Headlines News :

Kalender Bali

Iklan

Total Pageviews

Hari Raya Kuningan Dalam Perspektif Astronomi dan Logika

Ilustrasi Posisi Planet pada hari raya Kuningan
DUMAI- Hari Raya Suci Kuningan yang dirayakan oleh umat Hindu di Indonesia hari ini (31/5) bisa dipahami dan dimaknai secara jelas dan logis oleh umat Hindu lainnya agar tidak terkesan bahwa umat Hindu ingin menyamakan hari suci mereka untuk umat dari etnis lain.

Kalau kita tinjau dari makna, Kuningan, berasal dari kata "ka-uning-an" (bahasa Bali), yang artinya memberitahukan, mewujudnyatakan bhakti kita kepada para leluhur (Pitara, Dewa Hyang, Dewa Pitara, Bethara, Dewa dan juga Hyang Widhi Wasa). Hari suci ini merupakan bentuk bhakti dan cinta kasih umat Hindu kepada para pendahulu mereka yang datang saat hari suci ini dalam bentuk sinar suci mereka.

Hari suci ini sebenarnya boleh dirayakan secara universal oleh semua umat, tentunya dengan tradisi dan ritual yang disesuaikan dengan Desa, Kala dan Patra. Karena pada intinya hari ini adalah hari suci saat "spirit suci" para leluhur kita turun ke mecapada (dunia) untuk mengunjungi preti sentana (umat manusia yang percaya akan spirit itu). Dan oleh karena itulah kewajiban kita menyambut dengan persembahan dan bhakti suci dalam bentuk yang kita bisa wujudkan agar kita bisa tetap "eling" akan jati diri kita dan darimana kita dihadirkan. Hari suci ini mirip dengan hari Deevali (Diwali) bagi etnis India yang merayakannya dengan sangat meriah dan mendunia,

Secara astronomi (hukum perbintangan), hari Saniscara Kliwon Wuku Kuningan adalah posisi dimana saat ini Planet Saturnus (Planet Sabtu - Saturday - Saniscara) berada pada posisi vertikal dengan Venus dan Uranus menuju ke jagat raya (macro cosmos), sehingga merupakan jalan bagi spirit suci untuk dapat melewati belahan bumi terutama pada wilayah Indonesia (sentral - katulistiwa). Empat planet ini mengambil posisi strategis sebagai jalan spirit suci untuk melakukan "perjalanan" di jagat raya ini.

Saat ini adalah saat yang baik untuk melakukan puja bhakti kepada spirit-spirit suci itu sehingga kita bisa memohon energi kesucian dari mereka. Ada baiknya puja bhakti ini kita lakukan sebelum tengah hari sehingga saat itu spirit suci itu tepat berada di bumi.

Selain itu Kuningan juga berarti KUNING (yellow) yang merupakan pertanda munculnya planet KUNING (Saturnus) pada posisi tegak dengan bumi kita ini. Kita ketahui sebagian besar sajian kita saat hari raya ini didominasi oleh warna kuning.

Kuning juga bermakna sebagai simbul kemunculan Dewa Mahadewa di posisi Barat yang membentengi kita dari rasa takut, iri dengki dan rasa cemburu. Sungguh sebuah telahaan makna yang bernilai filsafat dan logika tinggi dari para leluhur kita yang membuat hari suci ini benar-benar SUCI adanya.

Berikut kami sertakan gambar posisi planet pada hari suci ini, untuk melihat secara jelas posisi keempat planet itu dalam satu garus vertikal yang sangat baik untuk mendapatkan energi kosmis yang suci.

Selamat merayakan hari suci Kuningan semoga spirit suci dari leluhur memberikan jalan terang dalam membangun KESADARAN DHARMA bagi semua umat manusia.



Lima Dalang Mengikuti Festival Wayang Dunia di China

Lima Dalang Ikut Festival Wayang Dunia di China (Beritadewata.com)
DUMAI- Begitu pesatnya perkembangan informasi dan teknologi,  tidak membuat kesenian wayang tradisional Bali menjadi trend justru terpinggirkan. Padahal kesenian yang sudah diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia ini patut dilestarikan. Apalagi banyak filsafat hidup yang bisa dipetik. 

"Minat masyarakat khususnya generasi muda terhadap seni pertunjukan wayang semakin rendah," kata I Wayan Tunjung, salah seorang dalang wayang tradisional asal Ubud, Gianyar, saat audiensi  dengan Sekda Gianyar Ida Bagus Gaga Adi Saputra, di Kantor Bupati Gianyar, seperti dilansir Beritadewata.com, Rabu (28/5).

I Wayan Tunjung bersama 4 rekannya akan mengikuti Festival Wayang Internasional di Nanchong, China, 31 Mei – 7 Juni 2014. Menurutnya, generasi muda menganggap seni pertunjukan wayang tidak sesuai lagi dengan dinamika masyarakat modern yang selalu berfikir efektif dan efisien. Anak-anak lebih senang menonton film kartun yang ada di media elektronik.

 “Perlu terobosan dan strategi untuk menarik minat masyarakat terhadap kesenian tradisional itu, salah satunya dengan menyelipkan pelajaran pewayangan ke sekolah,” ungkapnya.

Dalang I Wayan Tunjung bersama 4 rekannya yakni I Gede Suartana, I Nyoman Karang Mustika, I Komang Sudiarsa dan satu dalang asal New York Amerika Serikat, Jennifer Goodlander, akan mengikuti Festival Wayang Dunia di Nanchong China. Mereka akan tampil membawakan wayang tradisional Bali dengan berbagai lakon Mahabrata dan Ramayana.


