Headlines News :
Home » , , , » Lemahnya Pembelaan Hak-Hak Hindu Dalam Polemik Pembongkaran Arca Dewa Wisnu Murthi Tabanan

Lemahnya Pembelaan Hak-Hak Hindu Dalam Polemik Pembongkaran Arca Dewa Wisnu Murthi Tabanan

Written By Unknown on Tuesday, February 25, 2014 | 7:53 AM

Arca Dewa Wisnu Murthi
Dalam konsep membangun, memperbaiki, merubah apapun yang berupa wujud kebendaan yang terkait dengan pemanfaatan ruang dan waktu dalam ajaran Hindu di Bali, selalu diikuti oleh proses "menghidupkan" atau "mengaktifkan" spirit benda itu agar memiliki "urip". Menghidupkan dalam konteks ini bukanlah agar bisa berjalan atau bergerak, tapi lebih kepada memberikan "power" atau energi secara "niskala" untuk bisa menjadi penyeimbang atau penyucian ataupun penetralisir berbagai energi negatif yang berusaha mempengaruhi kita di tempat tersebut.

Jangankan patung yang berupa simbol Dewa atau perwujudan-Nya, rumah dan bangunan lainnya, kendaraan, jalan, kebun, dan berbagai sarana kehidupan manusia lainnya selalu akan mengalami proses yang sama. Karena kita sangat percaya bahwa apapun yang terkait dengan pemanfaatan ruang dan tempat (desa) yang kita sinergikan dengan waktu (kala) akan diupayakan semaksimal mungkin memberi kekuatan atau energi positif pada kehidupan kita.

Oleh karena itu terkait polemik pembongkaran Patung Wisnu Murthi di simpang empat (perempatan) Kediri, Tabanan, yang dilakukan oleh Pemda Tabanan, tanpa koordinasi dan sosialisasi, ternyata telah menyakiti rasa orang Hindu di Bali dan Indonesia pada umumnya. Patung yang dulu berdiri megah dan indah dengan sentuhan seni orang Bali, kini harus dihancurkan dengan alasan yang tidak bisa kita terima dengan logika sederhana. Ada sesuatu yang hilang dari perempatan itu. Sesuatu yang kita percayai memiliki "power" itu.

Beberapa pertimbangan dan alasan yang beberapa kali disampaikan Puskor Hindunesia baik dalam bentuk nota protes, permohonan maupun diskusi, dalam melakukan upaya diplomasi, tuntutan dan desakan kepada Pemerintah Daerah Tabanan agar Patung Wisnu Murthi dibangun kembali, disampakaikan dalam rangkuman poin dibawah ini, antara lain:

Pertama, patung itu berada pada posisi perempatan (catus pata), walaupun belakangan dijadikan alasan bahwa peruntukan patung itu bukan sebagai posisis catus pata. Namun pada kenyataannya memang sudah berada pada catus pata, sekaligus sebagai jalan penghubung dan posisi poros satu-satunya dari konsep "nyegara gunung" antara Pura Luhur Tanah Lot dan Pura Luhur Batukaru. Dua Pura yang sangat disucikan oleh masyarakat Tabanan dan Bali.

Makna Wisnu Murthi, bukanlah berkonotasi negatif (seperti yang diungkap dalam media masa oleh pejabat di Tabanan), justru kita tahu bahwa Wisnu adalah simbol Dewa Pemelihara, yang artinya menjaga segala bentuk peliharaan di jagat ini seimbang dan harmonis. Wujud "murthi" dari Wisnu justru untuk menolak segala bentuk Panca Butha (energi negatif) yang berusaha menguasai jagat ini. Sehingga justru keberadaan Wisnu Murthi akan menetralisir segala bentuk kekuatan negatif (butha) yang dalam konsep Hindu bertemunya di pesimpangan atau di tengah tapak dara.

Kedua, karya seni orang Bali, apalagi karya besar seperti Wisnu Murthi itu, selalu terkait dengan "menghidupkan" atau memberikan taksu pada benda yang dibuatnya. Sekecil apapun benda itu dibuat, dipastikan bahwa proses penghidupan itu pasti dilakukan. Entah itu dengan upacara kecil ataupun upacara besar atau bahkan tidak dengan upacara sekalipun. Karena mereka menghidupkannya dengan seni itu sendiri. Sebagai sebuah seni orang Bali, maka pembongkaran itu sudah tidak menghargai nilai seni itu sendiri. Saya yakin sang pembuat, kalau saat ini masih hidup, akan merasa sedih kalau patung yang dia susah payah buat kemudian dibongkar dengan alasan yang kurang masuk akal.

