Ritual pada saat Tumpek Wariga (resort.theubudvillage.com0 |
DUMAI- Pemerintah Indonesia telah menetapkan tanggal 28
November sebagai Hari Menanam Pohon Indonesia. Selain itu, Desember juga
ditetapkan sebagai Bulan Menanam Pohon Indonesia. Inilah upaya nyata membangkitkan
tradisi menanam pohon di kalangan masyarakat Indonesia guna mengurangi dampak Global Warming/Pemanasan Global sehingga
bumi tetap nyaman untuk dihuni.
Bali khususnya Hindu pun sejatinya sejak lama sudah
memiliki tradisi untuk menghargai segala jenis tumbuh-tumbuhan (sarwa tumuwuh). Hindu Bali mengenal
tradisi hari Tumpek Wariga (disebut
juga Tumpek Pengatag, Tumpek Bubuh serta
Tumpek Uduh) yang sejatinya sebagai
hari peringatan agar manusia Bali menyadari betapa besar dan pentingnya peranan
tumbuhan dalam menopang hidup dan kehidupan. Sepatutnya tradisi Tumpek Wariga disertai dengan penanaman
pohon. Namun, yang menonjol selama ini lebih banyak ritual. Inilah saatnya
mereaktualisasi Tumpek Wariga yang
secara konsepsi sangat kontekstual dengan kondisi zaman.
Dalam konsepsi Hindu, saat Tumpek Pengatag dihaturkan persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai Sangkara, Dewa Penguasa Tumbuh-tumbuhan
yang dkonkretkan melalui mengupacarai pepohonan. Memang, menurut tradisi
susastra Bali, yang menyebabkan tumbuh-tumbuhan hidup dan memberikan hasil
kepada manusia adalah Hyang Sangkara.
Karenanya, ucapan syukur dan penghormatan kepada Hyang Sangkara mesti dilakukan manusia dengan mengasihi segala
jenis tumbuh-tumbuhan.
Dengan demikian, sejatinya, perayaan hari Tumpek Pengatag memberi isyarat dan
makna mendalam agar manusia mengasihi dan menyayangi alam dan lingkungan yang
telah berjasa menopang hidup dan penghidupannya. Pada Tumpek Pengatag, momentum kasih dan sayang kepada alam itu
diarahkan kepada tumbuh-tumbuhan. Betapa besarnya peranan tumbuh-tumbuhan dalam
memberi hidup umat manusia. Hampir seluruh kebutuhan hidup umat manusia
bersumber dari tumbuh-tumbuhan. Mulai dari pangan, sandang hingga papan.
Karena itu pula, tradisi perayaan Tumpek Pengatag tidaklah keliru jika
disepadankan sebagai peringatan Hari Bumi gaya Hindu Bali dan kini bisa
direaktualisasi sebagai hari untuk menanam pohon. Tumpek Pengatag merupakan momentum untuk merenungi jasa dan budi
Ibu Bumi kepada umat manusia. Selanjutnya, dengan kesadaran diri
menimbang-nimbang perilaku tak bersahabat dengan alam yang selama ini dilakukan
dan memulai hari baru untuk tidak lagi merusak lingkungan. Sampai di sini,
dapat disimpulkan para tetua Bali di masa lalu telah memiliki visi futuristik untuk menjaga agar Bali tak
meradang menjadi tanah gersang dan kerontang akibat alam lingkungan yang tak
terjaga.
Bahkan, kesadaran yang tumbuh telah pula dalam
konteks semesta raya, tak semata Bali. Visi dari segala tradisi itu bukan
semata menjaga kelestarian alam dan lingkungan Bali, tetapi juga kelestarian
alam dan lingkungan seluruh dunia. Istimewanya, segala kearifan itu muncul jauh
sebelum manusia modern saat ini berteriak-teriak soal upaya untuk menjaga
kelestarian lingkungan. Jauh sebelum dunia menetapkan Hari Bumi,
tradisi-tradisi Bali telah lebih dulu mewadahinya dengan arif. Bahkan jauh
sebelum orang menetapkan Desember sebagai bulan menanam pohon.
Ilustrasi (smantiara.sch.id) |
Hanya memang, perayaan Tumpek Pengatag sebagai Hari Bumi gaya Bali menghadirkan ironi
tersendiri. Dalam berbagai bentuk, ritual dan tradisi itu berhenti pada wujud
fisik upacara semata, dampak keterjagaan terhadap lingkungan Bali tak tampak
secara signifikan. Kenyataannya, alam Bali tiada henti tereksploitasi.
Situasi serba paradoks ini sesungguhnya lebih
dikarenakan pemaknaan yang tidak total atau tanggung terhadap ritual-ritual
yang ada. Ritual-ritual itu yang sesungguhnya hanya alat, sebatas wadah untuk
mengingatkan, tidak diikuti dengan laku nyata, tidak disertai dengan aksi
konkret. Karenanya, yang mesti dilakukan saat ini adalah upaya untuk memaknai
ritual-ritual itu secara lebih kontekstual dan total sekaligus menyegarkannya
dalam tataran laku tradisi. Perlu ada reaktualisasi terhadap kearifan-kearifan
tradisi yang dimiliki Bali.
Karenanya, akan menjadi menawan, bila Tumpek Pengatag tak semata diisi dengan
menghaturkan banten pengatag kepada
pepohonan, tapi juga diwujudnyatakan dengan menanam pohon serta menghentikan
tindakan merusak alam lingkungan. Dengan begitu, Tumpek Pengatag yang memang dilandasi kesadaran pikir visioner
menjadi sebuah perayaan Hari Bumi yang paripurna. Bahkan, manusia Bali bisa
lebih berbangga, karena peringatan Hari Bumi-nya dilakonkan secara nyata serta
indah menawan karena diselimuti tradisi kultural bermakna kental. Bahkan, Bali
tak perlu lagi dibuatkan tradisi baru: Hari atau Bulan Menanam Pohon.
Post Comment
Post a Comment