Festival Wayang diikuti negara-negara seluruh dunia. Sementara Jennifer Goodlander sendiri adalah seorang professor bidang Theatre and Drama di Indiana University, AS yang belajar mendalang wayang tradisional Bali sejak tahun 2008 di Ubud. Kecintaannya akan wayang, membuatnya kini mahir mendalang dan ikut  sebagai duta Bali ke Nanchong, China.

Video Jemaat Yogyakarta Diserang Saat Beribadah

Acara kebaktian di Yogya dibubarkan sekelompok orang tak dikenal,
29 Mei 2014 (Vivanews)
DUMAI- Sabotase terhadap umat yang sedang bersembahyang kembali terjadi. Sekelompok orang membubarkan acara kebaktian yang digelar umat Katolik di rumah salah satu warga di Perumahan STIE YKPN Sleman DIY, Kamis malam 29 Mei 2014.

Tak hanya dibubarkan, rumah tempat kebaktian digelar dan kendaraan para jemaah yang diparkir di luar rumah juga dirusak. Beberapa jemaah yang sedang melakukan Doa Rosario pun diserang dengan batu, besi, pentungan, dan pot bunga.

Seorang wartawan Kompas TV yang datang untuk meliput pun tak luput dari sasaran. Dia dipukuli hingga wajahnya terluka. Kameranya pun dirampas. Pemilik rumah yang merupakan Direktur Penerbitan Galang Press, Julius Felicianus, mengatakan mengenali dua pelaku penyerangan.

“Salah satu pelakunya tetangga saya sendiri. Dia mengontrak rumah tepat di depan rumah saya atas nama Abu Bachtiar,” ujar Julius seperti dilansir Vivanews, Jum’at (30/5).

Julius juga menjadi korban. Kepalanya berdarah-darah.

 “Saat saya bilang saya ini tuan rumah, saya dipukul, diinjak-injak, kepala saya dilempar pot besar. Kelihatannya bahu saya ini patah,” kata dia.

Polda DIY saat ini sedang memburu para pelaku. “Kami sudah mengetahui beberapa orang yang melakukan penganiayaan dan perusakan rumah milik Julius. Polisi sedang mengejar mereka,” kata Kabid Humas Polda DIY AKBP Any Pudjiastuti.


KLIK DISINI  untuk melihat videonya.

Video Sekelompok Orang Serang Jemaat Saat Kebaktian

DUMAI- Sekelompok orang menyerang jemaat saat kebaktian. Pria mengobrak-abrik acara kebaktian jemaat umat Kristiani Santo Fransicus Agung Gereja Banteng, yang digelar di Perum YKPN, Tanjungsari Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kamis 29 Mei 2014 malam. Massa mengaku sebagai suruhan salah satu pemuka agama.

Berikut Videonya: 



Dilarang Keras Gunakan Jargon Agama Untuk Jatuhkan Capres

Ilustrasi (politik.kompasiana.com)
DUMAI- Berkembangnya isu suku, ras, dan antar golongan (SARA) menjelang pemilihan umum presiden dan wakil presiden (Pilpres) 2014 mengeruhkan suasana. Model kampanye hitam seperti itu sudah saatnya dihentikan. Imbauan tersebut datang dari Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Hasyim Muzadi. Ia meminta seluruh pihak yang bersaing dalam pilpres 2014 agar menghentikan serangan atau manuver politik berbau SARA, terutama isu agama. Jangan lagi agama menjadi komoditas politik untuk dijadikan senjata saling menyerang satu sama lain.

Senada dengan pengamat politik dari Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara Ansari Yamamah meminta tim pemenangan capres dan cawapres tidak mempolitisasi jargon-jargon agama untuk kepentingan politik praktis mereka dalam memenangi pilpres 2014. Apapun alasannya, jargon-jargon agama itu tidak layak menjadi objek politik.

Untuk itu semestinya, maraknya black campaign atau kampanye hitam ini tidak harus di balas dengan hal yang sama. Tetapi bisa dibalas dengan pesan-pesan dan tindakan positif sehingga batal dengan sendirinya. Dengan membalas dengan tindakan positif, akan mengurangi aksi balas membalas kampanye hitam yang akhir-akhir ini banyak terjadi di media sosial. Kampanye hitam memang harus segera di tanggulangi karena sangat tidak mendidik rakyat dalam berpolitik dan bahkan sangat menciderai nilai-nilai demokrasi yang selama ini menjadi kepribadian bangsa Indonesia.


Oleh karena itu, sangat di harapkan para timses dan pendukung capres seyogyanya harus lebih bijak lagi dalam melakukan kampanye kepada masyarakat. Berikanlah pendidikan politik yang baik kepada masyarakat Indonesia dan wajib hukumnya untuk menghidari kampanye hitam demi melahirkan pemilu presiden yang berkualitas dan bermatabat sehingga menjadi kebanggaan tersendiri apabila semua itu terwujud serta dapat di akui oleh dunia.

Sejarah dan Jasa-Jasa Mulia Mpu Kuturan di Bali

Ilustrasi
DUMAI- Mpu Kuturan merupakan salah satu dari Panca Pandita yang tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku pahang, maduraksa (tanggal ping 6), candra sengkala agni suku babahan atau tahun caka 923 (1001M) yang berkaitan dengan Siwa Buddha yang ada di Bali, selanjutnya berparhyangan di Pura Silayukti (Padang).

