuk A’pak, semuanya dikategorikan kedalam Aluk
Rambu Tukak. Sedangkan Aluk Rambu Solok berdiri sendiri.
Nampaknya kedua pembagian tersebut didasarkan pada bagaimana sikap manusia di
dalam menghadapi kenyataan hidup di dunia berdasarkan keyakinan agama. Aluk
Rambu Tuka’ merupakan gambaran sikap manusia yang penuh dengan suka
cita di dalam berhubungan dengan yang dipercayainya, sedangkan ketika manusia
mengalami suasana bathin yang berduka cita maka hubungan manusia dengan yang
dipercayainya disebut Aluk Rambu Solok, upacara yadnya yang berhubungan dengan
kematian.
Demikian, yang menjadi sumber ajaran Ketuhanan dalam
masyarakat Hindu Etnis Toraja Barat di Kabupaten Mamasa adalah Sukaran Aluk.
Ferdinandus (2002) berpandangan bahwa Sukaran Aluk pada hakekatnya berisikan
ajaran-ajaran dasar yang secara umum seperti yang ada dalam rumusan Panca
Sradha. Di dalam Ajaran-ajaran tersebut nampaknya memperlihatkan fase-fase
pemikiran manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, sama seperti apa yang
terlihat dalam Agama Hindu pada umumnya di Indonesia. Menurut I Gede Sura,
Kitab Veda memiliki berbagai-bagai fase perkembangan pemikiran keagamaan. Dalam
Veda terdapat perwujudan tanda-tanda politheisme, politheisme yang diorganisir,
henotheisme, monotheisme, dan monoisme. WHD No. 450 Juli 2004.
Post Comment
Post a Comment