Ilustrasi Budaya dan Agama Hindu di Adopsi oleh Agama lain |
Berbaik hati kepada setiap makhluk adalah ajaran
yang sudah dimulai dari sejak jaman majapahit. siwa-buddha, agama ini begitu
toleran sekali sehingga memungkinkan peluang besar terhadap syiar-syiar agama
lain. Itulah sebabnya kenapa Islam bisa berkembang dengan baik di Indonesia.
Semuanya oleh karena toleransi ini. Sebuah starting point yang bagus untuk
agama pendatang.
Cinta itu kuat berupa kepedulian yang juga
universal. Ketika cinta adalah raksasa mega yang diktator, setiap insan akan
menjadi lupa akan hal lainnya. Cinta dan kelicikan adalah dua hal yang sangat
tipis perbedaaannya. Ketika cinta kembali berkata,”turuti saja nuranimu” agama
atau apapun tak akan bisa berkata apa-apa. Pernikahan pun terjadi dalam
kebimbangan yang kuat meskipun seolah di luar terlihat begitu yakin. Well
ternyata karena cinta kita terhadap seseorang ,kita pindah keyakinan.
Pertanyaannya, bisakah keyakinan kita dipindahkan? Keyakinan semacam apa yang
bisa dipindahkan begitu saja? Selera Atau keterpaksaan?
Dan Kemudian Menjaga?
Apa yang akan kita jaga? Agama kita? Atau adat?
Kebanyakan di Bali khususnya yang cenderung paling
dikenal adalah adat, bukan agama. Agama adalah bagian kecil dari adat. Itulah
kesimpulannya. Ketika kita sudah berkumpul dan membicarakan adat, orang Bali
takut sekaligus begitu intens membicarakannya. Mengapa? karena adat telah mengalihkan perhatian masyarakat Bali
dari agama.
Adat di Bali seperti ajaran agama Islam di
Indonesia. Seandainya saja kekuatan adat di Bali bisa disulap menjadi penjaga
kehinduan serta hukum yang membuat keselarasan dan keharmonisan Bali, maka saya
pastikan Hindu pun bisa menjadi kuat. Tapi yang saya maksud bukan kekerasannya,
tapi semangat kehinduan kita. Masalahnya adalah adat di Bali terlalu jauh dari
jangkauan agama. Agama di Bali bisa dijadikan ajang pariwisata. Turis-turis datang
ke Bali menganggap Pura adalah tempat yang unik, bukan tempat yang sakral.
Karena itu mereka serin masuk areal Pura dengan santai dan mengabadikannnya
dalam memori kameranya.
Memang dari sudut pandang Hindu, kebudayaan atau
local genius di setiap daerah harus diperhitungkan. Artinya agama merasuk
kedalam local genius tersebut tanpa merusak tatanan yang ada. Namun kini
masalahnya lain. Karena agama yang diartikan salah inilah maka perkembangan
adat dan tradisi tidak sepadan dengan perkembangan agama. Agama Hindu di Bali
menjadi abu-abu. Agama Hindu seperti titik kecil dalam kehidupan Bali. Sebagai
contoh ketika kita ditanya apa agama kita. Tentu kita menjawab Hindu.
Selanjutnya pertanyaannya adalah,” apa kitab suci mu? “ pasti gampang kita
menjawab “Veda”. Terus pertanyaan berlanjut, “mana Vedamu ? bolehkah saya baca?
“. Antara tertegun, tidak tau, tidak mau menjawab dan lain sebagainya ekspresi
kita.
Umat Kristen di Gereja Jemaat Pniel, Jembrana, Bali (www.laskarislam.com ) |
Setelah kita buta terhadap Veda, orang lain yang
berbeda keyakinan bisa menginjeksikan doktrin-doktri baru kepada kita dengan
mengatakan bahwa ikutlah jalan baru ini. Tuhan memberikan banyak jalan dan
tujuannya adalah sama. Pelik sekali masalah ini. Umat Hindu yang berkitab
sucikan Veda, sebagian besar belum pernah membaca sloka-sloka Veda. Belum
menerima Veda secara utuh tetapi hanya sebatas tradisi Bali dijadikan tolak
ukur Hindu yang sejati.