Dari adanya lontar Calon Arang dapat diketahui bahwa Mpu Kuturan berasal dari Jawa Timur yaitu di suatu tempat bernama Girah, dan disanalah beliau pernah berkuasa sebagai seorang Raja. Beliau berangkat dan menetap di Bali didorong oleh tiga faktor penyebab yaitu:
     1.      Memenuhi permintaan raja suami istri Gunaprya Dharmapatni & Udayana Warmadewa yang bertahta di Bali pada tahun caka 910 sampai dengan 988 atau tahun 988M sampai dengan tahun 1011M, yang memerlukan keahlian beliau dalam bidang adat dan agama untuk merehabilitasi dan mestabilisasi timbulnya ketengangan-ketegangan dalam tubuh masyarakat Bali Aga
      2.      Karena bertentangan dengan istri beliau yang menguasai magic. Sebab itu istri beliau ditinggalkan di Jawa yang dijuluki “Walu Natheng Girah” atau “Rangda Natheng Girah” (jandanya Raja Girah)
     3.      Sebagai bhiksuka atau Sanyasa, beliau lebih mengutamakan ajaran dharma dari pada kepentingan pribadi

Kesempatan yang baik itu beliau pergunakan untuk untuk datang ke Bali, karena dorongan kewajiban menyebarkan dharma. Selain Senapati, beliau juga diangkat sebagai sebagai ketua Majelis ”Pakira kiran I Jro makabehan:, yang beranggotakan sekalian senapati dan para pandita Ciwa dan Budha. Dalan suatu rapat majelis yang diadakan di Bataanyar yang dihadiri oleh unsur tiga kekuatan pada saat itu, yaitu
     1.      Dari pihak Budha Mahayana diwakili oleh Mpu Kuturan yang juga sebagai ketua sidang
     2.      Dari pihak Ciwa diwakili oleh pemuka Ciwa dari Jawa
     3.      Dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah orang Bali Aga

Dalam rapat majelis tersebut Mpu Kuturan membahas bagaimana menyederhanakan keagamaan di Bali, yg terdiri dari berbagai aliran. Tatkala itu semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri Murti untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa.

Konsesus yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut “Ciwa Budha” sebagai persenyawaan Ciwa dan Budha. Semenjak itu penganut Ciwa Budha harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya yaitu Pura “Kahyangan Tiga” yang menjadi lambang persatuan umat Ciwa Budha di Bali.

Di Bali, Salah satu nama Tuhan adalah Sang Hyang Mbang atau Mahasunyi yang dalam agama Buddha ada istilah Sunyata. Tahun baru di Bali dirayakan dengan sunyi (sunyata). Di Bali Selatan, ada Pura Sakenan yang puncak piodalannya jatuh pada Hari Raya Kuningan. Sementara Sakenan berasal dari kata Sakyamuni. Sakyamuni nama asli Sidartha Gautama.

Mpu Kuturan sendiri adalah pendeta Buddha yang peninggalannya adalah Meru, hasil modifikasi Pagoda umat Buddha. Pada Abad ke-16, Bali mengalami masa kejayaan di bawah Raja Dalem Waturenggong. Dalam masa kerajaan itu ada penasihat spiritual yaitu pendeta Siwa-Buddha. Peninggalannya berupa Padmasana.

Tentang adanya Mpu Kuturan di Bali dapat diketahui dari 7 prasasti peninggalan purbakala, dimana disebutkan bahwa Mpu Kuturan di Bali berpangkat “Senapati”, dan prasasti-prasasti tersebut kini masih terdapat:

  1.      Di desa Srai, kecamatan Kintamani, kabupaten daerah tinggkat II Bangli, bertahun Caka 915 atau 993M
  2.      Di desa Batur, kecamatan Kintamani, kabupaten daerah tingkat II Bangli, bertahun caka 933 atau 1011M
  3.      Di desa Sambiran, kecamatan Tejakula kabupaten tingkat II Buleleng, bertahun caka 938 atau 1016M
  4.      Di desa Batuan, kecamatan Sukawati kabupaten tingkat II Gianyar bertahun caka 944 (1022M)
  5.      Di desa Ujung Kabupaten daerah tingkat II Karangasem bertahun caka 962 (1040M)
  6.      Di Pura Kehen Bangli, kabupaten tingkat II Bangli, karena sudah rusak tidak tampak tahunnya 
  7.        Di desa Buahan, kecamatan Kintamani, kabupaten daerah tingkat II Bangli bertahun caka 947 (1025M)

Sekian banyaknya prasasti sebagai fakta sejarah yang mencantumkan nama Mpu Kuturan sebagai Senapati di Bali.  Dan menurut salah satu komentar di forum diskusi jaringan hindu nusantara, adapun sekte - sekte di Bali yang dipersatukan Mpu Kuturan pada waktu pemerintahan Raja Udayana menjadi tiga, yaitu Siwa, Budha, dan Waisnawa. Kesembilan sekte itu adalah:
      1.      Brahmana
      2.      Bodha atau Sogatha
      3.      Bhairawa
      4.      Ganapatya
      5.      Pasupata
      6.      Rsi
      7.      Sora
      8.      Waisnawa
      9.      Siwa Sidantha

