Arca Dewa Wisnu Murthi |
Jangankan patung yang berupa simbol Dewa atau
perwujudan-Nya, rumah dan bangunan lainnya, kendaraan, jalan, kebun, dan
berbagai sarana kehidupan manusia lainnya selalu akan mengalami proses yang
sama. Karena kita sangat percaya bahwa apapun yang terkait dengan pemanfaatan
ruang dan tempat (desa) yang kita sinergikan dengan waktu (kala) akan
diupayakan semaksimal mungkin memberi kekuatan atau energi positif pada
kehidupan kita.
Oleh karena itu terkait polemik pembongkaran Patung
Wisnu Murthi di simpang empat (perempatan) Kediri, Tabanan, yang dilakukan oleh
Pemda Tabanan, tanpa koordinasi dan sosialisasi, ternyata telah menyakiti rasa
orang Hindu di Bali dan Indonesia pada umumnya. Patung yang dulu berdiri megah
dan indah dengan sentuhan seni orang Bali, kini harus dihancurkan dengan alasan
yang tidak bisa kita terima dengan logika sederhana. Ada sesuatu yang hilang
dari perempatan itu. Sesuatu yang kita percayai memiliki "power" itu.
Beberapa pertimbangan dan alasan yang beberapa kali
disampaikan Puskor Hindunesia baik dalam bentuk nota protes, permohonan maupun
diskusi, dalam melakukan upaya diplomasi, tuntutan dan desakan kepada
Pemerintah Daerah Tabanan agar Patung Wisnu Murthi dibangun kembali,
disampakaikan dalam rangkuman poin dibawah ini, antara lain:
Pertama, patung itu berada pada posisi perempatan
(catus pata), walaupun belakangan dijadikan alasan bahwa peruntukan patung itu
bukan sebagai posisis catus pata. Namun pada kenyataannya memang sudah berada
pada catus pata, sekaligus sebagai jalan penghubung dan posisi poros
satu-satunya dari konsep "nyegara gunung" antara Pura Luhur Tanah Lot
dan Pura Luhur Batukaru. Dua Pura yang sangat disucikan oleh masyarakat Tabanan
dan Bali.
Makna Wisnu Murthi, bukanlah berkonotasi negatif
(seperti yang diungkap dalam media masa oleh pejabat di Tabanan), justru kita
tahu bahwa Wisnu adalah simbol Dewa Pemelihara, yang artinya menjaga segala
bentuk peliharaan di jagat ini seimbang dan harmonis. Wujud "murthi"
dari Wisnu justru untuk menolak segala bentuk Panca Butha (energi negatif) yang
berusaha menguasai jagat ini. Sehingga justru keberadaan Wisnu Murthi akan
menetralisir segala bentuk kekuatan negatif (butha) yang dalam konsep Hindu
bertemunya di pesimpangan atau di tengah tapak dara.
Kedua, karya seni orang Bali, apalagi karya besar
seperti Wisnu Murthi itu, selalu terkait dengan "menghidupkan" atau
memberikan taksu pada benda yang dibuatnya. Sekecil apapun benda itu dibuat,
dipastikan bahwa proses penghidupan itu pasti dilakukan. Entah itu dengan upacara
kecil ataupun upacara besar atau bahkan tidak dengan upacara sekalipun. Karena
mereka menghidupkannya dengan seni itu sendiri. Sebagai sebuah seni orang Bali,
maka pembongkaran itu sudah tidak menghargai nilai seni itu sendiri. Saya yakin
sang pembuat, kalau saat ini masih hidup, akan merasa sedih kalau patung yang
dia susah payah buat kemudian dibongkar dengan alasan yang kurang masuk akal.
Ketiga, patung yang dibongkar, dengan alasan tidak
layak dan sudah banyak yang retak serta konstruksinya tidak bagus, justru
bukannya diganti dan diperbaiki dengan yang lebih kokoh dan lebih bagus, namun
malah diganti dengan patung Proklamator kita, Bung Karno.
Arca Dewa Wisnu Murthi |
Disinilah kemudian terjadi pembenturan antara
kepentingan Hindu dengan kepentingan Nasional tokoh pendiri bangsa ini. Seharusnya
pemegang kebijakan bisa disana lebih arif dan bijaksana dalam melakukan
tindakan seperti itu, dan tidak serta merta otoriter mengambil keputusan itu.
Pertimbangan dan sosialisasi sebelum dibongkar, terutama kepada para tokoh
Hindu dan para sulinggih yang mengerti agama dan konsep pembangunan Bali secara
mendetail. Hal itu kelihatan sangat kurang dilakukan.
Benturan yang terakhir inilah membuat para pejuang
Hindu di Bali yang kebetulan adalah nasionalis-nasionalis sejati di Bali dan
Indonesia, membuat polemik ini semakin berkepanjangan. Bali bahkan sangat
dikenal sebagai barometer nasionalisme bangsa ini. Berbagai perhelatan nasional
untuk mengokohkan NKRI kalau belum mendapat restu dari Bali tidak akan pernah
berjalan baik. Itu sudah dibuktikan dari jaman dulu. Bali adalah sisa Majapahit
hidup yang tersisa di Indonesia. Dimana semua konsep, ajaran dan nilai-nilai
kebesaran bangsa ini masih dipegang kuat oleh orang-orang Bali.
Sudah selayaknya Bupati dan Pemda Tabanan menurunkan
sedikit ego dan kekakuannya untuk sama-sama menjadikan pihak-pihak yang pro dan
kontra menjadi menang semua, "win-win solution", dengan membangun
kembali patung Wisnu Murthi yang lebih kokoh, kuat dan megah disana, sehingga
spirit perlindungan dari unsur butha kembali hidup dan bersinar disana.
Kemudian untuk pengormatan kita kepada proklamator besar, Bung Karno, mari kita
carikan tempat yang lebih besar dan lebih layak, bila perlu dilengkapi dengan
Taman Nasionalisme Indonesia, dimana berbagai sarana untuk aktifitas yang terkait
dengan peran Bali menjaga Nasionalisme ini bisa dilihat dan dinikmati orang
dari seluruh penjuru Indonesia dan dunia.
Polemik ini justru akan sangat kentara telah
melemahkan hak-hak umat Hindu dalam menjaga dan membangun Bali yang mestinya
otonom dengan konsep adiluhung yang telah beribu-ribu tahun mengakar di Bali.
Sekaligus ini menjadi proses pendewasaan kita, bahwa Hindu di Bali dan
Indonesia perlu ada penguat dan persatuan yang kokoh saat ada kejadian seperti
ini, sehingga segala kepentingan diluar itu yang membuat kita tercerai berai
akan bisa kita kuatkan bersama, bela bersama dibawah satu bendera untuk Hindu
yang kita cintai. Peran lembaga-lembaga formal seperti Parisada, Majelis Desa
Pekraman disemua lini sangat diharapkan kenetralannya. Bukannya menjadi
perpanjangan tangan penguasa yang belum tentu paham akan nilai-nilai religi
yang diwariskan kepada kita.
Akan sangat elegan bila kemudian kita mendapatkan
solusi seperti itu. Semua akan senang. Bupati Tabanan akan dihormati oleh
warganya, terutama orang Hindu sebagai seorang Bupati yang menjaga Bali dan
Hindu-nya. Demikian juga Bung Karno dan nama besarnya akan tetap dikenang
selamanya di Tabanan. Tanpa pernah membenturkan antara kepentingan terjaganya
dan lestarinya keyakinan nenek moyangnya (Hindu) dan jiwa patriotnya sebagai
founding father bangsa Indonesia ini.
Sumber Klik Disini
Post Comment
Post a Comment