Ilustrasi (www.azurtechnology.com) |
Di Yogyakarta dan sejumlah kota kini kian banyak
bermunculan papan bertuliskan ”kos khusus Muslim”, ”kompleks perumahan Muslim”,
bahkan ”makam Muslim”. Fenomena itu bisa dibaca sebagai keengganan jika bukan
ketakutan sebagian orang menerima keragaman.
Jika dikontraskan dengan semboyan resmi negara
Bhinneka Tunggal Ika, perkembangan tersebut sekaligus merupakan indikator bahwa
kemampuan sosial melakukan navigasi dalam masyarakat yang sejak awal dibentuk
oleh pluralitas kini kian lumpuh. Muatan dan pendekatan pendidikan agama di
sekolah-sekolah umum/negeri, menurut saya, turut memainkan peran kunci dalam soal
ini. Ia adalah salah satu penyebab penting mengentalnya eksklusivisme sektarian
tadi, tetapi sekaligus juga merupakan peluang mengatasinya.
Tentu saja semua orang tahu bahwa sejak awal kita
hidup dalam masyarakat yang plural, termasuk dalam hal agama. Namun, tanpa ada
norma bersama dan cara pandang yang positif mengenai pluralitas, paling jauh
kita hanya bisa punya toleransi ogah-ogahan, lazy tolerance, dalam istilah Paul Knitter. Dalam kondisi ekonomi
dan politik yang stabil, mungkin itu tidak menjadi soal. Namun, dalam situasi
sulit, apalagi krisis, absennya norma bersama dan sikap yang positif mengenai
pluralitas tadi adalah ibarat ”rumput kering” yang gampang sekali berubah
menjadi kobaran konflik begitu ada percikan api.
Norma bersama dan sikap yang positif mengenai
pluralitas itu bisa dibentuk, menurut Michael Grimmit (2006), jika keragaman
dianggap identik dengan relasi saling melengkapi. Pluralitas tidak semata-mata
dipahami sebagai kenyataan yang membuat orang ”terpaksa” berdampingan, tetapi
merupakan peluang untuk bekerja sama dan saling memperkaya. Masyarakat yang
plural secara agama bisa tegak jika ditopang norma dan sikap yang juga
pluralis. Untuk konteks setelah 1965, muatan dan model pengajaran agama di
sekolah umum/negeri sangat menentukan hadir atau tidaknya norma bersama dan
sikap positif tersebut.
Selain status pelajaran agama di sekolah umum perlu
diubah dari ”wajib” menjadi ”pilihan” seperti pernah saya usulkan (Kompas,
26/3), pengajaran agama yang menggunakan model monoreligius juga perlu diubah
menjadi multireligius dan interreligius. Selain telah membuat orang ”buta”
tentang agama lain, model pengajaran monoreligius yang hanya mengajarkan agama
sendiri cenderung membuat orang bersikap pasif terhadap keragaman; jika bukan,
malah menarik diri, seperti terlihat dari kemunculan banyak kos, perumahan, dan
makam Muslim itu.
Perlu segera
diganti
Polemik tahunan di kalangan Muslim tentang
haram-tidaknya mengucapkan ”Selamat Natal” adalah contoh populer lain yang
mungkin akan kembali segera kita dengar. Oleh karena itu, jika kita tidak ingin
terjebak ke dalam kubangan persoalan yang lebih dalam, model monoreligius ini
perlu segera diganti.
Model-model mono-, multi-, dan interreligius
bukanlah kategori tingkatan di mana yang satu dengan sendirinya lebih unggul
ketimbang yang lain. Masing-masing bisa menjadi model yang efektif menurut
konteks yang berbeda. Model monoreligius, misalnya, adalah metode yang efektif
untuk tujuan internalisasi dalam rangka meningkatkan kualitas iman, seperti
yang dilakukan di pesantren atau seminari, di mana peserta didik memang
mempunyai latar belakang agama yang seragam. Untuk menghindari kekhawatiran
yang berlebihan, model monoreligius ini masih bisa diterapkan untuk sekolah
umum, tetapi hanya di tingkat sekolah dasar.