Silsilah Mpu Kuturan
Ida Bhatara Lingsir Hyang Pasupati menurunkan Sang Hyang Putranjaya, Sang Hyang Dewi Dhanu dan Sang Hyang Genijaya. Sang Hyang Genijaya (melinggih di Pura Lempuyang Luhur) menurunkan Panca Dewata, yaitu:
     1.      Mpu Gnijaya
     2.      Mpu Semeru
     3.      Mpu Ghana
     4.      Mpu Kuturan
     5.      Mpu Bradah

Sekedar tahu, Sanak Sapta Rsi diturunkan oleh Mpu Gnijaya yang beristrikan Ida Bhatari Dewi Manik Geni yaitu putri dari Ida Bhatara Putranjaya. Mpu Kuturan, meringkas sekte pemujaan menjadi Trimurti: Brahma, Wisnu dan Ciwa yang akhirnya dalam desa pekraman menciptakan 3 soroh pura:
     
Pura Puseh di Desa Batuan, Sukawati, Gianyar, Bali 

1.      Pura Desa : Sthana Ida Bhatara Brahma
Menitis ke Hyang Genijaya yang bersthana di Pura Lempuyang Luhur, Beliau dianggap yang menguasai hal-hal spiritual beserta sub-subnya termasuk usadha (balian).
     2.      Pura Puseh: Sthana Ida Bhatara Wisnu
Menitis ke Ida Bhatara Dewi Dhanu, Beliau Bersthana di Pura Batur, Ulun Danu. Beliau dianggap yang menguasai hal-hal kesuburan, kesejahteraan, kekayaan dan welas asih.
     3.      Pura Dalem: Sthana Ida Bhatara Ciwa
Beliau menitis ke Hyang Putranjaya, menurut penuturan Pinisepuh, Beliau belum bersthana di mana-mana tetapi sementara ini Beliau melinggih di Gunung Agung dan beliau juga dianggap yang berkuasa atas ha-hal2 kepemerintahan.

Mpu Kuturan juga melahirkan konsep pemujaan ke atas yang di wujudkan dengan Tri Purusha yaitu:
     a.       Ciwa
Disimbolkan dengan keberadaan gunung karena merupakan Sthana Dewata tertinggi di alam Bali dan gunung tersebut adalah gunung Agung yang disimbolkan sebagai Ciwa di mana pura Kahyangan Jagat Besakih didirikan sebagai pusat Leluhur Nusantara sekarang ini.
     b.      Sadaciwa
Adalah manifestasi dari Ida Bhatara Sang Hyang Ismaya atau dikenal dengan Sabda Palon atau dikenal juga sebagai Semar atau Tualen di Bali. Beliau adalah pengemong atau yang menjaga dan penasehat para Leluhur dari jaman ke jaman. Dikhabarkan bahwa sebelum Kerajaan Majapahit runtuh Sabda Palon berjanji untuk kembali lagi 500 tahun kemudian untuk membangkitkan kembali ajaran Ciwa Budha.
c.       Paramaciwa
Beliau adalah Ida Betara Lingsir Hyang Pacupati sendiri yang menurunkan umat manusia. Adalah tingkatan tertinggi dari tatanan kehidupan manusia du dunia. Perpaduan konsep horisontal (mendatar) dan vertikal (atas bawah) kalau digabungkan adalah Tapak dara, Purusha Pradhana, Rwabhineda yang disebut dengan Ardhanareswari yaitu Bapak dan Ibu atau Ciwa (bapak) dan Budha (ibu), Padamasana adalah Ciwa dan Rong Tiga adalah Budha, menjadi satu disebut Hyang Tunggal dan segala sebutan Beliau Hyang Widhi Wasa.

Karya Spiritual Mpu Kuturan
Sungguh kemampuan yang sangat luar biasa yang dimiliki oleh Beliau Mpu Kuturan. Peninggalannya tentang konsep pemujaan Ciwa Budha adalah karya spiritual yang sungguh hebat karena menyatukan kerumitan silsilah Dewata menjadi konsep sederhana yang sangat mudah untuk dipahami dan lestari sampai sekarang.

Berikut adalah karya spiritual Mpu Kuturan:
    1.      Konsep Ciwa Budha adalah yang terbesar seperti dijelaskan di atas karena menjadi acuan pemujaan seluruh umat Hindu Dharma di Nusantara.
     2.      Konsep Desa Dalem Puseh sebagai lanjutan penerapan konsep Ciwa Budha.
    3.      Konsep Catur Loka yaitu konsep mendirikan pura pemujaan pada masing-masing maksud yang terdiri dari: a). Pura Kawitan b). Pura Dhang Kahyangan c). Pura Sad Kahyangan atau Perhyangan Jagat d). Kahyanan Jagat.
    4.      Bentuk pelinggih seperti meru dan lain-lainnya adalah hasil dari penciptaan Beliau. Namun Padmasana disempurnakan lagi bentuknya oleh Dhang Hyang Niratha salah satu dari keturunan Beliau juga.