Ketiga, patung yang dibongkar, dengan alasan tidak layak dan sudah banyak yang retak serta konstruksinya tidak bagus, justru bukannya diganti dan diperbaiki dengan yang lebih kokoh dan lebih bagus, namun malah diganti dengan patung Proklamator kita, Bung Karno.

Arca Dewa Wisnu Murthi
Disinilah kemudian terjadi pembenturan antara kepentingan Hindu dengan kepentingan Nasional tokoh pendiri bangsa ini. Seharusnya pemegang kebijakan bisa disana lebih arif dan bijaksana dalam melakukan tindakan seperti itu, dan tidak serta merta otoriter mengambil keputusan itu. Pertimbangan dan sosialisasi sebelum dibongkar, terutama kepada para tokoh Hindu dan para sulinggih yang mengerti agama dan konsep pembangunan Bali secara mendetail. Hal itu kelihatan sangat kurang dilakukan.

Benturan yang terakhir inilah membuat para pejuang Hindu di Bali yang kebetulan adalah nasionalis-nasionalis sejati di Bali dan Indonesia, membuat polemik ini semakin berkepanjangan. Bali bahkan sangat dikenal sebagai barometer nasionalisme bangsa ini. Berbagai perhelatan nasional untuk mengokohkan NKRI kalau belum mendapat restu dari Bali tidak akan pernah berjalan baik. Itu sudah dibuktikan dari jaman dulu. Bali adalah sisa Majapahit hidup yang tersisa di Indonesia. Dimana semua konsep, ajaran dan nilai-nilai kebesaran bangsa ini masih dipegang kuat oleh orang-orang Bali.

Sudah selayaknya Bupati dan Pemda Tabanan menurunkan sedikit ego dan kekakuannya untuk sama-sama menjadikan pihak-pihak yang pro dan kontra menjadi menang semua, "win-win solution", dengan membangun kembali patung Wisnu Murthi yang lebih kokoh, kuat dan megah disana, sehingga spirit perlindungan dari unsur butha kembali hidup dan bersinar disana. Kemudian untuk pengormatan kita kepada proklamator besar, Bung Karno, mari kita carikan tempat yang lebih besar dan lebih layak, bila perlu dilengkapi dengan Taman Nasionalisme Indonesia, dimana berbagai sarana untuk aktifitas yang terkait dengan peran Bali menjaga Nasionalisme ini bisa dilihat dan dinikmati orang dari seluruh penjuru Indonesia dan dunia.

Polemik ini justru akan sangat kentara telah melemahkan hak-hak umat Hindu dalam menjaga dan membangun Bali yang mestinya otonom dengan konsep adiluhung yang telah beribu-ribu tahun mengakar di Bali. Sekaligus ini menjadi proses pendewasaan kita, bahwa Hindu di Bali dan Indonesia perlu ada penguat dan persatuan yang kokoh saat ada kejadian seperti ini, sehingga segala kepentingan diluar itu yang membuat kita tercerai berai akan bisa kita kuatkan bersama, bela bersama dibawah satu bendera untuk Hindu yang kita cintai. Peran lembaga-lembaga formal seperti Parisada, Majelis Desa Pekraman disemua lini sangat diharapkan kenetralannya. Bukannya menjadi perpanjangan tangan penguasa yang belum tentu paham akan nilai-nilai religi yang diwariskan kepada kita.

Akan sangat elegan bila kemudian kita mendapatkan solusi seperti itu. Semua akan senang. Bupati Tabanan akan dihormati oleh warganya, terutama orang Hindu sebagai seorang Bupati yang menjaga Bali dan Hindu-nya. Demikian juga Bung Karno dan nama besarnya akan tetap dikenang selamanya di Tabanan. Tanpa pernah membenturkan antara kepentingan terjaganya dan lestarinya keyakinan nenek moyangnya (Hindu) dan jiwa patriotnya sebagai founding father bangsa Indonesia ini.

Sumber Klik Disini
Share this post :

Post Comment

Post a Comment

 
Support : Copyright © 2015. Hindu Damai - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger
UA-51305274-1