Untuk sekolah menengah, model multireligiuslah yang
semestinya digunakan. Melalui model ini, siswa berkesempatan mendapatkan
pemahaman yang informatif-deskriptif tentang beberapa agama di sekitarnya.
Dengan demikian, sejak dini siswa belajar mengapresiasi dan bersikap toleran
terhadap para penganut dan warisan tradisi berbagai agama. Norma bersama dan
sikap yang positif terhadap pluralitas hanya bisa dibentuk melalui proses yang
panjang, antara lain melalui model pengajaran semacam ini.
Di perguruan tinggi umum model yang paling efektif
adalah interreligius. Jika model multireligius menekankan pengajaran agama-agama
yang bersifat deskriptif, informatif dan ”objektif” tentang doktrin, ritual,
dan sejarah agama tertentu, model interreligius bergerak lebih jauh dengan
menekankan aspek ”dialog”.
Meskipun telah berusaha seobyektif mungkin, seorang
Muslim yang mempelajari agama Kristen, misalnya, mustahil bisa memahami agama
itu sebagaimana yang dilakukan penganut Kristen. Memang bukan itu tujuannya.
Oleh karena itu, selain kemampuan memperoleh informasi dan melakukan deskripsi
berbagai agama secara memadai, dengan mempelajari agama-agama tersebut, yang
lebih penting mahasiswa belajar melatih kemampuan melakukan dialog melalui
proses dialektis berbicara dan mendengar, melihat dan dilihat, dengan
menggunakan berbagai perspektif secara kritis.
Seorang mahasiswa Muslim yang mempelajari ”zaman
kegelapan” Kristen Abad Pertengahan, misalnya, tidak terutama bertujuan
menemukan bukti-bukti realitas sejarah Kristen yang kelam kemudian dikontraskan
dengan wajah ideal Islam. Melainkan, untuk memahami secara empiris bagaimana penggal
sejarah itu terjadi dalam agama Kristen dan apakah hal yang sama juga terjadi
dalam kurun dan bentuk yang mungkin berbeda dalam sejarah Islam dan mengapa.
Begitu pula sebaliknya.
Banyak orang terampil memilih yang riil dalam agama
lain untuk dikontraskan dengan yang ideal dalam agama sendiri. Namun, apa
hasilnya selain saling curiga, salah paham, dan kian berkobarnya rasa saling
permusuhan?
Pemahaman kritis
Ilustrasi (www.slideshare.net) |
Melalui proses dialog, seseorang bisa mendapat
pemahaman kritis yang lebih baik serta sikap dan tindakan yang lebih tepat dan
saling memperkaya dalam perjumpaan agama-agama. Dialog, sebagaimana dikemukakan
Leonard Swidler (1990), tentu akan ”mengubah” pelakunya. Artinya, seseorang
yang mempelajari agama lain—sebetulnya apa saja—akan mendapat pengaruh yang
kemudian mengubah persepsi, sikap, dan tindakannya.
Namun, jika dilihat secara positif, mengikuti John
Cobb (1999), perubahan itu justru mencerminkan pemahaman yang lebih diperkaya
dan tercerahkan, baik tentang agama sendiri maupun agama orang lain sebab,
sembari mempelajari ”yang lain”, melalui dialog itu seseorang sebetulnya
terus-menerus diajak merefleksi dan mengenali kembali ”diri sendiri” lebih
intensif dari sejumlah perspektif.
Ini sekaligus menegaskan bahwa studi dan pengajaran
agama model interreligius, dan juga multireligius, tak perlu menyeret orang
kepada pendangkalan akidah atau relativisme agama, sebagaimana kadang
dikhawatirkan. Sebaliknya, studi dan pengajaran agama model multireligius dan
interreligius merupakan suatu metode yang efektif membentuk norma bersama dan
sikap yang positif terhadap pluralitas agama sehingga perjumpaan agama bisa
menjadi kesempatan saling memperkaya dan bekerja sama, guna mengoptimalkan
potensi pribadi setiap pemeluk agama dalam pergaulan kemanusiaan.
Sumber Klik Disini
Sumber Klik Disini
Post Comment
Post a Comment