Pura-pura Karya Mpu Kuturan
         a.       Pura Besakih bersama dengan Rsi  Markandhea
         b.      Pura Silayukti di Padangbai, Karangasem adalah tempat Beliau bersemedhi dan Moksha.
        c.       Pura Batu Pageh, Desa Ungasan, Badung adalah pura yang disebut sebagai pagar Niskala alam Bali diatur dari pura ini.
         d.      Pura Samuan Tiga, adalah pura bersejarah waktu mempersatukan sekte-sekte di Bali.
         e.       Pura Sakenan, di Serangan
         f.       Pura Watu Klotok, di Klungkung
         g.      Pura Uluwatu, di Ungasan
         h.      Pura Menjangan, di Buleleng barat
         i.        Pura Ponjok Batu, di Buleleng timur
         j.        Pura Pejeng di Pejeng Gianyar

Pura Besakih
Demikianlah keputusan penting yang telah dibahas dalam Pesamuan Agung tersebut. Selanjutnya hal ini menjadi warisan tak ternilai bagi umat Hindu dan masyarakat Bali, dimana hal ini berkaitan dengan tata tertib, tata kehidupan masyarakat, dan agama. Sebab keputusan tersebut sangat cocok dengan aspirasi dan kondisi masyrakat Bali saat itu, yang kemudian melahirkan masyarakat sosioreligius, dan masih dapat dilihat sampai saat ini. Tempat Pesamuan Agung yang terletak di desa Bedahulu, Gianyar kemudian dikenal dengan sebutan Samuan Tiga yang bermakna pertemuan segi tiga, ditempat ini saat ini telah berdiri sebuah pura yang disebut pura Samuan Tiga atau pura Samuan Telu.

Dari nama itu telah memberikan kesan, bahwa disinilah paham trimurti mulai diperkenalkan dan ditegakkan, serta paham Siwa-Budha yang disatukan atas dalil yang berbunyi : “Ndatan len kira Siwa rupa Budha, maka pati urip ikang trimandala, Sang Sangkan Paraning Sarat ganal alit hita ala ayu kojaring aji, utpett, stithi, linaning dadi kita kocanani paramartha Sogatha”. Artinya : “Tiada lain Siwa yang berupa Budha, berkuasa menghidupkan sekalian makhluk penghuni tiga alam semesta, manciptakan besar dan kecil, kasar dan halus, suka dan duka, Engkau yang mengadakan ajaran agama (Dharma), yang berdasarkan nilai-nilai kelahiran, kehidupan, dan akhirnya kematian. Jadi Engkau adalah penyebab tertinggi wahai Budha”. (Prasasti Samuan Tiga)

Sejak saat itu, kehidupan masyarakan di Bali menjadi lebih tertib, aman, rukun, dan damai. Mereka saling hormat-menghormati sesuai dengan semboyan “Bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”, yang artinya walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu dalam pelaksanaan terhadap dharma atau kewajiban. Seperti keputusan di Pesamuan Agung yang diadakan di Bataanyar, dimana Mpu Kuturan yang menjadi pemrakarsanya. Peristiwa itu terjadi kurang lebih tahun 1002 M.

Pada tahun 1007 M, Mpu Kuturan atas persetujuan dari Raja/Ratu dan yang hadir pada saat Pesamuan Agung di Samuan Tiga, Bataanyar. Memberikan wewenang kepada para Bhujangga Waisnawa untuk memimpin pelaksanaan yajna baik besar maupun kecil yang diadakan di seluruh wilayah kerajaan, dan Mpu Kuturan berpesan kepada Bhujangga Waisnawa sebagai berikut : “Wahai Bhujangga Waisnawa sekalian, jangan lupa dengan junjungan dan tugas kewajiban kalian, yang disebut Tri Wisesa, sebagai pemeluhara kita, apabila kalian lalai dan lupa, kalian pun akan dilupakan oleh Sang Hyang Tri Wisesa, yang dapat membuat kita bingung karena Sang Hyang Tri Wisesa itulah sebagai sumber kita sekalian, agar kamu sekalian mengerti”.

Disamping hal tadi ada juga panjelasan Mpu Kuturan yang mengatakan pada bilamana terjadi kekeruhan di dunia, harus diadakan upacara yadna yang bernama tebasan. Upacara ini harus dipuja dan dipimpin oleh Sang Bhujangga Waisnawa. Hanya Sang Bhujangga Wausnawa yang berwenang memuja dan memimpin upacara, pangklukatan (penyucian) tersebut, bilamana terjadi kekeruhan di dunia dan alam semesta ini, termasuk yang behubungan dengan pekarangan rumah, tegalan (ladang), persawahan, dan lain-lain. Jika bukan Sang Bhujangga Waisnawa yang memimpin dan memuja upacara pangklukatan itu, maka upacara tersebut tidak akan berhasil, sebab hal tersebut merupakan tugas dari Sang Bhujangga Waisnawa. Apabila sudah dilaksanakan seperti itu, barulah Pulau Bali akan menjadi aman sentosa. Dikisahkan pula bahwa para Bhujangga Waisnawa yang berleluhur Maharsi Markandeya, ketika tiba di Bali membawa berbagai pustaka suci Weda, yang memuat ajaran suci seperti : Sruti, Smerti, Candrakarana, Kirthabhasa, Dasanama, Upanisad, Wedanta sutra, Itihasa (Ramayana dan Mahabrata), dan berbagai Purana.

Desa Pakraman Ciptaan Mpu Kuturan
Desa pakraman hasil ciptaan Mpu Kuturan, melahirkan tatanan kehidupan masyarakat, suatu wadah kesatuan dan persatuan masyarakat Bali, yang berisi tuntunan tata krama yakni suatu aturan hidup untuk menciptakan suasana kehidupan yang serasi, selaras, dan seimbang di dalam kehidupan masyarakat. Selain tatakrama juga terdapat nilai – nilai kebersamaan yaitu musyawarah untuk mufakat. Dalam desa pakraman juga diatur tentang tata ruang karena dalam kehidupan masyarakat manusia ini memerlukan kebutuhan hidup yang mencukupi, yang disebut “Panca Wa Sasaning Nithi Warga”. Yang dimaksud Panca Wa itu adalah kebutuhan pokok hidup, yang terdiri dari Wisma (perumahan), Wastra (sandang), Wareg (pangan), Waras (kesehatan), dan Waskita (pendidikan dan rekreasi). Di dalam hal ini wawasan lingkungan ditentukan, sehingga tata ruang jelas diketahui, dimana masing – masing wilayah ditetapkan tentang kegunaan dan manfaatnya, seperti misalnya : lokasi kahyangan, perumahan, bangunan umum untuk kepentingan bersama, lapangan, jalan, dan lain sebagainya. Dengan demikian, model atau corak desa di Bali, apabila mengikuti tataruang ini akan tampak ada persamaannya.


