Headlines News :
Home » , , , , , » Tuhan Dalam Keyakinan Masyarakat Hindu Toraja Barat

Tuhan Dalam Keyakinan Masyarakat Hindu Toraja Barat

Written By Unknown on Wednesday, June 11, 2014 | 10:36 AM

Suku Toraja 
DUMAI- Masyarakat Hindu Alukta dan etnis Toraja Barat di Kabupaten Mamasa sampai saat ini masih “sering dianggap” sebagai penganut Animisme dan Dinamisme, walaupun secara formal telah menyatakan dan diterima sebagai bagian integral Hindu di Indonesia sejak 40 tahun silam. Keyakinan ini dinyatakan bagian integral Hindu di Indonesia sejak Tahun 1964. Akibatnya, banyak umat Hindu di daerah ini, terutama di bawah tahun 1980-an, melakukan konversi religius, beralih ke agama lain terutama Agama Kristen.

Untuk memberikan pengetahuan dan sebagai langkah awal pencerahan bagi umat Hindu, khususnya di Hindu etnis Toraja Barat itu sendiri terhadap kenyataan-kenyataan seperti diatas maka penulis terdorong memaparkan sekelumit persoalan Ketuhanan dalam masyarakat Hindu Alukta dan etnis Toraja Barat di Kabupaten Mamasa. Tulisan ini lebih bersifat deskriptif-eksploratif dalam arti mencoba mendeskripsikan secara sistematis sebagai upaya menggali konsep-konsep lokal yang belum pernah tersentuh melalui pendekatan ilmiah.

Urgensi tulisan ini tidak terletak pada validitas menurut kaidah ilmiah tetapi lebih bersifat informatif, selain kepada umat Hindu Etnis Toraja Barat, juga kepada cendekiawan Hindu yang memiliki perhatian besar pada Agama Hindu di Nusantara ini, untuk tergugah melakukan penelitian yang lebih valid. Dalam tulisan ini akan dipaparkan satu hal pokok yang menggambarkan bagaimana Tuhan dalam persepsi masyarakat Hindu Alukta dan etnis Toraja Barat di Kabupaten Mamasa yakni Sumber ajaran Ketuhanan dalam persepsi Masyarakat Hindu Alukta dari etnis Toraja Barat di Kabupaten Mamasa.

Sumber Ajaran Ketuhanan
Agama merupakan suatu alat untuk menghayati keberadaan Tuhan yang bertitik tolak dan kepercayaan, agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dan keberadaannya sendiri dan agama telah menimbulkan khayalan yang paling luas. Pendapat ini didukung oleh Zenophanes yang menyatakan bahwa agama adalah khayalan manusia, kemudian menciptakan dewadewa, yang merupakan Tuhan tidak bergerak dan kekal.

Dalam ajaran agama Hindu, keyakinan akan adanya kuasa yang super natural (Tuhan) itu dijiwai oleh ajaran Veda. Satu-satunya pemikiran tradisional adalah adanya pernyataan yang menyatakan bahwa Veda adalah kitab suci agama Hindu. Sebagai kitab suci agama Hindu, maka Veda diyakini dan dipedomani oleh umat Hindu sebagai satu-satunya sumber bimbingan dan informasi yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari ataupun untuk waktu-waktu tertentu.

Veda adalah kitab tertua dari perpustakaan umat manusia. Kebenaran yang terkandung dalam semua agama berasal dari Veda yang akhirnya kembali kepada Veda. Veda adalah sumber utama ajaran agama, sumber tertinggi dan semua sastra agama berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Veda diwahyukan pada permulaan, adanya pengertian tentang waktu serta tanpa adanya akhir. Dari Weda inilah mengalir ajaran yang merupakan kebenaran agama Hindu. Ajaran Weda dikutip kembali dan memberikan vitalitas terhadap kitab-kitab susastra Hindu pada masa berikutnya, seperti Smrti, Itihasa, Purana Tantra, Darsana dan Tattwa-Tattwa yang kitawarisi di Indonesia. Weda bukan sebuáh buku yang tunggal seperti Tri Pitaka atau Injil tetapi keseluruhan susastra yang muncul berabad-abad yang silam dan diturunkan serta diteruskan dari generasi ke generasi melalui bahasa lisan. Ketika manusia mengenal peradaban tulisan maka ajaran tersebut dituliskan sehingga muncullah sumber-sumber tertulis yang bentuk dan jumlah yang banyak.

Penyebaran ajaran Veda melalui daerah yang luas serta membutuhkan waktu yang sangat panjang. Menurut Drs. I Gede Sura, seorang tokoh agama Hindu yang cukup mumpuni, karena luasnya daerah dan panjangnya waktu yang dilaluinya, maka wajah Veda dapat saja berubah sesuai dengan ruang dan waktu yang dilaluinya, tetapi esensinya tetap esensi Veda.