Saya sendiri heran mengapa mesti bangga jika konsep
tri hita karana dipakai oleh bangsa di Eropa , sementara sejarah-sejarah Hindu
dan Kristen selalu tak pernah mulus. Pernah terbisik di telinga saya mengapa
mereka tidak masuk Hindu saja? Kembali saya menjawab, apa mungkin? Mungkin
orang bali-lah yang akan memeluk Kristen.
Disatu sisi bangga minta ampun ketika ajaran Hindu
menjadi universal karena telah diadopsi oleh penduduk dunia. Namun apakah belum
pernah terpikir kalau itu pencurian “hak cipta”? Disisi lain karena toleransi
pula lah, maka lahirlah kitab-kitab bajakan agar memudahkan usaha gospel
Kristen. Tak terasa bahkan di wilayah canggu, Kuta utara perlahan tapi pasti
kristenisasi berjalan dengan mulus lewat jalan perkawinan. Adopsi tradisi Bali
kental sekali. Lengkung-lengkung ambu dipakai penghias perayaan hari raya
mereka. Prosesi “ngidih” / meminang pun digunakan media “gebogan”, namun di
barisan terdepan lambang salib besar membuat mata terbelalak. Pakaian yang
digunakan juga pakaian adat bali. Bahkan tempat pernikahan pun dirangkai
sedemikian rupa dengan hiasan khas perkawinan adat bali dan di lini depan
lambang Ongkara juga digunakan. Wow, whats wrong with them? Sungguh hebat upaya
penyusupannya sampai-sampai penggunaan Om Svastyastu sepertinya tak lebih dari
sebuah karya seni saja.
Sekarang
giliran Budaya yang dirasuki. Hemm…
“Bali memang unik. Saking uniknya, tradisi, adat
istiadat dan budaya Bali yang kental nuansa teologis menyatu dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari. Meski semuanya berakar pada agama Hindu, namun tak
sedikit dari tradisi, adat istiadat dan budaya itu dijadikan perekat
keberagaman dan mutikulturalisme di pulau yang tersohor seantero dunia itu.”
Diatas adalah kutipan dari Viva news tentang upaya
luar biasa Kristen dalam menjalin kerukunan antar umat beragama di daerah ubung
kaja. Dan saya kutipkan lagi, “Romo Servasius I Nyoman Subhaga SVD menjabarkan,
gereja yang dibangun di atas lahan seluas 3.700 meter persegi itu bukan sekadar
bangunan belaka. Gereja Katolik Yesus Gembala Yang Baik didesain penuh dengan
falsafah. “Semua mengacu pada filosofi Asta Kosala Kosali (filosofi Hindu) yang
merupakan acuan arsitektur dan tata letak bangunan di Bali. Selain itu juga
mengadopsi filosofi Tri Mandala (tiga konsep tata letak bangunan Bali),”
katanya“. Dan lagi “Bahkan, terdapat
kulkul (kentongan) di gereja tersebut yang umumnya hanya ada di pura dan banjar-banjar
di Bali.” Next “Semakin unik manakala
gereja ini juga di-melaspas–upacara tradisi umat Hindu Bali untuk menempati
bangunan baru dengan dipimpin pemuka agama Hindu–lengkap dengan sarana dan
perlengkapan persembahyangan ala umat Hindu Bali.”
Gereja Jemaat Pniel, Desa Blimbingsari, Jembrana, Bali |
Ternyata konsep-konsep Budaya Bali pun digunakan disini. Terus apa
manfaatnya bagi Hindu? Apa tidak pernah terpikir 50 tahun kemudian? Bisa-bisa
Pura akan beralih fungsi menjadi gereja.
Bali yang terlalu toleransi, Budayanya dicuri begitu
saja. Taktik yang sangat jitu, cerdik, dan hasilnya dipastikan dalam kurun
waktu yang tidak terlalu lama orang Bali tidak akan bisa bedakan antara Pura
dan Gereja .
Berikut saya sampaikan tentang kemerosotan Budaya
bali terkait dengan kutipan tadi.
“hal yang lebih parah lagi saat rehab pura, ternyata
bahan lama dibuang dan diganti dengan material yang baru, sehingga
menghilangkan nilai sejarah, artinya melupakan makna kerja keras dan spiritual
saat leluhurnya membangun bangunan tersebut.” [Beritabatavia]
Nah, sudahkah kita terbangun? Ada apa dengan Bali?