Desa Penglipuran, Bali (www.cumilebay.com)
Manusia di dalam kehidupannya membutuhkan suatu tempat tinggal sekelompok manusia yang disebut hunian. Hunian ini bukanlah merupakan sesuatu hanya dipergunakan melainkan mempunyai fungsi sebagai perekat rasa atau batin untuk memperkat hubungan sosial. Di dalam pembangunan, bukan saja merupakan kegiatan yang bersifat fisik, namun melibatkan pula hal – hal yang bersifat non fisik, melalui ritual keagamaan. Jiwa dan rasa penghuninya dikaitkan dengan setiap bangunan yang didirikan. Tataruangan suatu hunian mengikuti dan berpedoman kepada tataruang. Hunian bukan saja menampung manusia semasa hidupnya, melainkan juga manmpung manusia yang telah meninggal dunia, termasuk yang sudah tidak terwujud yaitu arwah suci para leluhur, yang distanakan di tempat khusus yaitu Sanggah atau Pemrajan.

Oleh sebab itu, antara sekala (alam nyata) dengan niskala (alam gaib) dapat dipadukan kelestariannya dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga masalah aktual dan spiritual dapat diwujudkan, disenyawakan, dan diselaraskan seperti apa yang dikonsepkan dalam ajaran “Rwa Binedha”. Persenyawaan ini harus diaktifkan malaui ritual. Melalui ritual inilah, ruang memperoleh makna dan waktu serta peristiwa sehingga pedoman yang mengatur kegiatan ini adalah suatu lingkungan yang teratur dan utuh, sebab pedoman yang terjadi berdasarkan atas kesepakatan yang diyakini bersama. Kebutuhan lingkungan akan menjadi kuat apabila mulai dari tataruang, bangunan, alat, pakaian, kelakuan sampai ritual berdasarka suatu pedoman. Begitu pula pengendalian sumber daya harus dijadikan upaya untuk menjaga keseimbangan lingkungan, termasuk di dalamnya tentang ketahanan, ketertiban, dan keamanan yang mantap, ampuh, dan terkendali.

Pada konsep tataruang yang bebudaya dan berwawasan lingkungan positif, yang ditetapkan oleh Mpu Kuturan ke dalam masyarakat Bali, dapat memberikan warna dan corak kehidupan masyarakat di daerah ini. Seperti misalnya : Triangga, Trimandala, Hulu teban, Astabhumi, Asta Kosala-Kosali, Bamakerthi, Jananpaka, dan lain sebagainya. Semua ini kemudian menjadi landasan berpijak bagi masyarakat Hindu di Bali dan pedoman di dalam setiap gerak kehidupan bermasyarakat yang dapat memperkuat rasa kebersamaan diantara masing-masing kelompok dan perorangan. Semua konsep dan ajaran Mpu Kuturan akhirnya dijadikan warisan tak ternilai bagi masyarakat Hindu di Bali, walaupun tidak sedikit pemakai konsep dan ajaran ini tidak mengetahui siapa arsitek konsep dan ajaran tersebut.

Karya lain dari Mpu Kuturan adalah berhasil memperluas dan memperbesar Pura Besakih, serta menciptakan Pelinggih Meru dan Gedong. Mpu Kuturan juga yang mengajarkan pembuatan kahyangan secara spiritual, termasuk pembuatan jenis – jenis pedagingan. Selain itu, Mpu Kuturan juga yang telah menciptakan konsep Tri Hita Karana, yang berarti tiga penyebab kebahagiaan, yaitu : Parahyangan yang berarti hubungan manusia dengan Tuhan, yang termanifestasi dalam bentuk Kahyangan Tiga, Palemahan yaitu hubungan manusia dengan alam dan lingkungan di sekitarnya tercermin dari wilayah tertorial dari desa pakraman, dan Pawongan yaitu hubungan manusia dengan sesama manusia yang tercermin dalam kramaning warga.

Guna menjaga ketentraman masyarakat Bali, Mpu Kuturan mendirikan dan menyempurnakan Pura Kahyangan Jagat yang berjumlah delapan buah, yaitu : Pura Besakih, Lempuyang, Andakasa, Goa Lawah, Batukaru, Beratan, Batur, dan Uluwatu. Selain itu Mpu Kuturanlah yang memprakarsai upacara ngenteg linggih atau yang sering disebut ngelinggihang (menstanakan) Dewa Pitara (roh suci leluhur) di sanggah atau pemrajan pada rong tiga (kemulan). Pelinggih Rong Tiga juga berlaku untuk tempat suci memuliakn Tuhan yang Maha Esa dalam fungsinya sebagai Kahyangan Tiga keluarga dalam fungsi Beliau sebagai penguasa dari penciptaan, pemelihaaran, dan pengembali ke unsur Panca Maha Butha, yang tersimbolisasi dari Dewa Brahma, Sri Wisnu, dan Dewa Siwa.