Sampai disini, mungkinkah apa yang dipedomani umat Hindu etnis Toraja Barat merupakan bagian dan Veda. Untuk menjawab ini, tentu sangat sukar. Data sejarah yang otentik pun tentang bagaimana pengaruh dan penyebaran agama Hindu seperti yang terjadi di Kutai, Kalimantan Timur, Tarumanegara di Jawa Barat atau bagaimana pengaruh Kerjaaan Majapahit yang dikenal Kerajaan Nusantara Kedua setelah Sriwijaya sebagaimana halnya terjadi di Bali, sepengetahuan penulis belum pernah terungkap. Sumber ajaran Ketuhanan dalam masyarakat Hindu Etnis Toraja Barat disebut Sukaran Aluk. Kata “Sukaran” bisa berarti ukuran, patokan, dan pedoman/tuntunan, sedangkan Aluk berarti : Ajaran Agama, kewajiban, sopan santun/norma-norma, atau aktivitas; tergantung konteks kalimatnya. Segala aktivitas agama bersumber dan berpedoman pada sukaran aluk. Jika tidak, maka dianggap utte’kaialuk yaitu secara harfiah berarti melangkahi aturan agama (aluk) yang maksudnya melanggar aturan agama.

Sukaran Aluk diyakini pemeluknya sebagai wahyu Puang Matua. Menurut Bero bahwa salah satu ciptaan Puang Matua adalah Sukaran Aluk. “Kumombong Tosanda Sangka‘na untampa lalanna aluk, kumombong pemali sanda saratu”. Artinya : lahirlah Beliau yang paling sempurna (baca Puang Matua/Tuhan) untuk menciptakan aturan agama (Aluk), membuat larangan agama (pemali) yang demikian banyak dan lengkap atau sempurna (Ungkapan Sanda Saratu’ artinya harfiahnya: serba seratus).

Tarian Toraja "ma'badong"
Karena Sukaran Aluk adalah wahyu dan Puang Matua yang merupakan sumber kebenaran tertinggi maka kebenarannyapun tak diragukan lagi. “Tumompa sanda salunna (dibuat aturan yang sempurna), Kumombong Sanda Tonganna (diciptakan dengan kebenaran yang sempurna), demikian keyakinan umat Hindu terhadap Sukaran Aluk. Karena itu, anggapan-anggapan yang keliru bahwa apa yang menjadi keyakinan umat Hindu di Kabupaten Mamasa yang lazim dikenal Aluk To Matua adalah bukan agama wahyu tetapi kebudayaan manusia semata, dalam arti, agama buatan manusia, tentu tidak beralasan. Hal yang sama juga pernah dialami masyarakat Hindu pada umumnya. Karena itu, Wiana berpendapat bahwa orang yang berpendapat demikian sesungguhnya ada dua kemungkinan. Pertama, tidak mengetahui apalagi memahami, dan kedua menghina agama Hindu.

Sukaran Aluk sebagai sumber ajaran Agama yang dipedomani masyarakat Hindu etnis Toraja Barat yang begitu luas, dalam konteks upacara, pada dasarnya diklasifikasikan menjadi lima bagian. Kelima bagian tersebut diistilahkan Aluk Limo Raidanna yang terdiri dari :
(1) Aluk Bannne Tau,
(2) Aluk Pandanan Lettong,
(3) Aluk Pa ‘taunan,
(4) Aluk Rambu Solo, dan
(5) Aluk Manuk A’pak.

Kadang-kadang istilah Aluk dalam konsep ini disebut Pemala, walaupun keduanya memiliki makna yang berbeda. Pemala lebih identik dengan upacara yadnya, yaitu bentuk pelaksanaan kongkrit dan Aluk. Menurut Mas Putra bahwa upacara adalah pelaksanaan yadnya sehingga disebut upacara yadnya.

Selanjutnya Sukaran Aluk yang terurai menjadi Aluk Lima Randanna seperti di atas masih disederhanakan lagi menjadi dua kategori, yaitu :
(1) Aluk Rambu Tuka, dan
(2) Aluk Rambu Solok.
Empat bagian dalam Aluk Limo Randanna yaitu Aluk Banne Tau, Aluk Pandanna Lettong, Aluk Pa ‘taunan, dan Aluk Manuk A’pak, semuanya dikategorikan kedalam Aluk Rambu Tukak. Sedangkan Aluk Rambu Solok berdiri sendiri. Nampaknya kedua pembagian tersebut didasarkan pada bagaimana sikap manusia di dalam menghadapi kenyataan hidup di dunia berdasarkan keyakinan agama. Aluk Rambu Tuka’ merupakan gambaran sikap manusia yang penuh dengan suka cita di dalam berhubungan dengan yang dipercayainya, sedangkan ketika manusia mengalami suasana bathin yang berduka cita maka hubungan manusia dengan yang dipercayainya disebut Aluk Rambu Solok, upacara yadnya yang berhubungan dengan kematian.

Demikian, yang menjadi sumber ajaran Ketuhanan dalam masyarakat Hindu Etnis Toraja Barat di Kabupaten Mamasa adalah Sukaran Aluk. Ferdinandus (2002) berpandangan bahwa Sukaran Aluk pada hakekatnya berisikan ajaran-ajaran dasar yang secara umum seperti yang ada dalam rumusan Panca Sradha. Di dalam Ajaran-ajaran tersebut nampaknya memperlihatkan fase-fase pemikiran manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, sama seperti apa yang terlihat dalam Agama Hindu pada umumnya di Indonesia. Menurut I Gede Sura, Kitab Veda memiliki berbagai-bagai fase perkembangan pemikiran keagamaan. Dalam Veda terdapat perwujudan tanda-tanda politheisme, politheisme yang diorganisir, henotheisme, monotheisme, dan monoisme. WHD No. 450 Juli 2004.

Share this post :

Post Comment

Post a Comment

 
Support : Copyright © 2015. Hindu Damai - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger
UA-51305274-1