Masihkah bangga menjadi masyarakat Bali jika menghormati kerja keras para
pendahulu kita saja kita tidak bisa. Malah yang Kristen berbondong-bondong
membuat Gereja bercorak Budaya Bali, dan kita sang pemilik budaya meninggalkan
seni-seni Bali. Uniknya, saya sendiri semakin sering melihat bangunan-bangunan
di Bali semakin modern dan semakin meninggalkan seni ukiran Bali. Masyarakat
sekarang kebanyakan membuat rumah dengan konsep minimalis.
Selain memanfaatkan peluang diatas, Apa penyebab
Kristen bisa melaju dengan cepat? Jawabannya mudah, karena Kristen memang
sedang menikmati keadaan. Kristen adalah agama misionaris aktif, sedangkan
Hindu tidak seaktif Kristen menyebarkan agama. Ditambah lagi orang Hindu merasa
berat di adat jika tetap memeluk Hindu. Alhasil Kristen benar-benar bisa
menenangkan Hindu yang terluka karena adat dan mengikuti “ajaran kasih”.
Disinilah letak titik kekalahan kita. Ketika Dharma di move menjadi kasih,
ajarannya terasa tak jauh berbeda. Apalagi biaya untuk hari-hari besar Kristen
relatif lebih murah dan hebatnya lagi ada biaya-biaya yang dijanjikan jika mau
memeluk Kristen. Misalnya jaminan sekolah untuk anak. Miris memang, keyakinan
dialih pindahkan begitu saja. Sepertinya keyakinan itu kini bukan seperti arti
sebenarnya, namun lebih condong kepada selera. Jika mau ruwet pilih Hindu, jika
mau gampang pindah saja. Bukankah begitu?
Karena pemberontakan hati mereka lah, maka mereka
memilih. Semakin aktif bujuk rayu itu menghampiri, maka semakin cepat pula otak
kita yang sedang mumet menerima ajakan itu. Sayang sekali, memang mereka sedang
menikmati keadaan. Mereka pasti bersyukur dengan keadaan ini karena merasa
sudah membantu sesama manusia untuk diajak dijalan yang benar.
Merajan/Sanggah Ada Bunda Maria di Bali |
Lihai sekali memang mereka meyakinkan orang. Pada
suatu kesempatan mereka dikatakan penjual kecap, namun mereka bisa memberi jawaban, ”mengapa tidak? Saya terusik untuk
membantu sesama manusia untuk berjalan bersama-sama di jalan Tuhan, itu kami
lakukan karena kasih Tuhan yang begitu mulia”. Kata-kata ini begitu indah
bukan? Di Bali masalah-masalah pindah agama selalu bukan topik yang wahh, tapi
kalau menyangkut adat, sampai kesepekang beritanya sangat heboh. Bagaimana mau
memberi solusi yang bijak, jika HAM tidak dijalankan? Yang ada malahan
kerusakan psikologis yang diderita. Inilah betapa kuatnya adat di Bali, sangat
buas, buas terhadap sesama Hindu, tapi lemah untuk para pedagang agama. Dalam
hal ini yang saya harapkan bukan jalan kekerasan, tapi solusi terhadap
ketakutan masyarakat terhadap adat.
Sesekali mulailah bertanya pada diri kita sendiri,
apa kita lebih tega melanggar HAM ketimbang saudara kita akhirnya meninggalkan
agama Hindu? Apa jadinya Bali 50 tahun kemudian jika tanpa Hindu? Sementara
Bali berarti Bebali, bebanten. Terus apa artinya Hindu di Bali tanpa Banten?
Sama saja kehilangan identitas bukan?
Semoga kedepannya adat di Bali bisa memberikan nilai
positif terhadap perkembangan agama Hindu. Saya sedih dan merasa terpuruk dalam
batin ketika telinga saya sering mendengar ,” si anu sube dadi Kristen jani,
nuutin agama kurene” ( si anu sudah jadi Kristen,mengikuti agama suaminya).
Lama-lama bisa jadi beban berat bagi Hindu jika Sradha kita kurang dan
menganggap agama adalah semuanya sama. Sungguh suatu slogan masyarakat yang
saya rasa kurang mengerti tentang agama dan dengan gampangnya menyatakan
demikian. Apakah ini akibat “nak mule keto”?
Sumber Klik Disini
Sumber Klik Disini
Post Comment
Post a Comment