Konsep bangunan Meru yang diperakarsai oleh Mpu Kuturan disebut perlambang dari gunung Mahameru, tempat kediaman para dewa. Namun ada yang berpendapat bahwa Meru adalah perkembangan candi dari Jawa. Candi Jawa sebenarnya melambangkan alam kosmos yang dapat di bagi menjadi 3 bagian, yaitu bhur loka, yang dilambangkan pada kaki candi, bwah loka yang dilambangkan sebagai badan candi, dan swah loka dilambangkan atap candi. Di dalam perkembangannya, di Bali meru tidak hanya bertumpang 3, melainkan dari tumpang 1 sampai tumpang 11. Perlu diketahui kalau tumpang meru selalu ganjil, kecuali tumpang 2. Jadi ada tumpang 1, 2, 3, 5, 7, 9 dan 11. Kenyataan membuktikan di Bali menurut fungsinya meru dapat dikategorikan menjadi 2 jenis, yaitu sebagai dewa prathista atau pelinggih dewa dan meru selaku atma pratistha atau sebagai pelinggih roh suci. Perbedaan dari kedua jenis Meru ini terletak pada sikutnya (ukurannya) seperti ditentukan pada lontar asta kosala – kosali.

Bangunan Meru
Menurut lontar Andhabhuwana, Meru merupakan perpaduan dari Pradana tatwa dan Purusa tatwa, yang melahirkan Batur Kalawasa petak atau cikal bakal leluhur yang suci. Disebutkan pula bahwa Meru sebagai lambang Andhabhuwana atau alam semesta, sedang tumpang atapnya simbol lapisan alam. Begitu juga disebut bahwa Meru adalah simbol aksara suci Dasaktara yang menunggal menjadi Om dengan windu – windhu baik, diawali dari windhu satu sampai sebelas.

Dengan demikian Meru beratap sebelas adalah lambang dari sebelas aksara suci, simbol ekadasa dewata. Meru beratap sembilan aksara suci simbol Nawa Dewata (Sanga Dewata). Meru beratap tujuh lambang tujuh aksara suci, simbol Sapta Dewata, Meru beratap lima merupakan lambang lima aksara suci, simbol Panca Dewata. Meru beratap tiga lambang tiga aksara suci, simbol dari Tri Purusa. Meru beratap dua lambang dua aksara suci, simbol rwa bhineda atau purusa pradana. Sedangkan meru beratap satu merupakan lambang dari panunggalan seluruh aksara menjadi Om, simbol Sang Hyang Tunggal.

Mpu Kuturan, sebagaimana telah disinggung dalam beberapa sumber berupa lontar dan babad, tatkala masih di Jawa, Mpu Kuturan pernah bertahta sebagai raja yang berkedudukan di Gira dan mempunyai seorang istri serta seorang putri bernama Dyah Ratnamanggali. Namun Mpu Kuturan dan istrinya mengalami pertentangan sehingga keluarga ini menjadi retak. Konflik ini terjadi karena istrinya menerapkan ilmu hitam, yaitu menjalankan teluh teranjana, dimana ritual ini merupakan salah satu cara untuk memuja bhatari Durga demi mendapatkan kesaktian. Istrinya merupakan pengikut tantra kiri atau bhairawi. Sedangkan Mpu Kuturan menerapkan ajaran kebajikan. Oleh karena hal inilah Mpu Kuturan lalu meninggalkan istri dan anaknya untuk pergi ke Bali menerima undangan Raja Udayana Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni untuk membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh Raja suami istri ini. Walaupun pada akhirnya istrinya dikalahkan oleh adiknya sendiri yaitu Mpu Bharadah dengan siasat menikahkan Dyah Ratnamanggali dengan putranya yaitu Mpu Bahula, dimana akhirnya Rangda Girah (istri Mpu Kuturan) berhasil dikalahkan. Cerita ini sangat terkenal di Bali, dan hal tersebut tergambar dalam pementasan sendratari Calonarang, bahkan di pura pada saat pujawali, ditampilkan dalam bentuk tarian barong dan rangda sebagai perlambang kekuatan baik dan buruk, dharma dan adharma (rwa bhineda).

Untuk menghormati jasa-jasa Mpu Kuturan, maka dibuatlah pelinggih khusus untuk Beliau berbentuk Manjangan Salwang, karena kedatangan Mpu Kuturan ke Bali konon menunggangi seekor menjangan. Namun dibalik ungkapan tersebut, Menjangan Salwang dapat diartikan sebagai balai yang panjang dan luas, dimana “Manjangan” berarti panjang, “salu” berarti balai dan “wang” berarti luas. Sehingga kata Manjangan Salwang diartikan sebagai lambang dari balai yang panjang dan luas, dimana tempat itu digunakan sebagai tempat pertemuan para dewa. Selain itu Mpu Kuturan juga mendirikan tempat suci di Padang Bai, Karangasem yang bernama Pura Cilayukti, dimana “sila” berarti tingkah laku dan “yukti” berarti benar. Berarti jika diartikan yaitu tingkah laku yang benar, karena di pura inilah Mpu Kuturan mulai memimpin dan mengajarkan tingkah laku yang benar kepada masyarakat Bali. Demikianlah karya dari Mpu Kuturan di Bali, dimana hal ini masih dapat dilihat hingga sekarang sebagai salah satu warisan penting bagi masyarakat Hindu di Bali. Hal ini menjadi ciri khas dari kebudayaan Bali yang sosio religius.

Arca Cantik Prajnaparamita Dipuja Berkeliling Dunia Hingga Kembali ke Museum Nasional

Arca Prajnaparamita  (Detik.com)
DUMAI- Sebuah Arca berwujud wanita cantik tengah duduk bersila di atas Padmasana (tempat duduk teratai). Tangannya membentuk aura meditasi dan dikenal melakukan Dharmachakra-mudra (mudra pemutaran roda dharma). Lengan kirinya mengapit sebatang utpala atau bunga teratai biru.

Replika arca yang dikenal dengan nama Prajnaparamita ini dipamerkan di Museum Nasional sebagai bagian dari perayaan 236 tahun. Pameran yang bertajuk 'Potret Dulu, Kini, dan Akan Datang' itu digelar di Gedung B. Sebelum mencapai Museum Nasional, arca ini sudah dibawa keliling dunia. Banyak arkeolog, pecinta seni dan museum, dan warga yang memuja kecantikannya serta kehalusan dari pahatan batu di arca ini.

Kurator Classical South and Southeast Asia, National Museum of World Cultures di Leiden, Marijke Klokke mengatakan bahwa awalnya arca itu ditemukan di reruntuhan Cungkup Putri dekat Candi Singhasari. Menurut kepercayaan, arca itu wujud dari Ken Dedes, ratu pertama Singhasari. Tapi ada juga yang berpendapat sebagai wujud Gayatri, istri Kertajasa, raja pertama Majapahit.

"Ini salah satu arca yang paling artistik dibuat oleh pemahat Jawa. Lihat kekuatan fisik dan energi yang keluar dari wujudnya. Ini sangat mengagumkan," ujarnya di Museum Nasional akhir pekan lalu seperti dilansir detik.com, Rabu (28/5).

Pada 1819, arca Prajnaparamita ditemukan oleh D.Monnereau. Lalu ia memberikannya kepada C.G.C.Reindwardt yang memboyongnya ke Belanda. Arca Prajnaparamita sempat menjadi koleksi dari Rijksmuseum voor Volkenkunde di kota Leiden. Saat itulah, arca ini dibawa dan dipamerkan keliling dunia.    
Setelah perjalanan panjang, pemerintah Belanda akhirnya mengembalikan ke Indonesia. "Di bulan Januari 1978, arca cantik ini dikembalikan di Indonesia dan ditempatkan di Museum Nasional lantai dua sampai sekarang," katanya.
 
Museum Nasional, Indonesia (Detik.com)
Satu buah arca Nandi berbentuk sapi juga ditempatkan di ruang kertajaya dan berada di tengah museum. Pada 2005 silam, pameran bersama arca-arca Singhasari pernah juga dipamerkan di Museum Nasional.

"Kerja sama ini sudah kami bicarakan sejak tahun 1999. Semua arca yang tadinya berada di Leiden, mereka bawa ke mari dan dipamerkan di sini," ujar mantan kepala Museum Nasional Endang Sri Hardiati.

Saat proses pembawaan arca-arca ini juga diperlakukan seperti benda arkeolog berharga. Pengamanannya, dan suhu kelembaban di ruangan juga diatur sesuai dengan standar di Leiden.




Video Seekor Anjing Serang Anak Bocah di Selamatkan Oleh Kucing

Rekaman CCTV Anjing Serang Anak Bocah (www.merdeka.com)
DUMAI- Seekor kucing milik keluarga Triantafilo di California menyelamatkan anak laki-laki mereka, Jeremy dari serangan anjing milik tetangga mereka. Dari rekaman CCTV terlihat anjing yang menggigit kaki bocah tersebut langsung melepaskan gigitannya dan melarikan diri ketika kucing tersebut datang menyelamatkan Jeremy.

Video itu, yang dengan cepat menyebar di Internet, memperlihatkan seorang bocah laki-laki sedang bermain sepeda di sebuah jalan di Kota Bakersfield, California, ketika tiba-tiba seekor anjing menyerang, menggigit kaki bocah itu dengan rahangnya dan menyeret dia dari sepedanya hingga terjatuh, seperti dilansir situs Asia One, Kamis (15/5).

Seekor kucing berbulu gelap tiba-tiba dengan cepat menyergap anjing itu dan mengejarnya agar menjauh dari korban, sebelum seorang perempuan lari menolong bocah itu.

Media setempat mengatakan rekaman itu diperoleh dari beberapa kamera keamanan dan juga memperlihatkan gambar luka gigitan yang membekas pada anak itu.

"Syukurlah tidak terlalu parah," tulis ayah bocah itu, Roger Triantafilo, dalam video yang diunggah tersebut. "Anak saya baik-baik."

Berikut rekaman videonya:

Ini menjadi pembelajaran bagi kita agar para orang tua tidak mengabaikan anaknya ketika bermain dan perlu di awasi hingga kejadian seperti di video tersebut tidak terjadi lagi.

Kucing itu pula menyadarkan kita bahwa tidak selamanya kucing memberikan dampak negatif bagi manusia (bulu Kucing bisa membuat rusak pernapasan) tetapi kucing ternyata bisa setia ama pemiliknya tidak hanya anjing. Sekilas, kucing tersebut begitu melihat tuan-nya dalam bahaya tanpa fikir panjang langsung menerkam si anjing untuk menyelamatkan si tuan-nya.


 

Lagu Rohani

Support : Copyright © 2015. Hindu Damai - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger
UA-51305274-1